“Sebuah ‘kode keras’ dari Allah SWT bahwa makhluq manusia diberikan kedekatan, kebersamaan dan kepenyatuan dengan-Nya”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Misteri hidup dalam diri manusia tidak banyak kita sadari secara mendalam. Kita terlampau lalai, lupa dan gak ngeh bahwa nafas yang keluar masuk lewat saluran pernafasan kita adalah sebuah indikator hidup.
Meski sebuah indikator hidup, angin nafas yang keluar masuk itu bukanlah kita. Jangankan hidup, indikatornya saja bukanlah milik kita. Keluar masuknya nafas itu bukanlah ‘karya’ kita, bukan buatan kita.
Sebagai indikator, ternyata nafas adalah sebuah partikel yang berisikan muatan kode akan adanya hidup. Seberapapun halusnya, muatan kode yang dibawa oleh partikel nafas berisikan sebuah pengetahuan yang maha dahsyat.
Kata kunci untuk bisa menguak misteri pengetahuan yang maha dahsyat itu adalah kesadaran akan hidup yang dimulai dari kesadaran akan nafas. Dan kesadaran akan nafas, harus dimulai dengan kesadaran akan ketiadaan diri dan ketiadaan hak atas apapun. Buanglah jauh-jauh klaim-klaim kepemilikan yang menimbulkan kemelakatan yang menyiksa. Serahkanlah segala kepemilikan tersebut kepada hidup yang indikatornya adalah nafas.
Setelah membuang semua klaim kepemilikan, lalu perhatikanlah diri kita sendiri dengan seksama; dari sejak lahir, lalu menjadi bayi, kemudian anak-anak, terus menjadi remaja, dewasa, hingga menjadi tua. Kelahiran, pertumbuhan, kekuatan tubuh, bekerjanya panca indera, kemampuan berpikir dan menganalisa, kemudian berpadulah antara naluri, insting dan emosi, lalu mengetahui banyak hal. Perhatikanlah, adakah peran dan keterlibatan kita?
Perhatikanlah surah al-Baqarah [2] ayat 255 yang disebut dengan ayat Kursi ini:
اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ ۞
“Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda (tidak diambil) oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya (ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.
Perhatikanlah statemen: “…Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya…”. Dengan gamblang dan jelas, bahwa klaim kepemilikan hanyalah hak-Nya. Bagi kita, apapun dan siapapun kita, jika merasa memiliki dan mengklaim kepemilikan hingga muncul kemelakatan adalah maling, rampok dan tak sadar bahwa dirinya itu terikat oleh sebuah Kekuatan Maha Dahsyat.
Perhatikanlah aktifitas dalam kehidupan sehari-sehari, ketika tidur, bagian manakah dari diri kita yang tidak tidur. Mata tidur, telinga tidur, mulut tidur, tangan tidur, kaki tidur tubuh tidur, yang tidak tidur hanyalah Nafas, kata Allah, nafas itu adalah Ruh-Ku.
Allah SWT telah memberikan kode lewat surah Shãd [38] ayat:72-74:
فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ ۞ فَسَجَدَ الْمَلٰۤىِٕكَةُ كُلُّهُمْ اَجْمَعُوْنَۙ ۞ اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اِسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ ۞
“Apabila Aku telah menyempurnakan (penciptaan)-nya dan meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, tunduklah kamu kepadanya dalam keadaan bersujud (72). Lalu, para malaikat itu bersujud semuanya bersama-sama (73). Kecuali Iblis. Ia menyombongkan diri dan termasuk golongan kafir (74).”
Tidakkah anda merasa bahwa keluar masuk nafas adalah indikator hidup mati yang secara tidak sadar setiap saat kita rasakan. Ada perkataan orang “menghembuskan nafas terakhir”, bahwa kata ini menunjukkan orang itu telah meninggal dunia.
Ayat di atas secara gamblang menyebutkan bahwa “nafasmu adalah ruh-Ku, bukan milikmu”. Jadi, kita hidup karena ada nafas. Harus kita sadari bahwa nafas itu adalah tiupan Roh Allah SWT.
Dalam literatur bahasa Arab, angin atau udara menggunakan istilah ar-rîh, sedangkan ruh menggunakan istilah ar-rûh. Ar-rîh dan ar-rûh berasal dari akar kata yang sama, rawaha. Melalui perubahan secara tashrifiy, keduanya mengambil perubahan yang berbeda untuk menunjukkan makna yang berbeda.
Namun demikian, betapapun kamu sadar tentang ruh, Allah SWT memberikan batasan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Isrã’ [17]: 85:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا ۞
“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.”
Jadi, kalau menurut ayat ini, pengetahuan tentang Roh itu Allah beri pengetahuan kepada kita sedikit. Yang sedikit ini diperumpamakan setitik air, setitik air itu seperti sungai yang mengalir dan kembali ke lautan samudera. Maka, setitik air itu menyatu dengan laut samudera, dan menjadi laut samudera. Wajib kita ketahui bahwa wujud Roh itu adalah Nafas yang tanpa kita sadari sangat dekat, menyatu dengan diri kita dan kita rasakan.
Allah SWT juga telah memberikan ‘kode’ bahwa Diri-Nya sangat dekat dengan makhluq manusia di dalam ayat lain, yakni Surat Qãf [50]: 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ ۞
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.
Juga dalam Surat al-Hadîd [57]: 4:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ ۞
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian, Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Jadi, Allah tidak pernah terpisah dari kita. Dia selalu terhubung dengan kita. Kita dituntut untuk selalu sadar akan kehadiran Allah, tidak terbatas ruang dan waktu. Jadi, selalu sadar bahwa kita terhubung menyatu dengan Allah, manunggal bersama Allah.
Dalam ilmu Tauhid, mengesakan Allah itu adalah menyadari dengan sepenuh hati bahwa kita Esa dengan Allah. Allah tidak pernah meninggalkan kita, tiap helaan nafas kita itu bermakna ingat kepada Allah (Dzikrullãh). Kesadaran akan keluar masuknya nafas adalah realitas tauhid itu sendiri dan merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi.
Perhatikanlah poin ayat tersebut, bahwa “Dia bersamamu di mana saja kamu berada”. Sebuah ‘kode’ ma’iyyah (kebersamaan) atau kepenyatuan yang memaparkan makna menyeluruh dari teks ayat tersebut.
Perhatikanlah berulang kali, bahwa “Dia bersamamu di mana saja kamu berada” itu dihubungkan dengan penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy, Dia juga mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.
Allah SWT juga menegaskan bahwa ‘kode’ ma’iyyah (kebersamaan) atau kepenyatuan itu juga dibubungkan dengan Penglihatan-Nya pada kalimat “Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Guru kami, Syaikh Yusuf al-Makassari dalam Kitabnya, al-Futuhãt ar-Rabbãniyyah wal-Asrãr al-Ilãhiyyah (Mahkota Rahasia dalam Penemuan Oase Para Arif) menjelaskan tentang kalimat: “Dia bersamamu di mana saja kamu berada” dengan pemahaman bahwa ma’iyyah (kebersamaan) atau kepenyatuan Allah ini seperti kebersamaan antara ruh dan tubuh. Bukan seperti kebersamaan antara satu barang dengan barang lainnya, seperti misalnya “saya bersama anda”.
Para ahli tafsir terbagi dalam tiga cabang mengenai pemaknaan “ma’iyyah” ini. Golongan pertama menyebutkan bahwa kebersamaan Allah melalui ilmu (misalnya, Tafsir Jalalain). Golongan kedua misalnya, menambahkan bahwa hal ini terjadi melalui ilmu dan qudrah (Kuasa). Dan yang terakhir adalah mereka yang menetapkan bahwa Allah “bersama” hamba-Nya dengan “Zat”-Nya (seperti Ibnu Ajibah) atau “Wujud”. Dalam hal ini Syekh Yusuf masuk ke dalam golongan ketiga.
Ma’iyyah (kebersamaan) atau kepenyatuan juga diberikan ‘kode’ oleh Allah SWT dalam Surat an-Nisã’ [4] ayat 126:
وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطًا ࣖ ۞
“Hanya milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”
Setelah berupaya menyerahkan segala kepemilikan untuk memulai kesadaran akan adanya indikator hidup, perhatikan di ujung ayat tersebut; “Allah Maha Meliputi segala sesuatu”.
Literasi kebersamaan dan kepenyatuan dalam ayat ini menggunakan istilah “ihâthah” (meliputi segala sesuatu) yang lebih luas dari sekedar “ma’iyyah” (kebersamaan). Syaikh Yusuf menjelaskan bahwa “keterliputan” ini bersifat menyeluruh seperti keadaan keterliputan yang disifati (maushûf) oleh sifat-sifatnya (aushãf). Bukan seperti keterliputan (pelingkupan) satu hal dengan hal lain. Misalnya “salju tebal melingkupi Gunung Jayawijaya” artinya menutupinya.
Kemudian Syekh Yusuf menjelaskan bahwa meskipun kebersamaan (ma’iyyah) dan keterliputan (ihâthah) Ilahi bersifat sempurna dan terkadang hampir tidak dapat dibedakan, seorang hamba tetaplah hamba meskipun dia “naik” (taraqqiy) menuju Allah dan fana’ lalu abadi di dalam-Nya, serta disifati dengan sebagian sifat-sifat-Nya. Begitu pula Tuhan tetaplah Tuhan, meskipun Dia “menurun” (tanazzul) dan menjadi “tampak” (tajallã) dalam hamba, serta disifati dengan sebagian sifat hamba-Nya. Syekh Yusuf memperingatkan bahwa seseorang hendaknya tidak melampaui dan berlebih-lebihan (ghalath) pada batasan ini, atau ia akan masuk ke dalam api neraka.
Perlu diingat bahwa ma’iyyah (kebersamaan) dan ihãthah (keterliputan) yang demikian ini mengikuti sifat Allah sebagai “Yang Awal-Yang Akhir, Yang Lahir-Yang Batin”. Dan keduanya hanya bisa ditetapkan dari sisi Allah kepada hamba-Nya, bukan sebaliknya.
Dan Syekh Yusuf mewanti-wanti, pemahaman ini tidak akan menghasilkan kebaikan kecuali pada mereka yang mengikuti zahir Syari’ah. Menurutnya, telah banyak orang terpeleset di sini. Di abad ke-17, petunjuk ini telah muncul. Hal ini penting karena kita akan melihat beberapa penafsir yang terpeleset sehingga meninggalkan ibadah.
Namun, di masa sekarang, mereka yang beribadah justru cukup banyak meninggalkan pemahaman hakikat Allah, meninggalkan kesadaran akan adanya hidup yang meruntuhkan segala klaim kemelekatan manusia atas segala sesuatu. Suatu ujung lain yang juga diwanti-wanti oleh Syekh Yusuf.
Mengutip pendapat mereka yang telah mengenal Allah (‘ãrif billãh) bahwa:
شَرِيْعَةٌ بِلَا حَقِيْقَةٍ عَاطِلَةٌ، وَحَقِيْقَةٌ بِلَا شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ
Syarî’atun bilã haqîqatin ‘ãthilah, wa haqîqatun bilã syarî’atin bãthilah
“Syariat tanpa hakikat adalah kesia-siaan, dan hakikat tanpa syariat adalah kebathilan”.
Saudaraku yang disayangi Allah SWT, mari kita berupaya untuk membuka khazanah kesadaran keterliputan (ihãthah) dan kebersamaan (ma’iyyah) Allah ini dengan berulang-ulang menyerahkan segala sesuatu hanyalah kepada-Nya. Leburkanlah segala pengakuan akan eksistensi dan luruhkanlah segala kemelekatan kepada segala sesuatu hanya kepada-Nya, milik-Nya, di dalam genggaman-Nya dan berada pada kuasa-Nya. Semoga Allah SWT memudahkannya, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.
__________
* Disarikan dari berbagai sumber