Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Barangkali agak berbeda cara, antara kajian atau analisa hukum, analisa intelijen dibanding dengan kajian (peristiwa) politik. Sebuah kajian politik —seperti juga analisa hukum dan intelijen— memang memerlukan fakta dan bukti-bukti baik formil maupun materiil, dll dalam rangka mendukung validitas makalah, namun apakah itu mutlak? Belum tentu. Siapa otak pembunuhan Jeff Kennedy, adakah fakta-fakta hukumnya? Konon Moamar Gaddafi masih hidup, apa bukti materiilnya? Katanya Osama bin Laden itu “boneka”-nya Central Intellegence Agency (CIA), mana bukti formil hitam di atas putih?
Beberapa pertanyaan di atas, cuma ingin memberikan gambaran, bahwa mengkaji kejadian bernuansa politis namun memakai pakem hukum dan intelijen, niscaya akan sedikit mengalami kendala, hambatan bahkan menemui kebuntuan-kebuntuan. Apa boleh buat. Bila di dunia jurnalistik dikenal istilah circumstance evidence (bukti keadaan) yang tidak kaku tetapi dipercaya bisa mengurai sebuah tabir. Agaknya di dalam perpolitikan pun ada pattern evidence (bukti pola). Hampir-hampir mirip. Inilah pisau bedah yang akan dipakai membuka sedikit keremangan peristiwa terkait politik praktis.
Pada prolog catatan ini, kedua evidence perlu diperkenalkan walau sekilas, selain sebagai bekal guna membaca pola-pola intervensi Singapura di beberapa negara, bahkan bila telah mendarah daging juga dapat dipakai untuk melihat hal tersirat dari apa yang tersurat. Mari kita breakdown sejenak.
Bukti Keadaan (Circumstance Evidence)
Bukti keadaan misalnya, tatkala ada penembakan atau timbul gangguan keamanan di Papua, seketika pihak PT Freeport akan menutup total lingkungannya dari dunia luar, kecuali orang dalam. Inilah standart operation procedure (SOP) di Freeport. Itu baru satu fakta. Fakta berikutnya, kenapa hampir semua penembakan di Papua jarang terungkap? Selanjutnya, mengapa mesin canggih google earth menjadi blank ketika menyorot Feeport dan perairan Papua? Ini juga fakta-fakta lapangan, dan lain – lain.
Nah, sekumpulan fakta yang seolah-olah tidak nyambung tadi dalam jurnalistik disebut ‘bukti keadaan’. Manakala dirangkai, hipotesa yang dapat ditarik misalnya, apakah setiap muncul gangguan keamanan, atau penembakan di Papua itu identik dengan pengapalan raw material melalui jalur pipa dari Freeport ke kapal-kapal AS di perairan Papua? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Tapi itulah bacaan sementara dari circumstance evidence.
Salah satu pointers diskusi terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI), Jakarta, pimpinan Dirgo D. Purbo, menyebut: “conflict is the protection of oil flow and blockade somebody else from the oil flow”. Maksud oil flow pada asumsi KENARI bila dianalogkan pada kasus Papua, boleh dimaknai the protection raw material yang dikapalkan oleh Feeport melalui jalur pipa menuju perairan, jika terjadi penembakan atau gangguan keamanan. Retorika nakal mencuat: jangan-jangan penembakan gelap atau tawuran antar suku di Papua justru “diciptakan” sendiri untuk alihkan perhatian terkait pengapalan Feeport?
Bukti Pola (Pattern Evidence)
Sekarang giliran mengurai pattern evidence atau bukti pola. Sekilas terlihat ia lebih mudah ketimbang bukti keadaan di atas. Tatkala lebaran hampir tiba contohnya, pola yang terbaca dalam dinamika masyarakat kita adalah mudik. Itulah budaya pulang kampung untuk bersilahturahmi dengan keluarga, baik melalui moda transportasi udara, laut maupun perjalanan darat dengan kendaraan umum, ataupun kendaraan pribadi roda dua atau roda empat. Mudik saat lebaran ialah keniscayaan yang tak bisa dielakkan di Indonesia. Maka antisipasi negara cq Polri dibantu TNI dan instansi terkait dalam menghadapi pola tahunan rakyat ialah menggelar operasi kemanusiaan guna mengamankan dinamika warga agar mereka aman, lancar dan selamat hingga tujuan. Itulah contoh pattern di sektor sosial budaya.
Kendati tak jauh berbeda, membaca pola-pola (peristiwa) di dunia politik perlu kejelian, kecermatan dan sedikit kecerdasan terutama dalam memaknai fenomena yang timbul. Tak dapat dipungkiri. Pola kapitalis sebagai ideologi adalah sikapnya yang eksploitatif, ingin mendominasi, monopoli, dll terhadap sektor yang diminati terutama penguasaan ekonomi dan sumberdaya alam (SDA). Tak bisa tidak. Dengan pola semacam itu, keniscayaan methode yang akan diterapkan kaum kapitalis ialah mencari bahan baku semurah-murahnya, lalu menciptakan pasar seluas-luasnya. Sudah barang tentu, penjajahan adalah methode baku kapitalis!
Manakala ada power kuat lagi dominan melindungi aktivitas pasar dan bahan baku dimaksud, seyogyanya power tersebut harus “dipecah” menjadi kekuatan-kekuatan kecil, kemudian diadu domba (devide et impera) hingga melemah. Bila perlu, dilenyapkan saja!
Selanjutnya pada otoritas pasar ataupun institusi pengelola bahan baku di wilayah atau negara target, kelazimannya ditanam para komprador —istilah BK— sehingga kebijakan yang diterbitkan senantiasa pro mereka (asing). Sepertinya memang ada fenomena di negara-negara kaya SDA tetapi agak terbelakang, bahwa pos-pos di kementerian atau pada departemen strategis tertentu dijadikan “tanaman” bagi asing. Benarkah demikian? Inilah pola kapitalisme, kolonialis, dll dengan ujud serta aneka kemasan di berbagai negara.
Cengkraman Sistem Kolonial di Indonesia
Kita menyimpang sebentar namun masih dalam koridor pattern evidence. Beberapa retorika menyeruak: apakah Otonomi Daerah (Otoda) termasuk pola kolonialisme yang telah tertancap di sistem negara; benarkah one man one vote menghancurkan nilai (musyawarah untuk mufakat) leluhur dalam rangka memilih calon pemimpinnya; bukankah model multi partai telah menjauhkan sifat kegotong-royongan kita? Let them think and let them decide. Retorika memang tak butuh jawaban agar tulisan ini terus dilanjutkan.
Betapa Otoda telah menciptakan gubernur, bupati atau walikota bak raja-raja kecil di daerah. Tanpa etika berani ‘melawan’ atasan. Banyak contoh. Saya dipilih langsung oleh rakyat, katanya. Proyek dikapling-kapling mirip irisan kue lebaran. Pemenang tender pun bisa ditebak, pasti kaum pemodal serta para donator kampanye. Apa hendak dikata. Tancap baliho, tebar sembako, nampang di media, dll perlu banyak uang. Sungguh megah dan meriah.
Satu orang satu suara! Inilah one man one vote. Bukankah itu malah menabrak (pakem) keadilan sosial, tatkala coblosan seorang profesor bernilai sama dengan pemilih pemula, atau disamakan dengan suara petani di dusun? Maka pencitraan menjadi industri baru yang menjanjikan. Marak menyulap para penjahat menjadi pejabat publik melalui “hiasan” (pencitraan) sesuai selera dan tren kerinduan rakyat. Bapak ini sederhana lho, ibu ini lugu dan jujur, anak muda itu pendekar, keturunan macan, dll warga pun berduyun mengamini tanpa selidik, entah apa ‘ideologi’ si kandidat. Persetan dengan latar belakang yang dipilih. Akibatnya banyak Petruk dadi ratu. Capek. Bukankah pencitraan itu realitas semu?
Baudrillard menyebutnya hyper-reality. Inilah era simulakra, jelasnya. Dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler dulu, lebih jelas lagi mengatakan: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya”. Goebbels juga mengajarkan, bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.
Ketika warga telah sedemikian rupa terasuki oleh citra dan mereka tak sanggup membedakan mana citra, mana realitas, maka ibarat membeli kucing dalam karung, ketika terpilih justru harimau yang keluar. Habislah negeri ini “dimakan” mereka dan golongannya. Hal ini diakibatkan oleh publik memberikan suaranya kepada citra kandidat, bukan realitas kandidat (Dina Y. Sulaeman, 2010). Sekali lagi, mereka hanya memilih citra semu, bukan ‘ideologi’ kandidat serta bukan pula realitas kepemimpinannya.
Pada gilirannya, dinamika politik kini terlihat glamour, megah serta cenderung high cost tetapi tak memiliki makna apa-apa bagi Kepentingan Nasional, bahkan terlihat semakin menjauh daripada tujuan negara. Pertanyaan: beginikah pola kapatalisme mencengkram Ibu Pertiwi melalui sistem?
Penjelasan sederhana di atas, sesungguhnya hanya ingin memberi gambaran, jika analisa hukum dan intelijen harus berdasarkan fakta dan bukti-bukti empirik terkait peristiwa yang hendak dikaji, tetapi dalam analisa politik tidak mutlak, oleh sebab (terkadang) fakta yang muncul seperti berdiri masing-masing, seolah tanpa kaitan sama sekali. Maka diperlukan kecermatan untuk merajut circumstance evidence (bukti keadaan) sebagaimana pakem dunia jurnalis, atau merangkai dan menampilkan bukti pola (pattern evidence) dalam perpolitikan.
Sekarang ke Singapura. Ketika Habibie mempunyai “mimpi” hendak membangun Sabang, Batam dan Bintan demi mengalahkan Negeri Singa, melihat fenomena tersebut dari kacamata kolonialisme, dipastikan Lee akan meradang, karena mimpi Habibie bakal mematikan Singapura. Maka berbasis pattern evidence, sangat diyakini adanya peran sangat besar Paman Lee dalam meng-“kudeta” Habibie melalui penolakan pertanggung jawaban di MPR. Inilah bukti pola yang dapat dibaca. Entah perannya hanya membentuk opini, atau dukungan moral bahkan kemungkinan juga sokongan uang.
Merujuk implementasi modus monopoli, eksploitatif, dll yang melekat dalam langkah kaum kapitalis, jika terdapat power dominan (kompetitor) yang melindungi pasar dan bahan baku yang dikehendaki, mutlak harus dibelah menjadi kekuatan kecil-kecil, kemudian diadu domba (devide et impera) hingga lemah, bahkan kalau perlu dilenyapkan!
Dalam telaah dominasi eksploitatif, “mimpi” Habibie jelas dinilai kompetitor bagi Lee. Seandainya Sabang, Batam dan Bintan terujud maka pelanggannya pasti berkurang. Ini kiamat bagi Singapura. Maka senafas dengan watak geopolitik Negeri Singa —dalam “kudeta” di MPR— dahulu, isyarat pattern evidence menyatakan, bahwa Habibie tergolong sosok (power) yang harus dilenyapkan!