Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhahu pernah menulis surat kepada anaknya, Hasan Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib. Saat itu, Hasan masih muda, sekitar 35-36 tahun. Menurut al-Ustadz Quraish Shihab, surat ini ditulis oleh Sayyidina Ali setelah terjadinya perang Shiffin (37 H).
Sebelum surat ini sampai ke tangan Hasan bin ‘Ali, Sayyidina ‘Ali merenungkan diri lalu berkata;
“Sebenarnya aku tak mau memperhatikan orang lain selain diri sendiri. Namun, aku sadar, wujudku tak lama lagi di dunia ini. Setelah aku tiada, hanya engkau anakku yang akan menjadi tumpuan hidupku. Kau (Hasan bin ‘Ali) adalah diriku, maka aku tulis surat ini”.
Prof. Quraish menjelaskan bahwa gaya bahasa surat ini terlalu indah dan megah. Penulis mengkategorikan isinya menjadi sembilan poin, yaitu,
Engkau adalah diriku, terimalah nasihatku!
Wahai anakku, hidupkanlah dirimu dengan nasihat. Padamkanah nafsumu itu dengan zuhud kekuatan dan keyakinan. Terangilah hatimu dengan hikmah dan selalu ingat kematian dalam segala aktivitasmu. Jika bertemu kawanmu, tunjukkan padanya aneka petaka yang serba dadakan di dunia. Peringatkan padanya, bahwa keburukan akan terjadi pada pergantian siang dan malam. Ingatkanlah hatimu!
Paparkan dalam benakmu sejarah generasi masa lalu, dan ingatkan dalam benakmu tentang orang-orang terdahulu. Jelajahi pemukiman dan peninggalan mereka dan renungkan apa yang mereka lakukan.
Menurut Quraish Shihab, Sayyidina Ali pernah melakukan hijrah dari kota Madinah ke kota Irak. Hal ini dikarenakan masyarakat Madinah mulai pudar memerhatikan masalah ukhrawi dan lebih condong kepada persoalan duniawi.
Saat itu, Ali semangat sekali untuk mengajak masyarakat Madinah untuk kembali lebih mencintai akhirat. Namun mereka mengabaikannya. Pasalnya, di zaman Nabi Muhammad SAW dan sahabat Abu Bakar al-Shiddiq, kota Madinah tentram dan lebih mencintai akhirat dibandingkan dunia. Sebaliknya, saat kepemimpinan sahabat Umar Bin Khattab sampai sahabat Utsman Bin Affan, masyarakat Madinah mulai berbondong-bondong mencintai dunia dan memiliki harta yang sangat banyak.
Wahai anakku, janganlah kau beli duniamu dengan akhiratmu. Hindarilah berucap menyangkut apa yang engkau tidak ketahui atau berbicara yang bukan urusanmu. Anakku, jangan telusuri jalan yang kau sendiri enggan untuk menelusurinya, ikutilah jalan yang pasti. Ketahuilah, sesungguhnya berhenti pada kebingungan kesesatan lebih baik daripada mengarungi bahaya dalam kesesatan.
Wahai anakku, sesungguhnya semua amalan yang aku sukai dari dirimu ialah bertaqwa kepada Allah. Kerjakan segala yang wajib terlebih dahulu, baru kau amalkan semua sunnahnya. Teladani orang-orang shalih dan para leluhur dari kerabatmu.
Menurut Ustad Quraish Shihab, kerabat disini ditunjukan pada Abdul Muthalib, Hasyim, dan seterusnya.
Wahai anakku, jadikanlah dirimu neraca antara dirimu dan selainmu. Cintailah kerabatmu dengan seutuhnya seperti halnya kau mencintai diri sendiri. Janganlah kau mengucapkan tentang suatu hal yang tidak kau ketahui, meski pengetahuanmu itu sedikit. Dan jangan kau ucapkan sesuatu yang engkau tidak senang ketika orang lain mengucapkannya padamu.
Wahai anakku, nafkahkan hasil usahamu dan jangan jadi penyimpan untuk orang lain. jika engkau dibutuhkan, maka berilah hartamu itu karena ia akan jadi bekal bagimu suatu saat nanti. Ketahuilah! Penguasa pembendaharaan langit dan bumi mengizinkanmu untuk berdoa dan doamu terjamin dikabulkan. Engkau harus sadar bahwa hidupmu akan berlangsung menuju akhirat. Hidupmu bukan hanya di dunia saja, akhirat menunggumu.
Wahai anakku, jangan berharap dengan harapan yang terlalu besar (muluk-muluk). Orang yang hebat adalah ia yang mengukur sebuah harapan dengan kemampuannya. Gunakanlah kesempatan! Karena sebaik-baiknya kesempatan ialah yang menasihatimu. Jangan engkau mengandalkan angan kosong, karena angan kosong adalah sikap sang picik. Ketahuilah! Kecerdasan adalah dia yang memelihara pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah ia yang menasihatimu.
Janganlah kau mengendarai perdebatan, ia akan menjerumuskanmu. Pertahankanlah jalinan hubungan dengan kerabatmu di saat ia memutuskan tali silaturahminya padamu. Bersikap tulus untuk menasihati sesama, baik itu akan bermanfaat bagimu atau sebaliknya. Padamkan amarahmu, ulurkan tanganmu dan bersikap lemah lembut. Jika engkau dendam pada kawanmu, beri ia ruang sedikit, siapa tau ia akan menjadi penolongmu suatu nanti. Dan ingat, jangan mengabaikan hak temanmu dengan mengandalkan hubungan baik dengannya. Jika kau abaikan hak temanmu, ia tak mau lagi berteman denganmu.
Berbagilah kebaikan untuk orang lain, jangan hanya andalkan kebaikan untukmu saja. Hiduplah di dunia ini dengan genggaman cinta dan kasih sayang pada sesama, dan curahkan kebaikan pada mereka.
Wallahu A’lam Bishawab