Anda tentunya tahu apa yang disebut dengan syafaat. Ketika seseorang misalnya harus menghadapi hukuman karena kesalahan dan dosa yang dilakukannya, lalu ada orang ketiga yang datang menjadi penengah untuk membebaskannya dari hukuman, tindakan itu disebut dengan istilah syafaat. Dalam istilah syariat, syafaat permohonan ampunan dari seorang kekasih dan wali Allah kepada Allah untuk mengampuni seseorang atau meringankan siksanya.
Salah satu isu yang diperdebatkan antara Wahhabi dan kaum Salafi di satu pihak dengan umat Islam yang lain adalah masalah syafaat. Orang-orang Wahhabi memang menerima konsep syafaat. Tetapi menurut mereka syafaat hanya akan berlaku kelak di Hari Kiamat dan Nabi adalah syafi’ yang paling banyak memberi syafaat kepada umat manusia. Hanya saja kaum Salafi dan Wahhabi mengatakan bahwa umat Islam tidak berhak meminta syafaat di dunia kepada Nabi dan orang-orang saleh.
Padahal budaya meminta syafaat dari Nabi dan salihin sudah dikenal oleh kaum muslimin sejak dulu bahkan di masa Nabi masih hidup. Tak ada satupun ulama yang menolak konsep syafaat ini. Penentangan pertama ditunjukkan oleh Ibnu Taimiyyah di abad kedelapan hijriyah yang lantas diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka mengatakan bahwa memohon syafaat kepada selain Allah adalah perbuatan haram. Dan seperti biasa mereka menyebut mereka yang tidak sejalan dengan pemikiran ini sebagai orang-orang kafir.
Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan bahwa syafaat yang menjadi hak para nabi, malaikat dan auliya tidak ada hubungannya dengan kehidupan dunia. Mereka hanya akan memberikan syafaat di Hari Kiamat. Karena itu, siapa saja yang menyampaikan permohonan dan doa kepada Allah lewat perantara hamba-Nya berarti telah melakukan perbuatan syirik. Masih menurut mereka, manusia harus menyampaikan permintaannya secara langsung kepada Allah Swt, dan dengan mengatakan, “Ya Allah masukkan kami ke dalam golongan yang memperoleh syafaat Muhammad Saw”, bukan mengatakan, “Wahai Muhammad berilah syafaat kepada kami di sisi Tuhanmu.”
Kaum Salafi dan Wahhabi telah membangkitkan reaksi luas di dunia Islam lewat masalah syafaat. Mereka tak segan untuk melontarkan kata-kata keji terhadap siapa saja yang meyakini konsep syafaat. Untuk membenarkan pandangan ini, mereka mengajukan sejumlah dalil. Pertama, syafaat dengan makna ini adalah syirik, dan orang yang meminta syafaat berarti menyembah pemberi syafaat. Dia telah menyamakan pemberi syafaat dengan Allah karena meminta kepada selain Allah dan ini adalah syirik yang nyata. Dalam kitab ‘Kasyf al-Syubuhat’, Muhammad bin Abdul Wahhab menyebut syafaat dan tawassul sebagai perbuatan syirik, karena itu sebagian besar umat Islam adalah menjadi musyrik karena meyakini syafaat dan tawassul.
Pandangan kelompok ini jelas bertentangan dengan pandangan yang diyakini oleh umat Islam pada umumnya. Jika hendak berbaik sangka kita katakan bahwa kaum Salafi dan Wahhabi salah dalam memahami ajaran Islam dalam masalah syafaat. Memohon syafaat kepada manusia bisa disebut jika disertaidengan keyakinan bahwa manusia pemberi syafaat adalah tuhan dan pengatur alam semesta.Tapi umat Islam tidak meyakini hal seperti itu. Mereka mengharapkan syafaat supaya pemberi syafaat memohonkan kepada Allah untuk apa yang dimintakan oleh pemohon syafaat seperti pengampunan dosa dan sejenisnya.
Tidak ada seorang Muslim pun yang meyakini Nabi sebagai tuhan karena memberi syafaat. Sebaliknya mereka meyakini bahwa pemberi segala sesuatu adalah Allah, sementara Nabi dan para pemberi syafaat lainnya hanya perantara untuk memperoleh pemberian Tuhan itu. Apalagi dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa syafaat tak mungkin terjadi tanpa izin dari Allah.
Ayat-ayat suci al-Quran menjelaskan bahwa syafaat Nabi dan para syafi’ lainnya adalah doa untuk mendapat ampunan Ilahi. Karen kedekatan para syafi’ di sisi Allah, kaum muslimin memohon mereka supaya menjadi syafi di sisi Allah untuk memperoleh ampunanNya. Sebab, doa Nabi dan para wali tak pernah ditolak oleh Allah. sejumlah ayat al-Quran menyebutkan pengaruh permohonan ampunan Nabi untuk hamba-hamba Allah. misalnya di ayat 19 surat Muhammad disebutkan,”Dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan untuk orang-orang mukmin.“
Ayat 103 surat al-Taubah menyebutkan, “Dan berdoalah untuk mereka sesungguhnya doamu adakan penenang buat mereka.“Ketika doa Nabi memiliki pengaruh yang demikian untuk umat, lalu apa yang menghalangi kita untuk meminta beliau mendoakan kita? Dari sisi lain, meminta syafaat adalah meminta doa.
Dalam kitab-kitab hadis kata syafaat banyak digunakan dengan makna doa. Bahkan Imam Bukhari dalam kitabnya juga menggunakan kata ini dengan arti doa. Dan seperti diketahui, Shahih Bukhari adalah kitab hadis paling dipercaya di lingkungan Ahlussunnah yang ditulis oleh Imam Bukhari (194-256 H). Dalam dua bab di kitab ini, Imam Bukhari menyamakan syafaat dengan doa Nabi dan salihin.
Ketika orang memohon syafaat kepada imam supaya hujan turun permohonan itu tidak boleh ditolak. Karena itu dapat dikatakan bahwa ulama Ahlussunnah juga meyakini konsep syafaat.Bukti lainnya yang menunjukkan bahwa syafaat sama dengan doa, adalah riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorang muslim yang meninggal dunia lalu 40 orang yang tidak menyekutukan Allah berdiri di sisi jenazahnya, kecuali Allah akan memberikan syafaat mereka kepadanya.” (HR Muslim juz: 3 hal: 54)
Syafaat 40 orang mukmin untuk orang muslim yang meninggal itu adalah melalui shalat jenazah dan doa mereka untuknya supaya Allah merahmati dan mengampuninya. Karena itu, syafaat berarti doa. Layakkah doa disebut sebagai perbuatan syirik?
Dalil lain yang digunakan kaum Salafi dan Wahhabi untuk mendukung pandangan mereka dalam masalah syafaat merujuk kepada ayat 18 surat Yunus yang menyebutkan bahwa orang-orang musyrik telah mempersekutukan Allah karena mereka meminta syafaat dari berhala-berhala sesembahan mereka. Karena itu memohon syafaat kepada selain Allah termasuk kepada Nabi dan para wali adalah perbuatan syirik. Allah Swt berfirman, “Mereka (para penyembah berhala) menyembah selain Allah yang tidak mendatangkan kerugian bagi mereka dan tidak pula manfaat, dan mengatakan bahwa mereka inilah pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (Q.S. Yunus: 18)
Untuk menjawab argumentasi ini mesti dikatakan bahwa antara syafaat yang dimohon oleh kaum Musyrik dengan syafaat yang dimohon oleh kaum Muslimin terdapatperbedaan yang sangat jauh dan jelas. Kaum Musyrik meyakini berhala sebagai tuhan mereka yang layak untuk diminta dan dimohonkan syafaatnya. Sementara, seorang Muslim meyakini bahwa orang-orang saleh memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Karena itu ia memohon kepada mereka untuk memberi syafaat di sisi Allah. Kaum Muslimin mempercayai secara mendalam bahwa para nabi, shalihin, syuhada dan malaikat memiliki kewenangan untuk memberi syafaat. Karena itu, mereka layak menjadi syafi’ baik dalam kehidupan di dunia maupun akhirat.(IRIB Indonesia)