SETELAH diterjang musibah gempa dan tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004, kondisi Aceh belum dapat dikatakan telah pulih sepenuhnya. Ada beberapa faktor yang masih menghambat masyarakat Aceh untuk bangkit dari keterpurukan. Dan, salah satu di antaranya adalah terjangan badai bernama “Arabisasi” yang menghantam budaya Aceh secara masif. Realita ini semakin memprihatinkan tatkala Instansi Pemerintah Daerah (Pemda) ikut menyokong peng-arab-an masyarakat Aceh. Penerapan Syari’at Islam dijadikan sebagai dalih untuk memberangus budaya-budaya lokal yang dianggap tidak sesuai dengan Syari’ah. Kemajemukan budaya di Indonesia pun berada di ambang kehancuran. Bagi siapa pun yang mengkritisi “proyek” peng-arab-an ini, maka akan dilabel sebagai “antek-asing, sesat dan bahkan kafir”.
Fenomena Arabisasi yang sedang berlangsung di Aceh dimulai pada era reformasi. Semenjak tumbangnya rezim Orde Baru, euforia menyambut pergantian rezim ini diterjemahkan oleh segelintir pihak yang gemar mempromosikan budaya Arab, dengan upaya mendominasi sendi-sendi kehidupan rakyat Aceh untuk dipaksa mengikuti apa yang mereka sebut sebagai “perintah agama”. Infiltrasi (penyusupan) nilai-nilai Arab pun dilakukan secara sistematis melalui “pembajakan” landasan yuridis otonomi khusus bagi Aceh. Banyak rakyat Aceh tidak menyadari bahwa budayanya sedang digerogoti secara perlahan.
Melalui “tameng” penegakan Syari’at Islam, kearifan lokal dan perdamaian Helsinki, pihak yang dimaksud berkeinginan untuk mengganti budaya pribumi dengan budaya Arab, tetapi tetap menyebut terminologi (istilah) budaya Aceh sebagai upaya “pengaburan” jejak. Seiring waktu berjalan, mereka mulai “membajak” istilah kearifan lokal untuk melegitimasi peng-arab-an yang sedang berlangsung dan mengelabui rakyat Aceh, walau kenyataan menunjukkan justru sebaliknya; kearifan lokal Aceh yang asli sedang dikubur dalam-dalam oleh Arabisasi tersebut.
Produk hukum nasional yang menjadi “pintu masuk” proses peng-arab-an budaya Aceh adalah UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa (DI) Aceh, serta UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dan, yang terakhir adalah UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selebihnya merupakan peraturan-peraturan daerah yang di Aceh dinamakan sebagai Qanun.
Peng-arab-an budaya Aceh dikemas sedemikian rupa, sehingga nyaris tiada kritik terhadapnya. Kecuali dari kalangan-kalangan terdidik yang mencium “aroma busuk” yang menyengat dari kegiatan yang sedang direncanakan oleh para perusak budaya Aceh tersebut.
Seperti yang disampaikan oleh staf pengajar di UIN Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah: “Masyarakat Muslim Indonesia mengalami Arabisasi ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok yang antara lain menerapkan pemisahan yang ketat dalam pergaulan sosial lelaki dan perempuan.” (Republika.co.id, 20/12/2008)
INTIMIDASI
Semenjak kemerdekaan Republik Indonesia yang diraih melalui perjuangan panjang mengusir kolonialisme dari nusantara, provinsi Aceh belum sepenuhnya terbebas dari konflik. Baik itu konflik horizontal (antar sesama masyarakat Aceh) seperti perang Cumbok, maupun konflik vertikal (dengan Pemerintah Pusat) seperti DI/TII dan separatis GAM. Pada akhirnya, berangsur-angsur konflik di Aceh berhasil diredam oleh Pemerintah Pusat.
Produk hukum menonjol yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat (Jakarta) untuk mengatasi dua konflik yang terakhir disebut adalah UU No. 24/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara, serta UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dari kedua regulasi nasional itu, substansi penting hendak dicapai adalah kesejahteraan rakyat Aceh, yang dititikberatkan pada ekonomi, pendidikan, budaya dan agama. Dalam hal agama, bukan berarti menggerus budaya-budaya lokal yang telah ada sebelumnya dengan dalih “Syari’at Islam”.
Diakui atau tidak, banyak kepentingan asing yang berasal dari “Timur-Tengah” sedang bermain sekaligus mengobok-obok kebhinnekaan yang telah ada di Aceh pada khususnya dan Indonesia secara umum melalui agen-agen yang mengunakan simbol agama. Simbol-simbol “Islam” disalahgunakan dan dijadikan sebagai alat untuk membungkam kritik-kritik yang ditujukan pada proyek Arabisasi yang sedang mereka laksanakan. Proses pun berjalan walau kadang tersandung oleh ketentuan hukum yang lebih tinggi, yang berlaku di Republik Indonesia.
Pelbagai macam proses peng-arab-an terhadap budaya Aceh dilakukan. Mulai dari pemisahan ketat pergaulan antara lelaki dan perempuan (khalwat), berbusana layaknya orang-orang Timur-Tengah, larangan mengangkang bagi perempuan yang mengendarai sepeda motor, dan bahkan yang paling parah adalah perempuan dilarang melakukan tarian yang telah menjadi budaya Aceh; sebab dikhawatirkan akan menimbulkan libido (syahwat) bagi para lelaki yang melihatnya. Hal-hal yang berlaku pada masa Abad Pertengahan kembali hendak dimunculkan melalui penerapan regulasi-regulasi lokal. Syukur Aceh masih berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga masih ada celah dan harapan bagi perlindungan budaya Aceh, sekaligus diberikan ruang bagi upaya mengkritisi kebijakan peng-arab-an tersebut.
Di tengah munculnya kritik-kritik masyarakat dan kehadiran Negara melalui lembaga yang berwenang di Indonesia yang mampu membendung arus “Arabisasi bertopeng Islamisasi” itu, pihak pelaksana proyek peng-arab-an terhadap budaya Aceh mulai mengintimidasi dan mengancam masyarakat Aceh yang bersuara berbeda dengan mereka, melalui menebarkan ketakutan terhadap penduduk dengan pernyataan: “perdamaian Aceh sedang terancam.” Mereka menggunakan keluhuran perdamaian Aceh untuk mencapai tujuannya memberangus budaya-budaya Aceh.
Bahkan tidak hanya itu, label (stereotype) “sesat, antek-asing, hingga kafir” ditujukan pada para pengkritik yang berbeda dengan tujuan pelaksana Arabisasi. Padahal sebenarnya, pelaksana proyek peng-arab-an inilah yang notabenya “antek-asing”. Sebab sedang berupaya menggantikan budaya Aceh dengan budaya yang berasal dari negara-negara Arab penghasil “emas hitam” di Timur-Tengah. Konsep halal-haram pun tak segan-segan disalahgunakan untuk merusak budaya Aceh.
Sebab itulah, upaya Arabisasi mestilah ditangkal agar tidak menghilangkan kearifan lokal dan budaya yang telah lama hidup serta berkembang di Aceh. Kecermatan dalam mengenal gerakan peng-arab-an budaya Aceh diperlukan oleh setiap masyarakat. Kita semua tentunya tidak ingin terkecoh dan dikelabui oleh simbol-simbol agama yang kerap digunakan oleh para pengusung budaya Arab. Sebab Islam tidak identik dengan Arab.
Sebagaimana yang disampaikan dalam konferensi besar Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan pra-Mukhtamar Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta oleh Mahmud Suyuti: “Kita tidak rela Islam hancur di Indonesia karena hanya persoalan tardisi dan budaya yang menurut paham radikal bertentangan dengan Islam. Padahal jelas dalilnya bahwa al-adatul muhakkamah (adat atau tradisi bagian dari hukum Islam). Adat dan tradisi berpakaiannya orang Islam Indonesia beda dengan orang-orang Islam Arab.” ( Makassar.tribunnews.com, 12/10/2014)
Banyak penduduk Arab bahkan tidak paham dengan Islam. Lebih-lebih, bila melihat kondisi hari ini di negara-negara Arab yang kerap saling membunuh, seperti yang terjadi di Suriah, Irak dan wilayah sekitarnya. Masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia secara umum, tentu tidak menginginkan budaya-budaya yang telah ada digantikan dengan budaya dari wilayah yang masyarakatnya terkenal suka menggunakan kekerasan tatkala bertindak dan berteriak-teriak saat sedang menyampaikan argumentasi. Semoga budaya Aceh tetap lestari dan terlindung dari ancaman badai Arabisasi.
SUMBER:
Republika.co.id, “Muslim Indonesia Alami Arabisasi”, Artikel, 20 Desember 2008
Makassar.tribunnews.com, “Pribumisasi Islam, Bukan Arabisasi Islam”, Artikel, 12 Oktober 2014
Penulis : Ruslan Baranom