“Penyesalan karena telah salah berdoa, berujung tangisan hingga 300 tahun”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, doa dalam literasi keagamaan dipretensikan maknanya sebagai memohon atau meminta sesuatu kepada Allah SWT.
Jika dalam pandangan orang-orang awam meminta kepada Allah SWT untuk keselamatan sanak keluarga itu merupakan hal yang wajar, maka tidak sedemikian mudah bagi seorang Nabi. Berdoa atau meminta keselamatan untuk sanak keluarga bagi seorang Nabi tidaklah sembarangan.
Sebagaimana pernah dialami Nabi Nuh ‘alaihissalam, akibat salah meminta (berdoa) ia mengalami penyesalan dan menangis hingga 300 tahun lamanya.
Allah SWT menegur Nabi Nuh AS karena mendoakan putranya yang kafir. Sadar akan kekeliruannya, Nabi Nuh menyesal. Beliau lantas menangis selama 300 tahun sehingga di bawah kedua matanya seperti air mancur karena seringnya dia menangis
Buku “Tetes-Tetes Air Mata Taubat” karya Abdul Nawwarah (2009) mengutip Wahib bin al-Ward ra menjelaskan, tatkala Allah SWT mengolok-olok Nuh yang mendoakan anaknya, maka turunlah ayat, “Sesungguhnya Aku menasihatimu agar engkau tidak termasuk orang-orang bodoh.”
“Nuh lantas menangis selama tiga ratus tahun sehingga di bawah kedua matanya seperti air mancur karena seringnya dia menangis,” ujar Wahib.
Dalam buku ini diceritakan bagaimana tentang kasih sayang seorang ayah dan belas kasihnya terhadap buah hatinya yang dalam kacamata orang-orang awam sangatlah wajar dan manusiawi. Nabi Nuh senantiasa berdoa kepada Allah siang-malam, secara samar maupun terang-terangan. Tujuannya agar Allah memberi hidayah terhadap anaknya, menyelamatkannya dari tenggelam dalam banjir di dunia serta azab yang pedih di akhirat kelak.
Nuh bermunajat kepada Tuhannya dengan memanjatkan doa. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran:
وَنَادٰى نُوْحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابْنِيْ مِنْ اَهْلِيْۚ وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَاَنْتَ اَحْكَمُ الْحٰكِمِيْنَ ۞
“Nuh memohon kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” (QS. Hud [11]: 45).
Inilah hati seorang ayah yang terbakar kesedihan lalu bermunajat terhadap Tuhannya, karena menyangka anaknya adalah anggota keluarganya dan memiliki keimanan. Inilah pujian yang dipanjatkan Nabi Nuh kepada Allah agar doanya diterima.
Lalu turunlah penjelasan dari Tuhan kepada Nuh secara gamblang dan sempurna. Allah SWT berfirman:
قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚاِنَّهٗ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنِّيْٓ اَعِظُكَ اَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ ۞
“Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu karena perbuatannya sungguh tidak baik. Oleh karena itu, janganlah engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Sesungguhnya Aku menasihatimu agar engkau tidak termasuk orang-orang bodoh.” (QS. Hud [11]: 46).
Artinya, wahai Nuh, sesungguhnya anakmu bukanlah keluargamu dalam keimanan. Dia telah melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Tekanan kalimat “teguran” Allah SWT kepada Nabi Nuh dalam ayat tersebut begitu sangat verbal, jelas dan tegas.
Dalam sebuah riwayat hadits dijelaskan, “Dia telah melakukan perbuatan buruk sementara engkau tidak mengetahuinya. Dia adalah orang munafik yang menampakkan keimanan di hadapanmu dan menyimpan kekufuran dan kemunafikan, sedangkan engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu jangan termasuk orang-orang bodoh.”
Allah memberi peringatan kepada Nuh yang tetap mendoakan anaknya yang kafir dan fasik. Allah juga memberi nasehat kepada Nuh agar jangan sekali-kali mengulangi perbuatannya itu.
Tatkala Nuh menyadari akan larangan dari Tuhannya dia bekata,
قَالَ رَبِّ اِنِّيْٓ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِيْ بِهٖ عِلْمٌ ۗوَاِلَّا تَغْفِرْ لِيْ وَتَرْحَمْنِيْٓ اَكُنْ مِّنَ الْخٰسِرِيْنَ ۞
“(Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Hud [11]: 47).
Nabi Nuh meminta maaf kepada Tuhannya, bertobat, beristighfar dan kembali kepada Allah. Setelah itu, Nabi Nuh tidak mengulangi perbuatannya lagi yaitu mendoakan anaknya, serta menangis sejadi-jadinya mengharap ridha Tuhannya.
Hakikat Keluarga
Sayyid Quthub menggambarkan betapa dalamnya permasalahan dialog yang dilakukan oleh Nuh tatkala mendoakan anaknya dengan Tuhannya yang kemudian memberikan bantahan tegas.
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya.”
Sayyid Qutub mengatakan Allah membantah pernyataan Nuh dengan menunjukkan hakikat yang seringkali dilupakan. Artinya, hakikat sebuah keluarga dalam pandangan Allah SWT bukanlah hubungan disebabkan pertalian darah akan tetapi hubungan yang disebabkan pertalian akidah.
Sedangkan anak Nabi Nuh tidak beriman. Jadi, dia bukanlah keluarga dari Nabi Nuh ‘alaihissalam, seorang Nabi yang beriman.
Allah memberikan bantahannya dengan penuh ketetapan dan ketegasan sehingga seolah-olah menyerupai peringatan, perintah untuk bertobat dan ancaman.
Inilah hakikat agung dalam agama ini. Hakikat pertalian yang mengikat segalanya. Inilah pertalian akidah yang mengikat antara satu sama lain, yang tidak mungkin bisa diikat dengan pertalian nasab dan kekerabatan.
Engkau membencinya dan dia membencimu, meskipun anakmu lahir dari tulang rusukmu. Pertalian yang utama telah putus sehingga tidak ada lagi pertaliaan dan keterikatan setelahnya. Sebab, Nuh berdoa dengan penuh penghambaan kepada Dzat yang jika Dia berjanji tidak akan pernah tidak dilaksanakan. Sehingga bantahan yang disampaikan oleh Allah berbau perintah untuk melakukan tobat dan ancaman.
Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.”
Kasih sayang Allah tercurah kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam sehingga hatinya menjadi tenang. Allah juga memberkahi Nabi Nuh dan keturunannya yang saleh. Sedangkan keturunannya yang lain akan diberi azab yang pedih.
Kehidupan Nabi Nuh setelah mendapat ampunan Tuhannya dan setelah dia kembali kepada-Nya dan bertobat terhadap-Nya, menjadi kehidupan yang tenang di bawah naungan keimanan.
Wallãhu A’lam bish-Shawãb.
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِأُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ۞ اَللّٰهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ۞ اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ۞ اَللّٰهُمَّ اجْبُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ۞
(1) Allãhummaghfir li-ummati Sayyidinã Muhammad, (2) Allãhummarham ummata Sayyidinã Muhammad, (3) Allãhummastur ummata Sayyidinã Muhammad, (4) Allãhummajbur ummata Sayyidinã Muhammad.
“(1) Ya Allah berilah ampunan umat baginda kami Sayyidina Muhammad SAW, (2) Ya Allah sayangilah umat baginda kami Sayyidina Muhammad SAW, (3) Ya Allah sempurnakanlah (kelalaian) kekurangan umat baginda kami Sayyidina Muhammad SAW, (4) Ya Allah perbaikilah umat baginda kami Sayyidina Muhammad SAW.“