Sebelum ini telah dibahas secara luas mengenai beberapa akidah Salafi dan Wahhabi yang dangkal dan menyimpang. Kedangkalan mereka dalam berpikir terkadang sangat berbenturan dengan tradisi yang dikenal oleh umumnya umat manusia. Salah satunya terkait dengan tindakan mereka menghancurkan situs-situs yang bernilai sejarah.
Di antara masalah yang dipandang sebagai bidah oleh kaum Salafi dan Wahhabi sehingga dirasa perlu untuk diperangi adalah pembuatan kubah dan masjid di makam para nabi, wali dan shalihin. Masalah ini pertama kali diangkat oleh Ibnu Taimiyyah lalu dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauzi. Mereka mengharamkan pendirian bangunan di atas makam dan jika ada yang sudah berdiri maka bangunan itu harus dihancurkan. Dalam kitab Zad al-Maad fi Huda Khair al-Ibad, Ibnu Qayyim menulis, “Penghancuran bangunan yang didirikan di atas kubur adalah keharusan yang tidak boleh ditunda meskipun hanya untuk satu hari.”
Fatwa tadi diimplementasikan dalam bentuk tindakan oleh aksi orang-orang Wahhabi. Setiap kali menyerang tempat-tempat suci, pasukan Wahhabi selalu melakukan penghancuran situs-situs penting yang dihormati oleh umat Islam. Salah satu tindakan paling biadab yang mereka lakukan adalah penghancuran makam keluarga Nabi dan para sahabat di pemakaman Baqi’ Madinah yang terjadi pada tahun 1344 hijriyah (1926 M). Padahal sampai detik ini, tak ada dalil logis dan syar’i yang bisa mereka perlihatkan untuk membenarkan tindakan mereka yang keji dan tidak manusiawi itu.
Memelihara simbol-simbol Islam atau yang lazim disebut dengan syiar-siar Islam adalah perintah Ilahi. Di surat al-Hajj ayat 32, Allah Swt menyeru kaum muslimin untuk menjaga syiar-syiar ini dan berfirman, “Barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu muncul dari ketakwaan hati.“
Jika Shafa, Marwah, Muzdalifah, Mina dan situs-situs haji lainnya disebut sebagai syiar dan tanda-tanda Ilahi, penghormatan kepada makam para nabi, wali dan shalihin juga merupakan pengamalan dari ajaran Islam demi mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, Nabi Saw, para nabi lainnya dan auliya adalah tanda dan syiar Ilahi yang terbesar. Salah satu cara menghormati dan mengagungkan syiar ini adalah dengan menjaga peninggalan dan makam mereka. Selain itu, penghormatan umat Islam kepada makam Nabi dan auliya menunjukkan kecintaan mereka kepada Islam. Membangun makam manusia-manusia agung dan ilahi adalah salah satucara mengungkapkan rasa cinta dan penghargaan kepada mereka yang berjasa menyebarkan ajaran Allah.
Al-Quran al-Karim memerintahkan umat Islam untuk membalas jasa Nabi Saw yang telah membimbing mereka ke jalan kebenaran dengan cara mencintai beliau dan keluarganya. Ayat 23 surat al-Syura menyebutkan, “Katakanlah aku tidak meminta balasan atas risalahku ini dari kalian kecuali kecintaan kepada keluarga dekatku…” Kini yang menjadi pertanyaan adalah bukankah salah satu cara untuk menunjukkan kecintaan ini adalah dengan memelihara peninggalan dan kenangan dari para kekasih Allah itu, termasuk dengan menjaga tempat jasad mereka dimakamkan?
Dalam masalah mendirikan bangunan di atas makam, tidak ada satupun ayat al-Quran yang melarangnya. Bahkan perbuatan ini secara tidak langsung disinggung dalam al-Quran tanpa ada kecaman atau larangan. Setelah menceritakan kisah Ashhabul Kahf yang tidur di dalam gua selama 309 tahun, Allah Swt menjelaskan adanya perselisihan pendapat di antara masyarakat. Sebagian mengusulkan untuk mendirikan bangunan tempat ibadah atau masjid di atas makam mereka demi menghormati dan mengagungkan manusia-manusia yang saleh ini. Masalah ini disinggung di surat al-Kahf ayat 21. Ketika menceritakan kisah tersebut, al-Quran tidak menunjukkan penentangan, teguran dan kecaman atas keinginan masyarakat mendirikan bangunan dan masjid di atas makam Ashhabul Kahf.
Jika perbuatan itu haram dan dicela dalam agama, tentunya Allah akan menjelaskan pula di dalam firmanNya yang suci, sama seperti teguran dan peringatan yang Allah berikan terkait perbuatan tidak benar yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. Misalnya di ayat 27 surat al-Hadid, Allah Swt berfirman,
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.“
Mendirikan sebuah bangunan dan kubah di atas makam orang saleh dan hamba Allah yang taat sudah menjadi tradisi sejak zaman dahulu kala, dan kaum Muslimin juga melakukannya sejak abad pertama Islam. Jika orang-orang Syiah mendirikan bangunan dan membuat kubah di atas pusara keluarga suci Nabi, orang-orang Sunni juga melakukan hal yang sama di makam para wali, syuhada dan ulama-ulama mereka. Makam itulah yang kemudian menjadi tujuan mereka untuk berziarah.
Di Najaf, Karbala, Samarra, Kazhimain dan Mashhad, kita menemukan bangunan-bangunan berkubah di atas makam para imam Ahlul Bait yang dibangun oleh orang-orang Syiah. Orang Sunni juga membangun makam Zainab dan Ra’sul Husein di Mesir, makam Abu Hanifah dan Syekh Abdul Qadir Jailani di Baghdad, makam Imam Bukhari di Samarkand dan makam-makam para tokoh dan shahilin lainnya. Semua bangunan itu menunjukkan kecenderungan umat Islam untuk melestarikan ajaran dan nilai-nilai agung agama Islam. Mereka juga memiliki keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berziarah ke makam para kekasih Allah dan bertawassul dengan mereka.
Lain halnya dengan kaum Salafi dan Wahhabi. Mereka lagi-lagi berjalan di arah yang berlawanan dengan kaum muslimin. Berbekal pemahaman agama yang dangkal dan pemikiran yang picik, mereka menghancurkan makam-makam yang diagungkan umat Islam dan melenyapkan situs-situs bernilai sejarah. Makam yang menjadi sasaran tindakan brutal mereka diantaranya adalah makam keluarga Nabi di Baqi’ dan makam Sayyidusy Syuhada Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Nabi di Uhud. Perlakuan kaum Wahhabi ini telah melukai perasaan seluruh umat Islam. Untuk membenarkan tindakan itu, Wahhabi membawakan sejumlah hadis yang sanadnya daif atau lemah. Mereka bahkan mengkafirkan siapa saja yang berziarah ke makam para pemimpin Islam dan membangun kubur mereka.
Umat Islam tidak hanya menjaga dan melestarikan kenangan Nabi dan para wali dengan menghormati makam mereka, tetapi juga dengan menjaga peninggalan mereka. Di dalam al-Quran, Allah memerintah kita untuk menjaga dan mengagungkan tempat-tempat yang di dalamnya zikir Allah dan tasbih diucapkan. Jadi, selain masjid, rumah para nabi dan wali juga harus dijaga dan dilestarikan, seperti rumah Nabi Muhammad Saw dan rumah tempat tinggal Imam Ali dan Fatimah as. Sebab disanalah, manusia-manusia suci itu melantunkan ayat-ayat Allah, zikir, munajat dan senandung doa, dan di sanalah tempat lalu lalangnya para malaikat Allah.
Situs-situs bersejarah Islam adalah bukti akan kebenaran risalah kenabian yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Jika bangunan-bangunan bersejarah itu dijaga dengan sebaik-baiknya, umat Islam bisa dengan bangga mengatakan kepada dunia, inilah rumah sederhana tempat Nabi dulu tinggal bersama keluarganya. Sayangnya, kaum Wahhabi tidak lagi menyisakan situs bersejarah itu dan tidak menghormatinya. Padahal, sebelum munculnya aliran Wahhabi, umat Islam berlomba-lomba menjaga dan melestarikan apa saja yang berhubungan dengan Nabi dan para auliya Ilahi. Selain menulis sejarah tentang Nabi, umat ini juga rajin mengumpulkan benda-benda pribadi milik Rasulullah Saw, seperti cincin, terompah, siwak, pedang, baju besi, bahkan sumur yang airnya pernah diminum oleh Nabi Saw. Sayangnya dari kesemua benda yang sangat bernilai itu, hanya sedikit yang masih tersisa.
Dalam hal menjaga peninggalan sejarah, tidak ada satupun kaum di dunia yang memiliki rapor lebih buruk dari kaum Wahhabi. Jika bangsa-bangsa lain di dunia berlomba-lomba mengumpulkan peninggalan bersejarah mereka dan memandangnya sebagai bagian yang tak terpisahkkan dari kebudayaan dan peradabaan mereka, kaum Wahhabi justeru berlomba-lomba melenyapkan warisan sejarah Islam. Padahal, menurut aturan internasional, penghancuran dan pelenyapan peninggalan bersejarah adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan meskipun dilakukan di masa perang. (IRIB Indonesia)