بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Kata ‘syuhadã’, dalam buku agama Islam di masa sekolah dasar saya dulu, maknanya diartikan sebagai orang yang gugur di medan perang melawan ‘musuh Islam’. Maka ketika dewasanya orang berlomba-lomba ingin berperang (atau membuat perangnya sendiri dan musuhnya sendiri) karena ingin mati sebagai syuhadã, yang jaminannya adalah surga.
Ada sebuah hadits yang ‘menggelitik’:
قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَأَلَ اللّٰهَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا بَلَّغَهُ اللّٰهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَآءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya”. (Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia men-shahih-kannya).
Bagaimana mungkin mati di tempat tidur mendapatkan derajat kematian seperti seorang syuhadã’? Atau hadits berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَكْثَرَ شُهَدَآءِ أُمَّتِيْ أَصْحَابَ الْفِرَشِ وَرُبَّ قَتِيْلُ بَيْنَ صَفَّيْنِ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِنِيَّتِهِ
“Kebanyakan orang yang syahid dari ummatku, ialah mereka yang mati di tikar tidurnya. Dan banyak pula orang yang terbunuh di antara dua baris perang, yang Allah Maha Mengetahui apa niat sebenarnya”. (HR Ahmad dari Ibnu Mas’ud)
Bagaimana mungkin, sebagian besar syuhadã’ justru meninggal di atas tempat tidurnya? Dan Rasulullah sendiri yang mengatakan hal ini.
Ini bisa kita pahami, jika kita teliti Al-Qur’an. Kata ’syuhadã’, akar katanya sama dengan kata pada syahadat. kata ‘Asyhadu’, artinya bersaksi, mempersaksikan dengan sepenuh kepercayaan, dengan sepenuh keyakinan (mengenai Tuhannya). Kata ’syuhadã’ tidak semata-mata berarti orang yang mati di medan perang. Kata ’syuhada’ berarti ‘orang yang telah mempersaksikan (dengan sebenar-benarnya)’.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۞
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.”
Di Al-Qur’an ayat 7 : 172 tadi, ketika Allah mengambil persaksian dari jiwa-jiwa manusia, kata yang dipakai adalah ‘Asyhadahum ‘alã anfusihim’, mengambil persaksian atas jiwa-jiwa mereka. Dan jiwa-jiwa tersebut menjawab, ‘Qãlû, balã syahidnã,” benar, sesungguhnya kami bersaksi.
Demikian pula kata yang sama (syuhadã’) dipakai dengan jelas di Q.S. Al-Hadîd (57) ayat 19,
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللّٰهِ وَرُسُلِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصِّدِّيقُونَ ۖ وَٱلشُّهَدَآءُ عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ ۞
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu orang-orang Shiddîqûn dan ‘syuhadã inda Rabbihim’ (menjadi saksi di sisi rabb mereka), bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”
Maka jelas bahwa ‘syuhadã’ berarti orang yang mempersaksikan (kebenaran Ilãhiyah). Menjadi syuhadã’ tidak harus melalui peperangan. Seorang yang meninggal di atas tempat tidurnya pun bisa menjadi seorang syuhada, asal ia benar-benar memintanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Di zaman Rasulullah, mereka yang gugur ketika berniat mengorbankan jiwa mereka untuk Allah melalui jalan yang tersedia dan dibutuhkan ummat pada masa itu (berperang), yang pengorbanannya diterima oleh Allah, dianugerahi sebuah ‘penyaksian (akan kebenaran/Al-Haqq)’ melalui gugurnya mereka di medan perang. Namun demikian, belum tentu jalan pengorbanan yang paling dibutuhkan ummat pada setiap masa adalah berperang.
Dari Jabir bin ‘Atik radhiyallãhu ‘anhu, Nabi shallallãhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللّٰهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat keterangan ‘Aun Al-Ma’bud, 8: 275)
Ketika terjadi tenggelamnya sebuah kapal di danau Toba, ada sahabat saya bertanya : “Asalkan Tenggelam Sudah Disebut Syahid ataukah Tidak?”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, ada orang yang menaiki kapal dengan maksud pergi berdagang kemudian tenggelam, apakah ia dikatakan mati syahid?
Ibnu Taimiyah rahimahullãh memberikan jawaban, ia termasuk syahid selama ia tidak bermaksiat ketika ia naik kapal tadi.
Simak hadits berikut secara lengkap, maka kita akan fahami betapa Rasulullah menginginkan kita semua mendapat pahala sebagai seorang Syuhada.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدُ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا : يَا رَسُوْلُ اللّٰهِ ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ . قَالَ : إِنَّ شُهَدَآءَ أُمَّتِيْ إِذاً لَقَلِيْلٌ . قَالُوْا : فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلُ اللّٰهِ؟ قَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُوْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ ، (قَالَ ابْنُ مُقْسِم : أَشْهِدْ عَلَى أَبِيْكَ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ أَنَّهُ قَالَ) وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ . (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah r.a. pula, dari Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apa sajakah yang engkau semua masukkan dalam hitungan orang-orang yang mati syahid di kalangan engkau semua itu?” Para sahabat menjawab: “Ya Rasulullah, barangsiapa yang terbunuh dalam melakukan peperangan fi-sabilillah, maka ia adalah orang yang mati syahid.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Kalau demikian cara penganggapannya, maka sesungguhnya orang-orang yang mati syahid di kalangan ummatku itu niscaya sedikit sekali.” Mereka lalu bertanya: “Kalau demikian, maka siapa sajakah ya Rasulullah?” Beliau s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang terbunuh dalam melakukan peperangan fi- sabilillah, maka ia adalah orang yang mati syahid, juga barangsiapa yang mati dalam melakukan peperangan fî-sabîlillãh – sekalipun tidak terbunuh, misalnya jatuh dari kudanya, maka iapun mati syahid. Demikian pula barangsiapa yang mati karena dihinggapi penyakit taun – yakni pes, maka itupun orang yang mati syahid, juga barangsiapa yang mati karena dihinggapi penyakit perut, maka ia juga mati syahid dan orang yang lemas-mati tenggelam dalam air – itupun syahid.” (Riwayat Muslim)
Dengan demikian, belum tentu setiap orang yang gugur di medan perang adalah ’syuhadã’, jika pada saat kematiannya tidak dianugerahi sebuah penyaksian akan Al-Haqq. Juga hal ini berimplikasi bahwa banyak cara lain menjadi seorang ’syuhadã’ selain melalui peperangan. Di atas semua itu, sudah tentu lebih bisa kita pahami sekarang mengapa orang yang telah berhasil menjadi seorang ‘syuhadã’ maka jaminannya adalah surga.
Akhirul kalam, yakinkan kalimat:
أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ ۞
“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Utusan Allah”
Saudaraku, jadilah Saksi terhadap Allah dan Muhammad melalui Qalbu sucimu karena Dia Maha Dzahir sekaligus Maha Bathin dan bawalah pahala sebagai seorang yang Syahid.
Oleh: H. Derajat, Pasulukan Loka Gandasasmita