Penulis : Dina Y Sulaeman, mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad dan research associate di Global Future Institute
I have given Jerusalem my whole life. First, I thought we were fighting for God. Then I realized we were fighting for wealth and land. I was ashamed (Tiberias, Kingdom of Heaven)
Ada tulisan singkat tentang sejarah Perang Salib di sebuah web yang bagi saya menarik karena cara penulisannya yang singkat tapi ‘hidup’. Tanpa perlu berpikir keras dan waktu panjang, pembaca bisa menangkap situasi seputar Perang Salib. Namun ada bagian-bagian yang membuat saya memikirkannya lebih jauh.
(1) Penekanan ke-Sunni-an atau Ke-Syiah-an Para Aktor Perang
[Setelah jatuhnya Jerusalem ke tangan Tentara Salib] Khalifah di Baghdad tidak mau repot-repot mengajak kaum muslimin untuk membela tempat-tempat suci mereka. Para Emir dari Dinasti Seljuk di seluruh dunia Muslim pun terlalu sibuk bertempur satu sama lain. Dan imperium Syiah Fatimiyah di Mesir bersekutu dengan Tentara Salib untuk merugikan Dinasti Seljuk yang Sunni. … Selama era itu, Mesir berada di bawah kendali dari Syiah Fatimiyah. Mereka bekerja sama dengan Tentara Salib untuk merugikan seluruh umat Islam.
Benarkah? Katakanlah benar bahwa Dinasti Fatimiah memang kejam, despotik, dll (sebagaimana juga Dinasti Seljuk, dan dinasti-dinasti Arab yang memang selalu bertempur satu sama lain), lalu mengapa ditekankan masalah ‘Syiah’-nya?
Lalu, apakah Syiah Fatimiah Mesir itu sama dengan Syiah pada umumnya (atau katakanlah, Syiah versi Iran)? Jawabannya ternyata tidak. Dinasti Fatimiah yang berkuasa di Mesir pada masa itu menganut Syiah Ismailiah. Dalam deklarasi Amman yang ditandangani oleh 200 ulama pada tahun 2004 (termasuk Shaykh Al-Azhar Mohammed Sayyid Tantawi, Ayatollah Sistani, Sheikh Yusuf Qaradawi, Mufti Mesir Ali Goma, Din Syamsuddin, Raja Yordania, Raja Arab Saudi, Raja Bahrain), disebutkan, “Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafe’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim.”
Dalam Deklarasi itu, Syiah Ismailiyah jelas tidak dicantumkan; artinya ajarannya berbeda dari Syiah yang lain. Pada masa Dinasti Fatimiah itulah konon ada tradisi melaknat Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Usman. Dan sangat mungkin dalam kitab-kitab yang mereka tulis, memang ada pelaknatan itu. Parahnya, inilah yang selama ini dijadikan alasan kaum takfiri untuk menuduh Syiah bukan Islam. Padahal, ulama Syiah 12 Imam (yang direpresentasikan oleh Iran) justru berfatwa mengharamkan tradisi buruk seperti itu. Dan rupanya itulah jawabannya: selama 8 tahun saya tinggal di Iran, tak pernah sekalipun saya mendapati ada tradisi melaknat khalifah-khalifah itu. Sebelum ini saya heran mendengar tuduhan para takfiri itu karena tidak mendapati bukti empirisnya di negeri orang Syiah-nya sendiri.
Kedua, apakah perilaku Dinasti Seljuk yang oleh penulis artikel itu direpresentasikan sebagai ‘wakil’ Sunni, adalah perilaku Sunni pada umumnya (katakanlah, Sunni yang sufi; Sunni ala Indonesia; ala Imam Syafii; ala NU/Muhammadiyah yang cinta damai?). Wah, ternyata tidak. Dinasti Seljuk itu saling berperang satu sama lain. Dan di tulisan yang sama (di web tersebut), si penulis dengan terus-terang juga mengkritik perilaku para pemimpin Dinasti Seljuk yang egois, mementingkan diri sendiri, pengkhianat, dll. Jerusalem jatuh ke tangan Tentara Salib juga gara-gara pengkhianatan para pemimpin dari Dinasti Seljuk itu.
Karena itu, di titik ini, menurut saya, penyebutan identitas Syiah atau Sunni para aktor Perang Salib tanpa memberi keterangan yang jelas, adalah tidak tepat dan hanya akan memunculkan sentimen perpecahan antarmazhab, dan semagat persatuan untuk mengalahkan para penindas kaum muslim tidak akan muncul.
(2) Apakah Perang Salib adalah Perang Agama?
Dalam artikel itu, ditulis bahwa pada tahun 1095, Paus Urban mengirimkan pasukan secara besar-besaran karena ‘memimpikan kerajaan Latin di Tanah Suci dan penghancuran terhadap Muslim sebagai kekuatan politik dan militer.”
Jadi, apakah pengiriman Tentara Salib dilandasi agama, atau keinginan berkuasa?
Ada sebuah buku menarik yang seolah menjawab pertanyaan saya ini. Judulnya Islam at War: A History (George F. Nafziger & Mark W. Walton). Saya baru membaca bab Islam and The Crusade dan mendapati bahwa penulisnya cukup netral; dengan terus-terang menyebut kekejaman tentara Salib, dan juga memuji perilaku Salahuddin Al Ayyubi terhadap Tentara Salib. Pada halaman 47-48 tertulis,
(kalimat dalam […] adalah penjelasan dari saya)
“Rentang waktu hampir 200 tahun, mulai dari serangan Tentara Salib pertama sampai kekalahan telak mereka, adalah momen yang sangat penting; yang secara signifikan telah membentuk dunia Muslim modern. Persepsi atas era tersebut telah sedemikian menetap (fixed) sehingga realitas dari kejadian-kejadian itu tidak lagi dianggap penting. Persepsi ini sangat menyesatkan, bahkan di beberapa hal sama buruknya dengan perilaku buruk Tentara Salib.
Salah satu miskonsepsi itu bahwa Kristen memerangi Islam. Faktanya, pernyataan yang lebih tepat untuk menggambarkan situasinya adalah “panglima perang abad pertengahan memerangi panglima perang abad pertengahan.” Sebagian dari mereka Kristen, sebagian Muslim. Agama terkadang memberikan pembenaran (excuse) dari sebuah aksi namun tidak pernah jadi alasan (reason). Alasan utama dari perang adalah kerakusan untuk meraih kekuatan personal dan kemakmuran. Meskipun ada tokoh yang benar-benar mulia seperti Saladdin (Salahuddin Al Ayyubi) dan Zangi, peperangan ini pun demi ‘kebesaran’mereka. Sebagian besar perang mereka [muslim] justru melawan sesama muslim. Kaum Kristen pun jarang atau bahkan tidak pernah bersatu melawan musuh Muslim mereka [artinya, Tentara Salib tidak merepresentasikan kaum Kristiani secara umum]. Mereka pun lebih sering berseteru di antara mereka sendiri.
Persepsi lain yang dikembangkan hingga hari ini di Timur Tengah adalah bahwa Barat menyerang Timur. Tentara Salib dipandang sebagai bentuk ‘imperialisme awal’; sebuah propaganda yang cocok dengan propaganda pada era Perang Dingin. Kenyataannya, Tentara Salib tidak cocok dengan pola imeprialisme Eropa yang muncul belakangan. Di era-era imperialisme Barat, yang terjadi adalah negara-negara maju yang kuat dan teroganisir dengan baik telah mendominasi negara-negara yang kurang maju, melalui perdagangan yang superior, senjata, dan budaya. Selama Perang Salib, kejadiannya justru sebaliknya: justru negara-negara muslim adalah masyarakat yang jelas-jelas superior. Bahkan lebih cocok bila menyamakan Tentara Salib dengan orang-orang Barbar yang menyerbu imperium Yunani dan Barat yang maju; ini analaogi yang lebih tepat daripada imperialisme dan sangat cocok dengan aksi/perilaku Seljuk dan Mongol.
Persepsi lain adalah bahwa Perang Salib adalah sebuah aksi kejam yang dilakukan oleh para penganut Kristen, melawan para pengikut Islam yang damai. Ada kebenaran minor dalam pernyataan ini, namun tanpa konteks sejarah. Sebenarnya, seandainya tentara Salib sebagai penakluk tidak ‘semenarik’ para penakluk dari bangsa-bangsa lain, setidaknya, mereka tidak jauh lebih buruk [maksud: penakluk-penakluk lain pun dalam sepanjang sejarah juga bertindak kejam; jadi bukan faktor Kristen-nya, melainkan memang begitulah tabiat para penakluk]. Tentara Salib memang menyukai perang, namun demikian juga negara-negara Muslim yang mereka lawan [maksud: Dinasti-Dinasti Muslim juga berekspansi ke wilayah-wilayah nonMuslim melalui perang; dan saling berperang di antara sesama muslim, salah satunya pembantaian massal yang sangat-sangat brutal, yang dilakukan tentara dinasti Umawi terhadap penduduk Madinah, yang disebut Tragedi Al Harrah, thn 63 H]
Tentu saja tulisan ini tidak dalam rangka ‘membela’ Tentara Salib. Tapi sekedar ingin merenungkan: dimanakah akar perang? Apakah agama adalah akar dari peperangan di muka bumi, atau sekedar pemicu? Dalam teori resolusi konflik, ada empat faktor yang harus diidentifikasi: pivotal factor (akar), triggering factors (pemicu), aggravating factors (faktor yang memperuncing perang); dan mobilizing factors (peran para pemimpin; pemimpin haus perang akan membawa bangsanya berperang; dengan alasan apapun; agama pun bisa dipakai sebagai alasan; tapi artinya, bukan agama yang jadi alasan, melainkan diperalat untuk jadi alasan).
Bila kita meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Cinta Damai, dan ajaran-Nya adalah kedamaian, tentu semua agama yang diturunkan Allah sebenarnya membawa perdamaian. Bahkan bila terjadi perang di zaman Rasulullah, alasannya adalah karena diperangi (konteksnya membela diri), bukan untuk memerangi. Etika perang pun sangat dijaga oleh Rasulullah, tidak ada perilaku pembunuhan massal, apalagi menggorok leher musuh, mengangkat kepalanya dengan bangga dan tertawa-tawa, memakan jantung mayat musuhnya, sebagaimana yang dilakukan para teroris di Suriah yang mengatasnamakan jihad dan Islam; atau sebagaimana yang dilakukan Tentara Salib yang membuat lautan darah di Jerusalem.
Dan saya sepakat dengan pernyataan bahwa akar perang ekspansif/agresif adalah uang dan kekuasaan, bukan agama. Dalam buku Prahara Suriah saya uraikan bahwa meski yang dikedepankan oleh pemberontak adalah isu Sunni-Syiah, namun sebenarnya di balik itu ada faktor uang dan kekuasaan; terlihat dari siapa saja pendukung dan donatur perang tersebut.
Salah satu dialog dalam film Kingdom of Heaven sangat pas menggambarkan ini. Saat itu, seorang perwira Tentara Salib bernama Tiberias, memilih untuk pergi dari Jerusalem dan tidak melanjutkan perang melawan pasukan Al Ayyubi.
Tiberias berkata, “I have given Jerusalem my whole life. First, I thought we were fighting for God. Then I realized we were fighting for wealth and land. I was ashamed.” [Saya telah menyerahkan seluruh hidup saya untuk Jerusalem. Tadinya, saya pikir kita bertarung untuk Tuhan. Lalu saya menyadari, kita berperang untuk uang dan tanah. Saya merasa malu.]
Sumber: dinasulaeman.wordpress.com