Oleh: Muchlisin BK
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Sering kali manusia mengeluhkan hal-hal yang tidak ia suka. Bahkan terkadang sampai pada level yang parah. Misalnya ia mengeluh saat turun hujan dan berharap segera kemarau. Saat kemarau, ia mengeluh karena panas dan berharap turun hujan.
Sebelum menikah, seseorang mengeluhkan sepinya hidup sendiri. Saat sudah menikah, ia mengeluh betapa repotnya mengurus rumah tangga. Sebelum punya anak, seseorang mengeluh belum punya momongan. Setelah punya anak, ada yang mengeluh repotnya mengasuh mereka.
Apalagi jika manusia tertimpa musibah. Seperti kehilangan sesuatu, sakit, atau terdampak bencana. Persis sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an:
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا ۞ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا ۞ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا ۞ إِلَّا الْمُصَلِّينَ ۞ الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ ۞
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. (QS. Al-Ma’arij: 19-23)
Allah menjelaskan bahwa manusia itu suka mengeluh kecuali orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. Sebab shalat membuat seseorang lebih bersyukur dengan nikmat-nikmat Allah yang sejatinya teramat sangat banyak.
Menyadari banyaknya nikmat Allah akan membuat seseorang berhenti mengeluh. Sebab apa yang ia keluhkan sangat kecil dibandingkan dengan nikmat yang Allah anugerahkan. Dan inilah metode yang diterapkan oleh Yunus bin Ubaid.
Suatu hari, seorang laki-laki datang kepada Yunus bin Ubaid. Ia mengeluhkan hidupnya. Mengeluhkan keterbatasan yang ia hadapi dan kemiskinan yang ia alami.
Yunus bin Ubaid lantas bertanya kepadanya. “Apakah engkau mau bila penglihatan yang kau gunakan untuk melihat ini diganti dengan uang 100 ribu dirham?”
Kalau dikurskan dengan rupiah, 100 ribu dirham saat ini setara dengan Rp10 milyar. Uang yang sangat banyak. Dan Yunus bin Ubaid sungguh-sungguh dengan pertanyaan itu. Tabi’in tersebut seorang pengusaha.
“Tidak,” jawab laki-laki tersebut setelah berpikir sejenak. Kita semua pasti menjawab yang sama. Apa artinya uang Rp10 milyar jika harus ditukar dengan penglihatan.
“Apakah engkau mau bila pendengaran yang kau gunakan untuk mendengar ini diganti dengan uang 100 ribu dirham?” Yunus bin Ubaid melanjutkan pertanyaannya.
“Tidak.”
“Apakah engkau mau bila hati yang kau gunakan untuk memahami diganti dengan uang 100 ribu dirham?”
“Tidak.”
“Apakah engkau mau bila tangan yang kau gunakan untuk bekerja diganti dengan uang 100 ribu dirham?”
“Tidak.”
“Apakah engkau mau bila kaki yang kau gunakan untuk berjalan diganti dengan uang 100 ribu dirham?”
“Tidak.”
Ternyata, orang yang tadinya mengeluhkan kemiskinannya, sejatinya ia sangat kaya. Baru saja ia menolak uang 500 ribu dinar atau Rp500 milyar. Artinya, Allah memberikan demikian banyak nikmat berharga kepadanya yang jika ditotal, nilainya lebih dari setengah triliun. Bahkan lebih dari satu triliun.[Kisahikmah]