Home / Agama / Kajian / Nabi Pamungkas dan Nabi Sekunder

Nabi Pamungkas dan Nabi Sekunder

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Salah satu doktrin utama yang dijunjung tinggi kaum muslim adalah keyakinan tentang Muhammad sebagai nabi pamungkas (khatam al-nabiyyin). Begitu sucinya doktrin ini, para ulama berpandangan bahwa siapa saja yang melanggarnya dapat dianggap murtad atau keluar dari Islam. Menurut hukum Islam (fiqih), seorang yang murtad haruslah dibunuh. Para ahli fiqih sepakat bahwa pemerintahlah yang harus menjalankan hukuman, namun seorang ulama dari mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukuman itu bisa dilaksanakan secara individual jika pemerintah tak mampu melaksanakannya.

Mungkin karena doktrin fiqih yang kaku itu, kaum muslim memusuhi dan menyerang Ahmadiyah, sebuah aliran yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Baik di Pakistan (negara asal Ahmadiyah) maupun Indonesia, anggota Ahmadiyah dikecam, dikejar-kejar, dan properti mereka dirusak dan dibakar. Tanpa mau mengerti persoalan kompleks tentang konsep kenabian, kaum muslim meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah dan melarang sekte ini hidup di Indonesia.

Doktrin khatam al-nabiyyin bukanlah milik kaum muslim saja, tapi ia juga milik semua agama. Setiap agama besar memiliki doktrin nabi pamungkas. Agama Yahudi menganggap Musa sebagai nabi pamungkas; Agama Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas; dan agama Buddha menganggap Siddharta Gautama sebagai nabi pamungkas. Masing-masing agama ini menjunjung tinggi doktrin khatam al-nabiyyin, dan akan menganggap siapa saja yang melanggarnya telah tersesat.

Pada awal-awal kemunculan agama Kristen, kaum Yahudi menganggap pengikut Isa (Yesus) sebagai kaum heretik, karena mendaulat Isa (bukan Musa) sebagai nabi pamungkas dan bahkan menganggapnya sebagai anak Tuhan. Begitu juga, pada masa-masa awal kemunculan Islam, kaum Kristen di kawasan Bizantium (Kekristenan Timur) menganggap pengikut Muhammad sebagai “sekte Kristen” yang sesat dan menyesatkan. Islam dianggap sekte sesat karena memperkenalkan nabi baru selain Isa, yakni Muhammad, sebagai nabi pamungkas.

Sesat menyesatkan terhadap siapa saja yang menolak doktrin nabi pamungkas dalam suatu agama bukanlah unik milik Islam. Setiap agama baru selalu melewati proses semacam ini. Saya menyebutnya “proses heretisasi”, yakni upaya menjauh dari pemahaman ortodoks. Jika proses heretisasi berlangsung mulus, sebuah agama baru bakal muncul; jika tidak, konflik dan ketegangan akan terjadi.

Proses heretisasi terjadi sepanjang sejarah. Orang-orang Yahudi menganggap Kristen sebagai agama heretis yang menyempal dari agama Yahudi. Begitu juga, kaum Kristen memandang Islam sebagai sekte sesat yang menyempal dari agama Kristen. Pada gilirannya, kaum muslim menganggap Baha’i sebagai agama yang menyempal dari Islam. Baha’i tidak lagi dianggap sebagai bagian dari Islam karena para pemeluknya tak mau menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas, tapi malah menjadikan pemimpin mereka, Baha’ullah, seorang alim dari Persia, sebagai gantinya.

***

Ahmadiyah, menurut saya, belum bisa dianggap sebagai agama baru, karena proses heretisasi dalam dirinya belum sempurna. Para pengikut Ahmadiyah masih terbelah antara menerima Muhammad sebagai nabi pamungkas dan menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi baru. Kecuali jika mereka sendiri yang mendeklarasikan Ahmadiyah sebagai agama baru, tak seorang pun berhak menganggapnya demikian.

Saya tidak tahu apakah ada anggota Ahmadiyah yang benar-benar menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi pamungkas. Setahu saya, dari sejumlah literatur tentang Ahmadiyah yang pernah saya baca, seluruh anggota Ahmadiyah di Indonesia tetap menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai nabi sekunder yang kedudukannya lebih rendah daripada Nabi Muhammad.

Konsep nabi sekunder memang tidak dikenal dalam teologi Sunni. Tapi, konsep itu dikenal secara luas dalam agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen. Orang-orang Yahudi, misalnya, menganggap Musa sebagai nabi pamungkas, tapi pada saat yang sama meyakini Isaiah, Jeremiah, Ezekiel, dan Daniel sebagai nabi juga, namun bersifat sekunder. Orang-orang Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas, tapi pada saat yang sama bisa menerima Simon, James, Matius, dan Thomas sebagai nabi (rasul).

Islam tidak mengadopsi teologi semacam itu, tapi mengembangkan doktrinnya sendiri tentang nabi sekunder. Kaum Syiah menyebutnya “imam”, sedangkan kaum Sunni memiliki istilah yang beragam, seperti “wali”, “ulama”, dan “mujaddid” (pembaru). Baik imam maupun wali (dan istilah lain dalam dunia Sunni) sesungguhnya memiliki posisi yang kurang-lebih sama dengan nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan Kristen. Para imam dua belas (itsna asy’ariyah) bagi kaum Syi’ah memiliki kharisma dan posisi yang tak bisa disejajarkan dengan kaum muslim biasa. Kedudukan mereka hanya bisa dikalahkan oleh Muhammad, sang nabi pamungkas.

Begitu juga, dalam dunia Sunni, para awliya (bentuk jamak dari wali), ulama, maupun mujaddid memiliki kedudukan yang tinggi, disanjung, dihormati, dan didengar pandangan-pandangannya. Abdul Qadir al-Jailani, misalnya, adalah salah satu wali yang sangat dimuliakan kaum muslim Sunni. Begitu juga, Abu Hamid al-Ghazali merupakan ulama yang menempati posisi sangat khusus di kalangan umat Islam. Begitu uniknya posisi Al-Ghazali sehingga Montgomery Watt, seorang orientalis Inggris, menganggapnya sebagai muslim terbesar kedua setelah Nabi Muhammad.

Mujaddid juga memiliki posisi unik yang bisa disejajarkan dengan konsep nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan Kristen. Istilah mujaddid diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam sebuah sabdanya: “Setiap 100 tahun Allah mengutus seorang mujaddid yang akan memperbarui ajaran agama (Islam).” Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh (1849 1905), Ali Abd al-Raziq (1888 1966), dan Fazlur Rahman (1919 1988), adalah para pembaru Muslim yang dimaksudkan Nabi. Tentu saja, istilah “100 tahun” tidak harus diartikan secara literal, karena “100 tahun” yang dimaksud dalam hadits itu adalah masa yang dibutuhkan suatu doktrin untuk menjadi kedaluwarsa. Dan itu harus diperbarui dalam setiap kurun waktu tertentu agar tetap segar.

***

Para teolog Sunni memang tidak menganggap wali atau ulama atau mujaddid sebagai nabi, tapi mereka memandang posisi mereka begitu tinggi, dan bahkan meletakkannya setingkat di bawah nabi. Ulama, misalnya, dianggap sebagai ahli waris para nabi (al-‘ulamã waratsat al-anbiyã).

Sebenarnya, jika para pengikut Ahmadiyah menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai wali, atau ulama, atau mujaddid, pasti tidak akan ada masalah. Sayangnya, mereka lebih memilih bersitegang dengan ortodoksi Sunni dengan tetap menggunakan istilah “nabi” untuk pemimpin mereka. Padahal, yang mereka maksudkan dengan nabi ketika menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebetulnya adalah “wali” atau “mujaddid” dalam pengertian kaum Sunni.

Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari cara mereka membeda-bedakan tiga istilah, yakni “nabi independen” (naby mustaqill), “nabi tidak independen” (naby ghayr mustaqill), dan “nabi bayangan” (naby al-dzill). Nabi independen adalah pemuka agama yang membawa risalah murni, seperti Musa, Isa, dan Muhammad. Nabi tidak independen adalah pemuka agama yang meneruskan risalah nabi independen, seperti Harun (dalam kasus Musa) dan Paulus (dalam kasus Isa). Sementara nabi bayangan adalah pemuka agama yang menyebarluaskan risalah itu.

Para pengikut Ahmadiyah Qadiyan memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai naby ghayr mustaqill, sementara pengikut Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza sebagai naby al-dzill. Kedua sekte ini tetap menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas (naby mustaqill) yang kedudukannya tak bisa digantikan oleh siapa pun.

Ketegangan yang terjadi dalam menyikapi Ahmadiyah selama ini sesungguhnya dipicu oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan istilah “nabi”. Baik Ahmadiyah maupun Sunni sama-sama bersalah. Ahmadiyah bersalah karena menggunakan istilah yang tak bisa diterima dalam teologi Sunni. Kaum Sunni bersalah karena tak mau mengerti bahwa istilah nabi bisa dimaknai dengan beragam arti, tidak mesti hanya satu makna saja seperti yang mereka pahami secara keliru selama ini.[]

Sumber: Majalah Tempo Interaktif

About admin

Check Also

Kalimat Haqq Bertujuan Bathil

“Sebuah fenomena akhir zaman yang penuh fitnah, tipuan dan kepalsuan, menuntut kita semua untuk istiqâmah ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *