Home / Relaksasi / Renungan / Mitos Made in China

Salah satu Hukum Ekonomi yang tidak mengenal kompromi adalah: “Jika ada yang merugi, maka sudah pasti ada yang mengambil keuntungan dari kerugian itu.” Sejak Krisis Ekonomi pada tahun 1997 – Indonesia, sebagai Negara dan Bangsa, telah merugi terus-menerus. Pertanyaannya: Siapa yang menarik keuntungan dari kerugian itu?

Mitos Made in China

Banyak pihak, ya banyak pihak yang menarik keuntungan dari kerugian yang kita derita karena kebodohan kita. Dan, diantaranya adalah China dengan Mitos Made in China yang selama ini kita anggap Murah Meriah!

Apa yang menyebabkan produk-produk China murah? “Banyak sebab,” jawab seorang pejabat yang saya dengar “keluarga dekat”-nya memiliki bisnis di China. Dan, ia pun mulai mengurut sebab-sebab itu:

Pertama: Efisiensi. “Pekerja di China itu,” katanya bersemangat, “rajin-rajin. Tidak malas seperti pekerja kita di sini.”

Tepuk tangan, hore! Pejabat itu lupa bahwa dirinya digaji untuk mengurusi Negara Republik Indonesia. Jika Rakyat atau Pekerja Republik Indonesia dianggapnya malas, maka adalah kewajiban dia untuk merubah keadaan itu.

Kedua: Disiplin. “Mereka,” masih berapi-api pejabat itu, “tidak pernah demo seperti pekerja kita di sini. Jarang absent. Disini apa? Begitu gajian, besoknya sudah tidak masuk.”

Setidaknya ia memberi 6 alasan, seolah membenarkan alasan “keluarga dekat”-nya membuka perusahaan di China. Ia lupa bahwa dirinya mewakili Negara dan Pemerintah Republik Indonesia.

Berkat pejabat itu, dan pejabat-pejaban lain “sejenis” – kita pun mulai mempercayai Mitos Pembangunan dan Keberhasilan China. Kenapa tidak? Banyak bukti dan fakta di lapangan. Banyak toko-toko “Gocengan” dimana-mana. Dari pecah-belah hingga pakaian – semuanya satu harga, Lima Ribu Rupiah. Semuanya produk satu Negara, Republik Rakyat China!

CNN boleh menurunkan laporan khusus tentang para pekerja di China. Mereka boleh merekam dan menanyangkan kisah sedih buruh kasar di sana. Kita seolah tidak terpengaruh sama sekali.

Apa iya? Apa benar? Seorang teman yang baru pulang dari China bercerita, “Benar. Saya baru saja memberi order kalender kepada percetakaan di sana. Saya mendengar sendiri dari pekerja di pabrik. Mereka mengaku belum dibayar gaji sejak 6 bulan yang lalu…..”

Ketika teman saya bertanya, “Kenapa kalian masih mau bekerja?”

Mereka menjawab dengan nada sedih, “Apa boleh buat? Tidak ada pilihan lain. Disini setidaknya masih dapat makan…..”

Giliran saya bertanya kepada teman saya, “Tidak salah memesan kalender dari China?”

Jawabannya cliché, sama: “Apa boleh buat? Tidak ada pilihan lain. Disana lebih murah. Untuk mempertahankan bisnis saya, mau tak mau harus mengambil barang dari China. Disini harganya lebih mahal 30-40%.”

Apakah pemerintah kita tahu? Apakah para pejabat kita tahu bila industri kita “TELAH DIHANCURKAN” dengan cara itu?

Seorang politisi malah membela mereka, “Ya itu kan namanya bisnis. Kenapa kita kalah dalam persaingan?”

Kalah dalam persaingan memang konyol. Tetapi, jika kekalahan itu tidak wajar – jika kekalahan itu direncanakan – jika kita menjadi korban tipu-daya, lalu bagaimana?

Bacalah Laporan Khsusus tentang Mitos Made in China dalam Newsweek Edisi 16 Juli 2007. Media Amerika Serikat telah mengekspos sekian banyak produk dari China yang tidak hanya “tidak memenuhi standar” tetapi berbahaya bagi manusia.

Daftar produk yang telah diekspos panjang sekali. Dari makanan ternak yang mengandung racun, hingga ban kendaraan bermotor yang sama sekali tidak layak untuk digunakan.

Bagi mereka, termasuk para pejabat kita yang masih mengagumi keberhasilan China, inilah saat untuk mengoreksi diri. Bacalah hasil penelitian yang dilakukan oleh media di luar. Bacalah laporan-laporan yang sudah banyak berteberan di Internet. Bacalah beberapa buku penting, antara lain, “What Kind of God” karya Zhou Qing yang dikutip dalam laporan Newsweek.

Bahan pengawet untuk hasil laut yang melemahkan sperma manusia; kecap yang tidak diproduksi secara higenis; hormone dalam makanan siap saji yang tidak hanya mempercepat usia puber tetapi menumbuhkan bulu pada wajah seorang bocah kecil berusia 6 tahun dan payudara pada gadis seusia 7 tahun; Antibiotic penelan korban; Krim untuk Wajah yang mengandung toksin…… Hampir tidak ada satu pun jenis produk yang tidak disebutnya.

Di Amerika Serikat sendiri, mereka telah menemukan toksin dalam odol, yang kemudian di tarik kembali dari peredaran oleh importirnya. Bayangkan mereka yang telah terlanjur menggunakan odol itu!

Malpraktek ini baru terekspos ketika lembaga-lembaga pro-konsumen di Amerika Serikat membeberkan hasil penelitian merek. Standar kualitas untuk produk-produk yang dipasarkan di China sendiri, bagi rakyat China – jauh lebih rendah dari kualitas ekspor.

Jauh sebelum itu, pada awal 1990-an ketika Sang Naga baru bangun, seorang pengusaha dari Hongkong pernah membisiki saya: “Kalau bisa jangan mengkonsumsi obat-obatan buatan China. Walau diberi label ‘Alami’ dan ‘Herbal’, sesungguhnya mengandung kimia dan dalam dosis yang sangat tinggi.”

Kenapa? Teman saya menjelaskan, “Pemerintah China tidak mau menanggung biaya medis rakyatnya. Sembuh atau mati – pilihannya itu saja.”

Bukan pilihan. Itu adalah keputusan sepihak dari mereka yang berkuasa.

Keberhasilan China adalah sebuah Mitos. Pembangunan di negeri itu adalah kata lain bagi Penderitaan Rakyat.

Sungguh tidak masuk akal jika pemerintah kita, pejabat serta wakil rakyat kita, para pengusaha kita tidak dapat melihat hal itu. Penglihatan yang kurang tajam ini telah merugikan negara dan bangsa. Industri dalam negeri sudah hancur….. Jika sekarang pun kita tidak membuka mata, kelak sejarah akan menilai ketololan kita…….

Radar Bali, Senin 16 Juli 2007 

About admin

Check Also

Panggil Saya Ustadz: Downgrading versus Branding

“Urgensi gelar kebesaran Islam bukanlah semata bertujuan branding, tapi sebuah dakwah yang didasari atas sense ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *