Home / Agama / Kajian / Nahwu Sufistik: Manashabkan yang Marfu’

Nahwu Sufistik: Manashabkan yang Marfu’

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Kami membaca beberapa ulasan tentang adanya pergeseran makna nahwu yang ada di kalangan para salik. Para ahli ilmu bathin menyandarkan ungkapan-ungkapnnya pada kebenaran esensial ketimbang melulu memperhatikan norma-norma gramatika. Sebagaimana yang dungkapkan oleh Sayyid Musthofa al-Bakri dalam kitabnya al-‘Araisy al-Qudsiyyah;

“ketidak perhatiannya para ahli  bathin terhadap I’rab, tata bahasa Arab, bukanlah merupakan sebuah kesalahan berbahasa, karena mereka lebih mementingkan dan memperhatikan makna ketimbang struktur kalimat”.

Adanya Perbedaan Pandangan

Nampaknya ada perbedaan sudut pandang tentang nahwu menurut kaum awam dengan para salik. Pada umumnya, kebenaran berbahasa, keindahan kalimat dan strukturnya selalu diukur dari kacamata nahwu yang sudah baku, final dan eksaktik sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab Nahwu baik klasik maupun modern. Akan tetapi bagi para salik, itu semuanya adalah hanya kebenaran formil yang belum tentu mencerminkan kebenaran substansial. Oleh karena itu mereka lebih memperhatikan kebenaran-kebenaran substansial yang pada titik tertentu bisa berbeda bahkan kontradiktif dengan teori-teori nahwu yang sudah mapan sejak puluhan abad silam.

Sebetulnya perbedaan di antara kalangan Nuhat tentang konstruksi Ilmu Nahwu adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Misalnya saja dalam ilmu nahwu terdapat dua madzhab besar yang pengaruhnya sama-sama kuat, yaitu madzhab Bashroh dan madzhab Kuffah. Kedua madzhab ini tidak saja berbeda dalam tema-tema tertentu, misalnya dalam hal asma’ul khamsah. Akan tetapi juga berbeda dalam menentukan sumber ilmunya, epistemologi dan kriteria suku-kelompok-bani yang bisa dijadikan rujukan dalam   menentukan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Dua madzhab tersebut muncul sejak lahirnya ilmu nahwu. Baik dilatarbelakangi oleh perbedaan perspektif maupun (nampaknya juga) dilatarbelakangi oleh perbedaan politik. Pada perkembangan selanjutnya, masa modern, ilmu nahwu juga mengalami “gugatan” karena dianggap terlalu njlimet, filosofis dan kurang relevan bagi orang-orang ‘ajam, non-Arab.

Misalnya Ibnu Madha mengarang kitab berjudul al-Rad ‘ala al-Nuhat (sanggahan terhadap para ahli nahwu). Dalam kitab tersebut Ibnu Madha mengkritik teori-teori nahwu klasik sebagaimana dikonsepsi oleh Sibawaih yang dianggapnya menyusahkan bagi para pengkajinya. Gagasan besar Ibnu Madha adalah Taisir ‘Ilmu al-Nahw (mempermudah ilmu nahwu), yaitu menampilkan ilmu Nahwu yang sederhana, mudah dan simpel.

Nuhat Dzahiri dan Nuhat Bathini

Perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara para Nuhat baik klasik maupun modern, masih pada koridor ilmu nahwu  yang tidak tercampur dengan disiplin ilmu lain. Berbeda dengan para nuhat, orang-orang yang gandrung terhadap ilmu bathin, tasawuf, memberikan perspektif lain dalam melihat teori-teori nahwu. Nahwu yang bersifat lahiri ditarik pada wilayah bathini. Standar kebenaran kalimat tidak lagi diukur pada kesesuaian dengan teori-teori nahwu. Akan tetapi kalimat yang benar adalah kalimat yang susunannya sesuai dengan “bisikan” ilahi.

Kesalahan berbahasa adalah adanya ungkapan yang keluar dari tujuan mulia yaitu mengungkap rahasia-rahasia Allah. Jika ungkapan-unagkapan para salik bersumber dari keagungan dan kesucian Allah bagaimana mungkin para salik salah dalam berbahasa???

Itulah pertanyaan “pembelaan” para ahli ilmu bathin atas aturan berbahasa mereka. Jika kalangan awam mempermasalahkan atas struktur kalimat mereka yang bertentangan dengan nahwu, bagi para salik itu disebabkan karena ketidak-mampuan  para awam dalam menangkap keluhuran makna yang bersumber dari bisikan Allah.

Bisa jadi para salik akan membaca nashab pada huruf yang secara gramatika harus dibaca kasrah’ dengan alasan bahwa membaca nashab dengan tanda harakat fathah adalah jalan bagi terbukanya kebenaran. Terkadang mereka membaca kasrah pada huruf yang seharusnya dibaca nashab, memberi harakat pada huruf yang harusnya sukun dan bisa juga men-sukun-kan pada huruf yang seharusnya berharakat.

Bahkan konsep ­al-Asma’ al-Khamsah bagi para salik disederhanakan hanya menjadi tiga huruf yaitu alif, wawu dan ya’. Perubahan-perubahan I’rab tersebut sangat dipengaruhi oleh kepribadian mutakallim dan mukhotobnya, waktu dan tempat tindakan tuturannya serta tingginya lafadz dan makna bagi pendengarnya.

Dalam sebuah riwayat pernah diceritakan, suatu hari sahabat Abu Bakar, yang juga mertua junjungan Nabi Muhammad SAW, hendak sowan ke beliau. Sesampainya di depan pintu rumah kanjeng Nabi, Sahabat Abu Bakar mengetuk-ngetuk pintu rumah beliau. Pada saat yang sama ada seorang pelayan bertanya kepada Nabi, gerangan siapa yang mengetuk pintu tersebut?. Dijawablah oleh Nabi Muhammad أبابكر  (Aba Bakr) yang semestinya jika menggunakan kaidah bahasa Arab, Nabi menjawab أبو بكر  (Abu Bakr) dengan huruf wawu setelah huruf ba’ bukan huruf alif.

Kenapa Nabi memilih kata أبا  dengan manshub bi al-fath ketimbangan marfu’ bi al-Wawu?. Memilih fathah pertanda bahwa pintu Nabi Muhammad terbuka lebar buat mertuanya tersebut, memilih nashab dari pada marfu’ karena itu adalah isyarat dari Nabi bahwa kelak Abu Bakar adalah penerus perjuangan, khalifah, setelah kewafatan beliau.

Huruf fathah juga merupakan huruf paling ringan pengucapannya dan lembut pelafalannya. Sedangkan pintu yang diketuk oleh Sahabat Abu Bakar adalah sebaik dan semulia-mulianya pintu yang ada di dunia, yaitu pintu rumahnya kanjeng Nabi Muhammad SAW. Maka sudah sepantasnya menjadi bagian dari penghormatan atas tamu agungnya. Dari pintu tersebut terpancar cahaya-cahaya Ilahi dan tersingkap pula rahasia-rahasia langit.

Riwayat di atas hanyalah salah satu contoh bagaimana kaedah nahwu, bagi para salik, sangat dinamis, kontekstual dan spriritualis. Nahwu memiliki argumentasi-argumentasi spiritual yang berbasis pada bisikan dan hembusan pesan langit. Hanya mereka yang jernih hati dan jiwanyalah yang mampu “merubah” nahwu menjadi spirit pengabdian dan jalan meniti tangga wushul.

Oleh: Muhajir
Source: Lughotuna

About admin

Check Also

Saat Imam al-Ghazali Risau Terhadap Islam di Andalusia

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ ...