Oleh : H Derajat
Sahabatku, di saat kemuliaan tidak tergantung pada nasab keturunanmu, sahabatmu, karib kerabatmu, keluargamu maka yang tinggal adalah dirimu dengan segudang kehinaan mu, kerendahan mu dihadapan kemuliaan Allah Tuhanmu. Hanya rintihan inilah yang sebaiknya kau lantunkan padaNya.
Inilah munajat seorang yang mulia justru karena selalu memposisikan dirinya sebagai orang yang hina dihadapan Allah.
Saat itu, malam sudah larut, dinihari sudah hampir tiba, angin dingin sahara berhembus dalam kesepian. Bukit-bukit batu, rumah-rumah tanah, pepohonan semua tak bergerak, berdiri kaku dalam rangkaian silhuet. Namun di tengah Masjidil Haram, seorang pemuda berjalan mengitari Ka’bah sambil bergantung pada tirainya. Matanya menatap langit yang sunyi. Tak seorang pun berada di situ, kecuali Thawus Al-Yamani, yang menceritakan peristiwa ini kepada kita.
Tepat pada saat itulah Thawus mendengar pemuda itu merintih:
“Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam. Semua mata makhluk-Mu telah tertidur, tapi pintu-Mu terbuka lebar, buat pemohon kasihmu.
Aku datang menghadap-Mu memohon ampunan-Mu, kasihilah daku, perlihatkan padaku wajah kakekku Muhammad SAW pada mahkamah hari kiamat. (Kemudian ia menangis).
Demi kemuliaan dan kebesaran-Mu, maksiatku tidaklah untuk menentang-Mu, kala kulakukan maksiat kulakukan bukan karena meragukan-Mu, bukan karena mengabaikan siksa-Mu, bukan karena menentang hukum-Mu. Kulakukan karena pengaruh hawa nafsuku, dan karena Kau ulurkan tirai untuk menutup aibku.
Kini siapakah yang akan menyelamatkan aku dari azab-Mu, kepada tali siapa aku akan bergantung, jikalau Kau putuskan tali-Mu malang nian daku kelak ketika bersimpuh dihadapan-Mu, kala si ringan dosa dipanggil: jalanlah! Kala si berat dosa dipanggil: berangkatlah! Aku tak tahu apakah aku berjalan dengan si ringan atau dengan si berat.
Duhai celakalah aku bertambah umurku dan bertumpuk dosaku tak sempat aku bertobat kepada-Mu, sekarang aku malu menghadap pada-Mu. (Ia menangis lagi).
Akankah Kau bakar aku dengan api-Mu wahai Tujuan segala kedambaan lalu, kemana harapku kemana cintaku. Aku menemui-Mu dengan memikul amal buruk dan hina diantara segenap makhluk-Mu, tak ada orang sejahat aku. (Ia menangis lagi).
Mahasuci Engkau! Engkau dilawan seakan-akan Engkau tiada.
Engkau tetap pemurah seakan-akan Engkau tak pernah dilawan.
Engkau curahkan kasih-Mu kepada makhluk-Mu seakan-akan Engkau memerlukan mereka, padahal Engkau wahai Junjunganku tak memerlukan semua itu. (Kemudian ia merebahkan diri bersujud)
Thawus pun bercerita: Aku dekati dia. Aku angkat kepalanya dan ku letakan pada pangkuanku. Aku menangis sampai airmataku membasahi pipinya. Ia bangun dan berkata, “Siapa yang menggangu dzikirku?”.
Aku berkata, “Aku Thawus, wahai putra Rasulullah. Untuk apa segala rintihan ini? Kamilah yang seharusnya berbuat seperti ini, karena hidup kami bergelimang dosa. Sedangkan ayahmu Husain bin Ali, ibumu Fathimah Az-Zahra dan kakekmu Rasulullah SAW.”
Ia memandangku seraya berkata, “Keliru kau Thawus. Jangan sebut-sebut perihal ayahku, ibuku dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang menaati-Nya dan berbuat baik, walaupun ia budak dari Habsyi. Ia menciptakan neraka buat yang melawan-Nya walaupun ia bangsawan Quraisy. Tidakkah engkau ingat firman Allah-Ketika sangakakala ditiup, tidaklah ada hubungan lagi diantara mereka hari itu dan tidak saling tolong-menolong. Demi Allah esok tidak ada yang bermanfaat selain amal shaleh yang telah engkau lakukan.”
Yang diceritakan Thawus dalam riwayat ini tidak lain Imam Ali Zainal Abidin cucu Rasulullah, beliaulah Mursyid kami di Pasulukan Loka Gandasasmita, junjunan kami karena kemuliaan akhlaknya dan kami selaku muridnya bahkan tidak sepantasnya bersanding dengan namanya yang agung namun tetap berharap agar berkahnya tercurah kepada kami dan seluruh pembaca kisah ini. Aamiin.
اَللهُمَّ اِنِّيْ ضَعِيْفٌ فَقَوِّنِيْ وَاِنِّيْ ذَلِيْلٌ فَأَعِزَّنِيْ وَاِنِّيْ فَقِيْرٌ فَأَغْنِنِيْ يَآاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Allaahumma innii dha’iifun faqawwinii wa innii dzaliilun fa a’izzanii wa innii faqiirun fa aghninii Yaa Arhamar Raahimiin
Artinya: Ya Allah! Sesungguhnya aku ini lemah maka kuatkanlah aku, dan aku ini hina maka muliakanlah aku, dan aku fakir maka kayakanlah aku, wahai Dzat yang Maha Pengasih.