وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”‘ – Q.S. Al-Baqarah [2]: 30
ADA saat-saat dalam kehidupan setiap kita, manusia, ketika Allah meletakkan kita dalam sebuah suasana yang membuat kita merenung: kenapa hidup ini hanya terasa sebagai sebuah rutinitas? Bukan saja sebuah rutinitas, namun bahkan terasa mekanistik, semu, dan membosankan.
Pekerjaan terasa dangkal, rutin, dan mekanistik. Interaksi jadi cuma kewajiban sosial. Hobi dan kegemaran tidak lagi terasa dalam. Bahkan, ketika kita kembali ke pengajian untuk mencari kesegaran, agama dan khutbah tidak lagi terasa damai dan meneduhkan.
Dalam suasana hidup yang kering, mungkin pertanyaan akan mulai menyeruak: apa hidup ini sebenarnya? Kenapa saya begini, ada di sini. Untuk apa? Mengapa saya belum juga meraih kebahagiaan yang hakiki, yang sempurna?
Di sini, kita membutuhkan pemahaman mengenai makna hidup: apa “hidup” itu sebenarnya. Namun, di sini dalil-dalil doktrin sudah tidak lagi menyegarkan. Kita membutuhkan pemahaman tentang makna hidup yang hakiki, jujur, benar, dan terasa hidup dalam hati. Kita membutuhkan sebuah pemahaman yang haqq.
Kita membutuhkan pemahaman tentang makna hidup yang hakiki. Apa hidup ini sebenarnya? Kenapa saya begini, ada di sini. Untuk apa? Mengapa saya belum juga meraih kebahagiaan yang hakiki, yang sempurna?
Surga Neraka
Jika hidup hanyalah sekadar cara seleksi untuk memilah-milah siapa yang akan memasuki surga, dan siapa yang harus memasuki neraka, tidakkah pemahaman ini kini terasa semakin dangkal, sahabat-sahabat? Sebuah sudut pandang tentang kehidupan yang diajarkan pada kita semasa kecil, namun tidak pernah berubah hingga kita dewasa. Berpuluh-puluh tahun lamanya. Kita tidak pernah menggali esensi di balik itu semua. Tidakkah itu juga berarti bahwa pemahaman kita mengenai agama dan hakikat hidup, sejak kanak-kanak hingga sekarang, ternyata tidak berkembang?
Surga dan neraka, tentu benar adanya. Namun, tidakkah ada makna yang esensial, bahwa hidup ternyata lebih dari sekadar seleksi penerima pahala dan siksa? Bahwa hidup bukan sekadar persoalan meraup pahala sebanyak-banyaknya, sebisa-bisanya, se-“serakah” mungkin? Sementara, kita pun belum terlalu memahami, apa “pahala” itu sebenarnya. Semacam kredit poin? Intan berlian? Bidadari dan bidadara?
Apa itu hidup sebenarnya? Untuk apa kita ada di sini? Apakah agama menerangkan hal ini—hingga ke makna-makna terdalamnya?
Para ustad kerap mengatakan, tertulis dalam Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan untuk beribadah. Itu benar, tentu saja. Namun, beribadah yang seperti apa? Apakah tujuan manusia diciptakan adalah untuk melaksanakan ritual seperti shalat, puasa, zakat, haji sebanyak-banyaknya?
Tidakkah kita haus untuk memahami, ada apa sebenarnya di balik semua ibadah ritual itu? Sehingga kita bisa melakukan semua ritual dengan kukuh dan senang hati karena memahami esensinya dan manfaatnya—bukan menuntaskannya sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Apa sebenarnya gagasan besar di balik semua kewajiban ritual itu?
Kita diciptakan dengan memiliki akal. Akal jasad, dan akal jiwa (aql). Dan semakin kita dewasa, natur kita pun akan semakin membutuhkan pemahaman akan esensi—apa esensi di balik yang harus kita lakukan—karena itu adalah natur kita sebagai manusia. Jika kita mengabaikan ini, maka kita mengkhianati natur kita sendiri.
Kita tidak pernah menggali esensi di balik itu semua. Tidakkah itu juga berarti bahwa pemahaman kita mengenai agama dan hakikat hidup, sejak kanak-kanak hingga sekarang, ternyata tidak berkembang?
Dalam Al-Qur’an, Allah telah menegaskan bahwa sebenarnya kita harus memahami esensi dari semua yang akan kita lakukan. Kita dilarang untuk sekadar mengikuti dan melakukan tanpa pengetahuan atau pemahaman.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”. – Q.S. Al-Israa’ [17]: 36
Ibadah vs Pengabdian
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. – Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56
Kata “ya’bud” di ayat tersebut umum diterjemahkan dengan makna “ibadah”, sehingga konotasi ayat tersebut mengisyaratkan seakan-akan manusia dan jin diciptakan adalah untuk melaksanakan kewajiban ibadah ritual formal seperti shalat, puasa, dan semacamnya saja, untuk selanjutnya menerima ganjaran pahala atau siksa.
Kita akan memahami dengan lebih utuh jika kita tidak mereduksi makna “ya’bud” menjadi sekadar “ibadah”. Kata “ya’bud” memiliki akar kata yang sama dengan kata “abid”, yang berarti budak, hamba, atau abdi. Kata “ya’bud” sendiri adalah kata kerja, yang arti sesungguhnya adalah “menjadi seorang hamba”, “menghamba” atau “mengabdi”—bukan sekadar “beribadah”.
Dengan demikian, firman Allah tersebut mengatakan bahwa baik jin maupun manusia sesungguhnya diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Menjadi hamba Allah, dan tidak mengikuti kehendak syahwat, hawa nafsu, pikiran, perasaan dan apa pun selain Allah. Hanya kehendak Allah sajalah yang boleh menjadi landasan seluruh tindakan lahir maupun batin insan. Tidak ada yang boleh mendominasi perilaku lahir dan batin insan selain kehendak Allah. Ia harus sepenuhnya selaras dengan kehendak Allah, setiap saat.
Maka, kita tidak bekerja mencari penghasilan hanya karena ingin memuaskan hawa nafsu: ingin kaya, misalnya. Namun kita bekerja karena Allah memerintahkannya. Dari luar seorang insan bekerja memeras keringat untuk mencari penghidupan, namun dengan pemahaman tersebut, secara batin ia bekerja adalah sebagai pengabdian kepada Allah, dengan memenuhi kehendak-Nya.
Nah. Implikasi lain dari mengabdi hanya kepada Allah dan hanya memenuhi kehendak-Nya, kita jadi membutuhkan petunjuk Allah untuk memahami apa yang Ia kehendaki dari kita. Setiap saat. Dengan kata lain, kita butuh untuk selalu tertunjuki dan tertuntun.
Al-Muflihun, Khalifah Allah, Shirath al-Mustaqim dan Taqwa
Siapakah orang-orang yang beruntung (Al-Muflihun) itu? Dari sudut pandang Allah, orang-orang yang beruntung adalah mereka yang senantiasa dituntun dan ditunjuki oleh Allah setiap saat. Continuously. Apakah ia memohon atau tidak, Allah akan tetap menuntun dan menunjukinya. Allah menuntunnya setiap saat.
أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka. Dan merekalah Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung)”. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 5
Untuk apa ditunjuki Allah setiap saat? Untuk menjalankan perannya, dengan melaksanakan sebuah pengabdian pada Allah Ta’ala. Itulah tujuan besar penciptaan insan: untuk melaksanakan suatu peran sebagai pengabdian kepada Allah. Ia melakukannya dengan melaksanakan petunjuk-petunjuk yang senantiasa dia terima melalui qalb masing-masing.
Untuk apa insan harus menerima petunjuk Allah? Agar ia bisa berperan sebagai Khalifah Allah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”‘ – Q.S. Al-Baqarah [2]: 30
هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ ۚ
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi”. – Q.S. Faathir [35]: 39
Asal kata “khalifah” dalam bahasa Arab bermakna “seseorang yang menggantikan peran”, atau “seseorang yang menjalankan kekuasaan atas nama penguasa lain”—bukan semata-mata “penguasa”.
Insan yang telah mampu menerima petunjuk inilah yang harus berperan sebagai khalifah Allah. Ia bertindak sebagai seorang pelaksana mandat, wakil Allah, dalam memakmurkan alam semesta masing-masing, dan melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan tuntunan dan bimbingan Allah setiap saat.
Seorang khalifah Allah bukan semata-mata seorang insan yang mengambil peran tersebut sesuai keinginannya, menurut pilihan orang lain atau menurut tingkat pendidikannya. Sebagai wakil atau pemegang mandat Allah Ta’ala, tentu saja ia harus dalam kapasitas yang mampu mewakili Allah Ta’ala di alam fisik ini. Semakin ia mewakili Allah, maka semakin mirip sifat-sifatnya dengan Allah Ta’ala, dan semakin tinggi pula ia dalam peran ke-khalifah-annya itu. Ia “dicelupkan” ke dalam sifat-sifat Allah sehingga sepenuhnya terwarnai dengan sifat-sifat-Nya. Itulah keadaan seorang hamba Allah atau abdi Allah—Abdullah—sebelum melaksanakan pengabdiannya yang hakiki kepada Allah. Untuk pengabdian dengan kondisi seperti inilah sesungguhnya kita diciptakan-Nya.
صِبْغَةَ اللهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah Allah (celupan Allah)! Dan siapakah yang lebih baik shibghah (celupan)-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami mengabdi”. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 138
Secara sederhana, insan yang menjadi khalifah Allah di muka bumi ini akan menjadi “bayangan” Allah Ta’ala di alam fisik, sebagaimana diriwayatkan Rasulullah dalam sebuah hadits qudsi, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam citra Ar-Rahman.” Semua kehendaknya, tindakannya, keinginannya dan perilakunya adalah atas dasar tuntunan dan petunjuk Allah Ta’ala. Ia telah sepenuhnya diatur oleh Allah Ta’ala. Keinginannya menjadi sangat selaras dengan kehendak Allah Ta’ala, dan tidak lagi berasal dari pemikiran, syahwat atau hawa nafsunya sendiri. Ini, dalam agama, adalah sebuah kondisi yang dikatakan sebagai taqwa—dimana seorang hamba telah sepenuhnya terbebas dari dominasi syahwat dan hawa nafsunya sendiri, dan dominasi apa pun selain Allah.
Insan yang telah mampu menerima petunjuk inilah yang harus berperan sebagai khalifah Allah. Ia bertindak sebagai seorang pelaksana mandat, wakil Allah, dalam memakmurkan alam semesta masing-masing.
Secara umum, inilah bentuk pengabdian (ya’bud) yang dimaksud: menjadi hamba Allah yang menjadi “perpanjangan” peran Allah untuk memakmurkan alam semesta masing-masing di alam yang ini, berdasarkan tuntunan Allah Ta’ala dalam setiap tindakannya.
Menjadi insan yang sempurna adalah ber-taqwa, yaitu menjadi seorang khalifah Allah di bumi, menjadi bayangan Ar-Rahman, dan sepenuhnya tertuntun dan terinspirasi oleh Allah Ta’ala, berjalan di atas shirath al-mustaqim sebagai hamba-hamba yang diberi nikmat setiap saat, sebagaimana yang selalu kita mohonkan setiap saat.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami ke Shirath al-Mustaqim, jalan mereka yang kepadanya Engkau anugerahkan nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan jalan mereka yang sesat”. – Q.S. Al-Faatihah [1]: 6-7
Pengabdian pada Allah yang seperti inilah—yang sepenuhnya tertuntun dan senantiasa ditunjuki Allah Ta’ala—yang disebut sebagai “menapaki shirath al-Mustaqim”.
وَأَنِ اعْبُدُونِي ۚ هَـٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
“Dan hendaklah kamu mengabdi kepada-Ku. Inilah shirath al-Mustaqim”. – Q.S. Yaasiin [36]: 61
إِنَّ اللهَ هُوَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ هَـٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
“Sesungguhnya Allah, Dialah Rabb-ku dan Rabb kalian. Maka mengabdilah kepada-Nya. Inilah shirath al-Mustaqim”. – Q.S. Az-Zukhruf [43]: 64
Inilah sesungguhnya hamba Allah yang taqwa itu. Hamba-hamba yang taqwa ini, yang telah menerima petunjuk-Nya setiap saat, telah tertuntun dan selaras dengan Allah Ta’ala dan dijaga-Nya agar selalu dalam shirath al-Mustaqim. Inilah para Al-Muflihun.
Ini juga berarti, jika jin dan manusia harus melaksanakan peran tersebut, maka Allah sesungguhnya menciptakan jin dan manusia untuk mampu menerima petunjuk-petunjuk Allah setiap saat, melalui qalb masing-masing.
Itulah sesungguhnya fungsi nur iman dan qalb di dalam dada insan: sebagai organ spiritual untuk menerima petunjuk-Nya.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Barangsiapa yang ber-iman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. – Q.S. At-Taghaabun [64]: 11
Maka, sebagaimana dalam ayat tersebut, prasyarat untuk menerima petunjuk Allah dalam qalb masing-masing adalah adanya qalb yang suci dan adanya “iman billah”, yaitu iman yang berupa nur dari Allah Ta’ala, bukan sekadar iman lisan atau iman yang percaya saja.
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَـٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami mewahyukan kepadamu ruh min amr (ruh dari urusan) Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah Al-Iman itu, tetapi Kami menjadikannya Nur (cahaya), yang Kami tunjuki dengan itu siapa-siapa yang kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada Shirath al-Mustaqim”. – Q.S. Asy-Syuura [42]: 52
Tiada Sesuatu Pun Yang Tak Bertujuan
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa tiada sesuatu pun yang Dia ciptakan dengan batil dan sia-sia.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Mereka yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. – Q.S. Ali-Imran [3]: 191
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
“Dan Kami tidak menciptakan lelangit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main”. – Q.S. Ad-Dukhaan [44]: 38
Nah. Tiada sesuatu pun yang Allah ciptakan dengan keliru, salah, atau tanpa tujuan. Allah tidak mencipta dengan coba-coba, tanpa sengaja, atau sekadar mengisi waktu. Tidak. Dia tidak seperti kita, yang mempermainkan seekor semut ke dalam penderitaan dan masalah hanya karena kita ingin dan bisa melakukannya. Tidak demikian.
Segala sesuatu, Dia ciptakan dengan tujuan maupun fungsi tertentu. Ia menciptakan semuanya secara individual, satu demi satu. Dia yang Maha Pencipta tidak menciptakan dengan generik dan umum seperti barang pabrik produksi massal. Ia menciptakan dengan presisi, terancang dan terukur, satu per satu—masing-masing demi sebuah tujuan atau fungsi khusus tertentu untuk menampakkan sesuatu tentang diri-Nya. Untuk menjadi perpanjangan sifat-sifat-Nya. Apalagi, ketika Dia menciptakan manusia: objek sentral dari semua tujuan penciptaan-Nya.
Sang Maha Pencipta menciptakan dengan presisi, terancang dan terukur, satu per satu—masing-masing demi sebuah tujuan atau fungsi khusus tertentu untuk menampakkan sesuatu tentang diri-Nya, perpanjangan sifat-sifat-Nya.
Tujuan Penciptaan Insan
Pada manusia—kita—Dia telah merancangnya dengan amat sangat terukur, penuh perhitungan: di masa apa ia akan lahir, kapan ia akan wafat, dari pasangan orangtua yang mana, sebagai bangsa apa, bagaimana bentuk fisiknya, apa saja kekuatannya, apa kelemahan-kelemahannya, apa yang ia sukai dan apa yang tidak ia sukai. Ini semua Dia rancang dan Dia tetapkan. Semua kombinasi kadar-kadar ini dikumpulkan dalam setiap diri kita, manusia. Dan tidak ada satu pun dari kita yang memiliki kadar-kadar yang sama, bahkan bagi sepasang anak kembar sekalipun.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut kadar (ukuran)”. – Q.S. Al-Qamar [54]: 49
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّـهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang tawakal kepada Allah, sungguh Dia akan mencukupinya. Sungguh, Allah pasti menyelesaikan amr (urusan)-Nya. Sungguh, Allah telah menetapkan atas segala sesuatu kadar-kadar”. – Q.S. Ath-Thalaaq [65]: 3
Untuk apa semua kadar-kadar pada diri kita itu? Kita didesain dengan semua kombinasi itu—unggul dan mudah di hal-hal tertentu namun lemah dan kalah di hal yang lain; suka hal tertentu dan tidak suka hal lainnya—adalah agar kita masing-masing cenderung untuk mengarah ke hal-hal tertentu dan mudah dalam melakukan tugas-tugas yang terkait dengan itu. Artinya, agar setiap kita bisa mencermati “bakat langit” ini dengan sangat saksama, dan mulai mengarah ke peran-peran tertentu atau fungsi-fungsi tertentu dalam kehidupan kita masing-masing.
Kita mungkin saja tidak bisa melukis dengan baik, namun sangat mudah dalam mengerjakan matematika. Atau, sejak kecil tidak mudah untuk memahami konsep-konsep sains (meski sudah belajar keras dan mengikuti les sepulang sekolah), namun ternyata sangat mudah dalam mengerti rincian bahan-bahan penyusun di balik rasa setiap makanan yang sampai ke lidah. Mungkin tidak berbakat di bidang fisik maupun olahraga, tapi di sisi lain ia sangat brilian dalam meyakinkan orang lain. Ini semua bagian dari kadar-kadar diri itu: bahwa masing-masing kita sebenarnya akan sulit untuk menjadi yang terbaik dalam bidang-bidang tertentu, namun di sisi lain, akan sangat mudah bagi kita untuk melakukan hal-hal tertentu lainnya dengan sangat baik—yang tidak semua orang bisa melakukannya. Berusaha memahami natur diri ini adalah upaya paling awal untuk memahami sebuah pengetahuan diri tentang misi hidup.
…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya. – H.R. Bukhari no. 1777
Sejak awal sekali, Allah telah mempersiapkan natur kita demi sebuah fungsi. Kita dipersiapkan untuk mudah melakukan bidang-bidang tertentu. Kita diberi-Nya semangat tinggi, kemampuan dan kemudahan, dalam bidang-bidang tertentu.
Kelak, dengan semakin terbukanya qalb kita dan semakin tertuntun pula oleh petunjuk-petunjuk-Nya, Dia akan membuka pada kita sebuah amanah ilahiah, yang dahulu kala, sebelum alam semesta diciptakan-Nya, telah Dia sematkan ke dalam dada jiwa kita masing-masing. Ada sebuah amanah, sebuah misi, yang harus kita temukan dan tunaikan di masa hidup kita.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya telah Kami tawarkan Al-Amanah kepada seluruh langit, bumi, dan gunung-gunung, namun mereka enggan untuk memikulnya karena takut (untuk memikulnya). Dan dipikullah (amanah) itu oleh Al-Insan. Sungguh ia (insan) adalah zalim dan bodoh”. – Q.S. Al-Ahzab [33]: 72
Amanah ilahiah ini, yang merupakan manifestasi dari kadar-kadar diri kita, secara awam disebut juga “kodrat diri” atau Qudrah Allah atas diri kita. Kata “kodrat” atau “qudrah” berasal dari bahasa arab “qudrah”, yang berarti “kuasa”. Dengan menemukan qudrah diri kita, artinya kita berhasil membuka Qudrah Ilahi, kuasa Allah, yang pernah dia letakkan dalam diri kita. Dengan kata lain, ketika itu kita diberi-Nya kuasa untuk menjalankan amanah sebagai wakil-Nya di muka bumi ini, untuk mengabdi (ya’bud) kepada-Nya secara hakiki sebagai khalifah, untuk memakmurkan alam semesta sesuai kadar diri dan qudrah diri kita masing-masing.
Ada sebuah amanah, sebuah misi, yang harus kita temukan dan tunaikan di masa hidup kita: sebuah amanah ilahiah, yang dahulu kala, sebelum alam semesta diciptakan-Nya, telah Dia sematkan ke dalam dada jiwa kita masing-masing.
Sesungguhnya Insan adalah Zalim dan Bodoh
Sebuah catatan penting untuk diketahui, berbeda dengan pemahaman umum, sesungguhnya ayat Q.S. Al-Ahzab [33]: 72 itu tidak sedang mengatakan bahwa manusia itu zalim dan bodoh karena mau memikul amanah tersebut.
Amanah tersebut, yaitu menjadi pemegang mandat ilahiah, sebagai wakil Allah Ta’ala untuk memakmurkan alam semesta (khalifah) sesuai dengan kehendak-Nya, adalah hak insan sejak awal. Hanya insan yang memiliki perangkat untuk memikul amanah agung tersebut: yaitu jiwa, qalb dan aql—perangkat yang tidak dimiliki oleh lelangit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka mengerti bahwa mereka tidak akan mampu menunaikan amanah tersebut, sehingga tidak mengambilnya. Jiwa insan, karena dicipta dengan memiliki perangkat untuk memikulnya (aql), mengerti bahwa amanah itu memang untuknya. Ia pun memikul apa yang sudah seharusnya menjadi amanahnya.
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya ada amanah sangat agung yang dipikul insan, namun sebagian besar manusia justru ada dalam keadaan zalim dan bodoh. Zalim karena tidak mau kembali kepada Allah, tidak mau ber-taubat (“Barangsiapa tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang zalim.”—(Q.S. Al-Hujuraat [49]: 11). Bodoh adalah karena ada amanah dan anugerah yang sangat agung yang telah Allah letakkan di dalam dadanya sendiri, namun bukan saja mereka tidak mau melaksanakannya, mereka bahkan tidak tahu dan melupakannya.
Taubat, Fithrah Diri dan Misi Hidup
Fithrah (f – th – r), adalah istilah bahasa Arab yang bermakna “pembawaan dasar”, “natur primordial” atau “keadaan sebagaimana mulanya”. Dalam Al-Qur’an, kata “fithrah” terkait dengan makna “natur (insan) sesuai dengan kadar-kadar penciptaannya”.
Inilah fithrah: bahwa masing-masing kita diciptakan dengan memiliki kadar-kadar tertentu. Setiap kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kadar kombinasi keunggulan di sisi tertentu, dan lemah di sisi-sisi lainnya. Ini adalah demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.
Dari Imran r.a., saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk itu.” – H.R. Bukhari no. 2026
Misi hidup seorang manusia, secara spesifik, merupakan manifestasi dari fithrah dirinya. Fithrah diri ini telah tertanam di dalam jiwa (nafs) insan sejak awal penciptaannya. Dan sesungguhnya fithrah diri setiap insan inilah yang tidak akan pernah mengalami perubahan sedikit pun, sebagaimana tertulis dalam Q.S. Ar-Ruum [30]: 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-diin, fitrah Allah, yang Allah telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.”
Sementara manusia, karena kehendak hawa nafsunya, cenderung ingin menjadikan dirinya sekehendak hatinya. Manusia selalu melihat dirinya kurang dan ingin menjadi sosok yang lebih sempurna. Namun, kesempurnaan yang ia cari adalah kesempurnaan yang berdasarkan keinginan hawa nafsunya, bukan kesempurnaan berdasarkan petunjuk dan tuntunan Allah yang sesuai dengan fithrah dirinya—yang sesungguhnya merupakan kesempurnaan yang telah Allah fithrah-kan untuknya.
Manusia selalu melihat kepada orang lain dan ingin menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri—atau setidaknya mempertanyakan: bagaimana seharusnya saya dari sudut pandang Allah Ta’ala. Ini karena insan gagal mengenali pengetahuan agung yang Allah letakkan dalam dada batinnya: siapa dirinya sebenarnya.
Insan, karena mengikuti hawa nafsunya, akan cenderung mengkhianati fithrah dirinya. Itulah sebabnya insan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan hakiki jika ia terus mengkhianati fithrah dirinya.
Seekor burung diciptakan untuk terbang, maka ia tidak akan pernah berbahagia jika ia ingin menjadi ikan. Fithrah dirinya adalah terbang, bukan hidup di dalam air. Sebaliknya pada seekor ikan, fithrah dirinya adalah untuk hidup di air. Kebahagiaannya Allah letakkan di dalam air. Jika ia ingin hidup di darat, maka itu akan menjadi penderitaan baginya, karena ia melanggar fithrah-nya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah, kepada-Nya ber-tasbih apa-apa yang ada di seluruh petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh, setiap sesuatu memahami cara shalat dan tasbih-nya. Dan Allah mengetahui tentang apa-apa yang mereka laksanakan”. – Q.S. An-Nuur [24]: 41
Dikatakan bahwa burung ber-tasbih dan shalat dengan hidup sesuai fithrah-nya, yaitu dengan terbang mengembangkan sayapnya. Demikian pula segala sesuatu di seluruh penjuru langit dan bumi, ber-tasbih dan shalat dengan cara hidup masing-masing dan telah berfungsi sesuai fithrah masing-masing—kecuali manusia dan jin, tentu saja, yang tidak dengan sendirinya hidup sesuai fithrah sejak awal, karena mereka dianugerahi akal dan kebebasan memilih.
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَـٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
“Bertasbih kepada-Nya langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan keterpujian-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. – Q.S. Al-Israa’ [17]: 44
Bagi manusia, ia baru ada dalam tingkat penghambaan yang tertinggi kepada Allah, ada di atas Shirath al-Mustaqim dengan tertuntun, dan ada dalam tingkat ke-taqwa-an tertingginya, hanya jika ia telah hidup dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan fithrah dirinya.
Berbeda dengan burung dan ikan, insan dalam melakukan shalat dan tasbih memiliki dua bentuk: melakukannya secara lahir dan secara batin. Ketika seorang insan telah sepenuhnya berfungsi sesuai fithrah dirinya sesuai untuk apa ia diciptakan, maka sejak itu—secara batin—setiap langkah dan napasnya telah menjadi sebentuk shalat dan bentuk tasbih-nya pada Allah secara terus-menerus, tanpa henti, sebagaimana burung tadi yang shalat dan ber-tasbih dengan mengembangkan sayapnya. Di sisi lain, secara lahiriah ia tetap wajib melaksanakan shalat dan tasbih di waktu-waktu tertentu sebagaimana tuntunan syariat, dengan tidak meninggalkan shalat hingga napasnya yang penghabisan.
Insan, karena mengikuti hawa nafsunya, akan cenderung mengkhianati fithrah dirinya. Itulah sebabnya insan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan hakiki jika ia terus mengkhianati fithrah dirinya.
Kepada manusia, Allah memberi akal dan kemampuan untuk memilih tindakan, sebagai instrumen untuk menjalankan fungsi ke-khalifah-an di bumi. Namun, justru dengan bekal inilah sebagian besar manusia selalu memilih untuk menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan fithrah dirinya.
Selama manusia belum mengenal kembali fithrah dirinya dan hidup sesuai dengan fithrah itu, yaitu mengenali dirinya untuk apa ia diciptakan dan menjalankan amanah ilahiah pribadinya—misi hidupnya—itu, maka ia tidak akan pernah meraih kebahagiaan hakiki. Contoh sangat sederhana, seorang yang tidak dimudahkan dalam melakukan hal-hal administratif, jika ia memilih bekerja di bidang administrasi karena hanya ingin meraih tawaran gaji besar, maka itu akan menjadi penderitaan baginya. Jenis pekerjaan itu tidak akan pernah sesuai dengan fithrah dirinya.
Kebahagiaan tertinggi insan Allah letakkan pada fithrah dirinya masing-masing, yaitu dengan berfungsi sesuai dengan untuk peran apa Allah menciptakannya. Sesungguhnya Allah telah meletakkan kebahagiaan tertinggi setiap manusia di dalam dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud oleh para ahli hikmah yang kerap mengatakan bahwa “Allah meletakkan harta karun setiap manusia di dalam dirinya sendiri.”
Term “mengenal diri” sesungguhnya sama dengan mengenal fithrah diri, dan memahami kembali untuk apa ia diciptakan. Pengetahuan tentang fithrah diri ini tersimpan di dalam jiwa kita masing-masing. Inilah maksudnya bahwa manusia baru akan berbahagia hanya ketika ia telah mengenal diri sejatinya, atau mengenal jiwanya.
Fithrah diri insan ini bisa dikenali kembali—yaitu, manusia bisa mengenal lagi siapa dirinya sesungguhnya—melalui sebuah per-taubat-an kepada Allah, dengan kembali kepada Allah (“taubat” berasal dari kata “taaba” yang artinya kembali), dengan ber-takwa kepada Allah, dengan menegakkan shalat, dan dengan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun. Ia hanya tunduk taat kepada Allah, tidak kepada apa pun selain Allah—termasuk pada hawa nafsunya dan kehendaknya sendiri.
Sayangnya, sangat sedikit insan yang memahami hubungan yang saling terkait antara kekuatan dan kelemahan diri, fithrah diri, Ad-Diin, shirath al-Mustaqim, taubat, misi hidup, shalat, tidak mempersekutukan Allah (tidak tunduk pada hawa nafsu dan syahwat), ketakwaan dan kebahagiaan hakiki. Semua keterkaitan hal ini tergambar dalam Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 berikut ini.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ، مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (Itu adalah) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang kokoh, tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” – Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31
Demikianlah, bahwa sesungguhnya berfungsi dan hidup sesuai dengan fithrah diri adalah menjalankan misi hidup masing-masing, sebagaimana sabda Rasulullah tadi: (menemukan dan) melaksanakan apa yang dimudahkan baginya, sesuai dengan untuk apa ia diciptakan.
Diungkapkan pada ayat tersebut, bahwa langkah awal untuk mengenali fithrah diri ini hanya bisa ditempuh dengan memasuki pintu gerbang pertaubatan, dengan kembali kepada Allah. Jika seorang insan Allah kembalikan pada fithrah dirinya melalui proses pertaubatan, maka ia akan mengenali qudrat diri (qudrah) yang pernah Allah kuasakan kepadanya. Ia pun akan mengenali tujuan spesifik dari penciptaan dirinya. Ia, setelah berhasil membuka kuasa Allah dalam dirinya, dikatakan sebagai orang yang telah mengenal dirinya—ia mengenal siapa dirinya sesungguhnya.
Dikatakan dalam ayat Q.S. Ar-Ruum [30]: 30–31 tersebut, bahwa sekukuh-kukuhnya ad-Diin (diinul qayyim) dalam diri insan itu akan dapat terbangun ketika insan telah mengenali fithrah dirinya. Ia akan mulai beragama sesuai dengan jati dirinya, dan hidup dan menapak pada jalan lurusnya sendiri, shirat Al-Mustaqim-nya, sebuah jalan hidup spesifik yang telah Allah ciptakan untuk dirinya sebagai jalan pengabdiannya kepada Allah yang khusus untuk dirinya. Setiap insan sesungguhnya memiliki shirath al-Mustaqim-nya sendiri-sendiri, sebagaimana kerap dikatakan oleh para ahli hikmah, bahwa “jalan menuju Allah ada sebanyak jumlah nafs (jiwa) manusia.”
Siapa yang Mengenal Jiwanya, akan Mengenal Rabb-nya
Diriwayatkan oleh sahabat Ali r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu.” Siapa yang mengenal nafs-nya (jiwanya, diri sejatinya), maka ia akan mengenal Rabb-nya.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, barangsiapa yang berhasil mengenali diri sejatinya dan membuka qudrah dirinya, yaitu untuk apa ia diciptakan—rahasia yang disimpan Allah dalam dada jiwa setiap manusia—lalu hidup dan menjalankan fungsi dirinya sesuai dengan fithrah dirinya itu, maka artinya ia telah Allah tuntun untuk senantiasa menapak di atas shirath al-Mustaqim-nya. Ia telah menjalankan misi hidupnya.
Dengan menjalankan misi hidupnya tersebut, ia pun menapak secara hakiki di atas shirath al-Mustaqim. Dengan demikian, ia pun akan mengenal Rabb-nya, karena Rabb ada di atas shirath al-Mustaqim masing-masing.
إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Rabb-ku di atas shirath al-Mustaqim”. – Q.S. Huud [11]: 56
Itulah sebenarnya “misi hidup”: yaitu mengenali kadar-kadar diri dan qudrah diri, kembali kepada fithrah diri, membuka kuasa Allah (qudrah Allah) yang disimpan-Nya di dalam jiwa kita, lalu mengabdi hanya kepada-Nya secara spesifik, menjalankan fungsi penciptaan masing-masing, dengan menjalankan petunjuk dan tuntunan-Nya melalui qalb dalam diri, untuk memakmurkan alam semesta sebagai khalifah Allah di muka bumi pada bidang masing-masing.
Sebagai hamba yang dituntun Allah setiap saat, maka ia pun telah melangkah di atas shirath al-Mustaqim, dan ad-Diin pun telah kukuh dalam dirinya. Ia telah meraih ke-taqwa-an yang hakiki.
Misi Hidup vs Passion
Jika kemudian Anda bertanya, apa bedanya antara konsep Misi Hidup dengan konsep passion? Ada beberapa perbedaan penting, meski bisa jadi dari luar keduanya tampak mengerjakan apa yang dia sukai dengan bersemangat, tidak mudah lelah dan passionately.
Pertama, kunci misi hidup adalah adanya proses taubat dan qalb yang suci. Seseorang hanya bisa mengenal kadar dirinya yang sesuai tujuan penciptaannya secara hakiki dengan melalui proses per-taubat-an. Seiring dengan meningkatnya kadar kesucian hati dan cahaya imannya, ia akan semakin mengenali tujuan penciptaannya dengan dituntun oleh Allah Ta’ala—dan hidupnya ditata oleh Allah Ta’ala—agar ia berfungsi sesuai tujuan penciptaannya
Sementara, passion seseorang untuk senang mengerjakan sesuatu belum tentu bersumber dari hati yang suci maupun tuntunan dan penataan hidup dari Allah Ta’ala. Bahkan, bisa jadi sumber kesenangannya terhadap bidang tertentu bukan berasal dari jiwanya, tapi dari hawa nafsunya. Meski demikian, harus dipahami bahwa kesukaan seseorang pada bidang-bidang tertentu—dan dimudahkannya ia untuk mengerjakan bidang tertentu—bisa jadi merupakan tanda awal dari bakat langit yang dimilikinya.
Kedua, ujung pencapaian misi hidup adalah menjadi hamba Allah Ta’ala yang berfungsi sebagai khalifah Allah, ‘wakil’ Allah untuk memakmurkan alam semesta, dalam kadar diri masing-masing. Seseorang yang ada dalam misi hidupnya sepenuhnya tunduk pada pengaturan Allah Ta’ala dalam menjalankan tugasnya, dan sama sekali bukan berdasarkan kehendak maupun kesenangannya sendiri. Meskipun begitu, ia akan sangat bahagia, bersyukur dan menikmati apa yang dia lakukan dalam melaksanakan tugasnya itu, karena Allah ‘mengokohkan pijakannya’ pada bidangnya itu. Ia akan menjadi yang terbaik pada bidang tersebut.
Tujuan menemukan misi hidup adalah pengabdian: ia berupaya menolong Allah Ta’ala agar ditolong-Nya (lihat Q.S. Muhammad [47]: 7). Ia ingin ditolong Allah, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan di alam-alam berikutnya kelak. Kebahagiaan hidup dan ketenangan hati hanya merupakan implikasi dari apa yang ditujunya, sebagai anugerah dari Allah Ta’ala.
Di sisi lain, ujung dari keinginan seseorang untuk hanya mengerjakan passion-nya adalah untuk menikmati hidup. Seseorang mengejar passion-nya agar ia bisa menikmati kehidupannya: mengerjakan bidang yang ia sukai, memperoleh penghidupan dari sana, dan hidup bahagia. Ujung konsep passion adalah kesenangan dan kebahagiaan hidup.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mu’min, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. – Q.S. Muhammad [47]: 7
Keterangan:
- Banner di atas adalah modifikasi dari karya Ricardo Liberato di bawah lisensi Creative Common CC BY-SA 2.0
- Gambar ‘misi hidup’ karya Azizul Hadi di bawah lisensi Creative Common CC BY-NC 2.0