Setelah mencuat polemik di DPR dan respon negatif publik, akhirnya Presiden bersama DPR sepakat menunda jadwal revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Selasa, 13 Oktober 2015. Itu artinya, jika tidak ada polemik dan respon negatif, hampir bisa dipastikan proses legislasi jalan terus. Bersamaan dengan rencana revisi UU KPK, diselipkan juga RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty, selanjutnya disebut RUU Pengampunan saja) dalam Prolegnas 2015.
Kontroversi dan penolakan publik terhadap kedua RUU itu terletak pada (1) RUU KPK dianggap sebagai upaya pelemahan KPK, baik secara kelembagaan maupun fungsional, (2) RUU Pengampunan dinilai tidak hanya untuk mengampuni para pengemplang pajak, lebih dari itu adalah mengampuni para koruptor dan pejahat finansial lainnya, serta sebagai potensi melahirkan kejahatan finansial yang baru yang dilindungi UU.
Apakah menunda pembahasan berarti menghentikan ? Sama sekali tidak. Menunda di sini adalah menghapus agendanya dalam Prolegnas 2015, tapi akan menjadwalkan kembali dalam Prolegnas tahun-tahun berikutnya. Itu artinya, publik mesti waspada bahwa Pemerintah bersama DPR akan menjadwal kembali untuk memproduksi kedua regulasi itu. Dan, jadwal terdekat adalah Rencana Prolegnas 2016, yang akan disahkan pada akhir tahun 2015.
Menyalahi Mekanisme Legislasi
Dalam polemik RUU KPK dan RUU Pengampunan, publik memahami bahwa kedua RUU itu adalah Usul Inisiatif DPR. Itu tidak benar, itu sama sekali salah. Kedua RUU adalah Usul Pemerintah. Memang, ada 6 Fraksi yang pasang badan untuk mengawal RUU KPK, yaitu Fraksi PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura, serta 4 Fraksi yang mengusulkan RUU Pengampunan, yaitu Fraksi PDIP, Golkar, PKB dan PPP. Tetapi, semua itu sekedar “akrobat” Pemerintah di Badan Legislasi DPR, untuk mengatakan pada publik bahwa DPR lah yang bernafsu melemahkan KPK.
Baiklah kita review sedikit perjalanan RUU KPK (yang RUU Pengampunan belakangan), terkait statusnya dalam Prolegnas, yang semula ada dalam Longlist 2015-2019 kemudian dimasukkan dalam Prioritas 2015. Dalam Rapat Baleg bersama Menkumham hari Selasa, 16 Juni 2015 Jam 14.30 WIB – 16.30 WIB, dengan mata acara “Evaluasi dan Usulan Perubahan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2015” telah dibahas, di antaranya :
(1) Pemerintah mengajukan RUU KPK, mengingat dalam pelaksanaan UU tersebut masih menimbulkan masalah yang menyebabkan terganggunya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
(2) Pemerintah mengajukan RUU KPK ke dalam Prolegnas RUU Prioritas 2015 itu setelah diskusi dengan Komisi III DPR.
Terhadap pertimbangan Pemerintah tersebut, Anggota DPR menanggapi, bahwa :
(1) Memasukkan RUU KPK dalam Prolegnas 2015 akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat, sehingga jika RUU KPK disetujui masuk dalam Prolegnas 2015, hendaknya Pemerintah tidak menariknya kembali.
(2) Terkait dengan penyusunan RUU KPK, sebaiknya dilakukan setelah pembahasan RUU KUHP selesai, mengingat terdapat materi/substansi dalam RUU KPK tersebut yang harus diatur terlebih dahulu dalam RUU KUHP sebagai UU Generalis.
Meskipun pembahasannya cukup alot, akhirnya Rapat tanggal 16 Juni 2015 itu menyimpulkan bahwa RUU KPK masuk Prolegnas 2015. RUU KPK tersebut menggantikan RUU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah usulan Pemerintah, yang selanjutnya akan dimasukkan dalam Prolegnas 2016. Kemudian, Rapat Paripurna DPR hari Selasa, 23 Juni 2015 memutuskan bahwa RUU KPK tersebut masuk Prioritas 2015.
Dengan demikian, jika kita menggunakan “logika barter”, sesungguhnya pihak yang mengusulkan RUU KPK adalah Pemerintah, karena mengganti RUU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang juga Usul Pemerintah. Ternyata dinamika yang berkembang tidak sejalan dengan “logika barter” itu. Dalam Rapat Baleg dengan Menkumham hari Selasa, 06 Oktober 2015, Pemerintah meminta dalam rapat tersebut bahwa RUU KPK yang semula disulkan Pemerintah menjadi usulan DPR. Dan yang menarik, pada saat yang sama, Enam Fraksi di DPR (PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura) telah menyiapkan dan mengajukan Draft RUU KPK (tanpa Naskah Akademik).
Dari “akrobat” itu, ada beberapa catatan yang menarik untuk disimak ;
- a) waktunya bersamaan (Rapat 06 Oktober 2015), antara permintaan Pemerintah untuk menjadikan RUU KPK sebagai Usul DPR dengan kesigapan Enam fraksi tersebut dalam menyiapkan dan mengajukan Draft RUU-nya,
- b) sebagai Usulan DPR, naskah RUU itu diketik di atas kertas berlogo Presiden Republik Indonesia, bukan kertas kosong atau logo Enam Fraksi atau logo DPR. Ini menunjukkan bahwa Fraksi-fraksi pengusul itu tidak teliti, meski siap dan sigap.
- c) pengajuan RUU tanpa Naskah Akademik. Sebagai RUU yang berasal dari Pemerintah, yang kemudian di-handle oleh Enam Fraksi, maka RUU KPK tanpa Naskah Akademik itu sangat tidak wajar. Ini sama sekali bukan soal kapasitas, kualitas dan kompetensi, melainkan semata-mata soal ketergesa-gesaan, seperti kejar setoran yang dilakukan sopir Metromini.
Sebagaimana yang sudah terpublikasi, Draft RUU yang disiapkan oleh Enam Fraksi itu secara umum dinilai sebagai rancangan regulasi yang akan melemahkan KPK, baik secara kelembagaan maupun secara fungsional, Sehingga akan melahirkan UU yang justru kontra-produktif terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Berikut adalah sebagian saja dari apa yang dikhawatirkan masyarakat, yaitu :
- penyadapan yang harus seijin pengadilan,
b. penerbitan SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan,
c. pengangkatan atau penghentian penyelidik KPK,
d. penyitaan dengan bukti permulaan yang cukup pada tahap penyidikan,
e. kewajiban KPK membuat laporan kepada Polri dan kejaksaan apabila KPK menangani penyidikan terlebih dahulu,
f. penghapusan kewenangan KPK melakukan penuntutan,
g. membatasi kewenangan menangani kasus korupsi minimal Rp 50 miliar,
h. pembatasan usia KPK sampai 12 tahun terhitung sejak RUU itu diundangkan.
Apakah motivasi utama membuat regulasi yang akan melemahkan KPK ? Jawabannya sederhana ; supaya para penjahat makin nyaman melakukan pencurian uang rakyat yang ada di Kas Negara atau yang akan masuk di Kas negara. Dan untuk melengkapi kenyamanan dalam melakukan kejahatan finansial, diperlukan Regulasi tersendiri yang namanya UU Pengampunan Pajak.
Berunding dengan Maling
Disamping RUU KPK, Rapat Kerja Baleg dengan Menkumham pada Selasa, 06 Oktober 2015 itu juga dibahas munculnya RUU Pengampunan untuk dimasukan dalam Prolegnas RUU Prioritas 2015.
Berbeda dengan RUU KPK yang memiliki riwayat pembahasan dalam Rapat-rapat Baleg tentang evaluasi Prolegnas, maka RUU Pengampunan ini tidak pernah disinggung dalam rapat-rapat sejenis. Bahkan dalam Longlist Prolegnas 2015-2019 RUU itu tidak tercantum. Baru pada Rapat 6 Oktober 2015 Pemerintah meminta agar RUU ini dibahas untuk dimasukkan dalam RUU Prolegnas 2015 sebagai RUU Usul DPR. Dan sebagai rencana RUU Usul DPR, dalam Rapat 6 Oktober 2015 itu juga sudah dilengkapi Naskah Akademik dan Draft RUU yang diusulkan oleh Empat Fraksi (Fraksi PDIP, Golkar, PKB dan PPP).
Dalam proses itu, catatan yang manarik adalah (1) seolah-olah Menkumham menjadikan Fraksi-fraksi itu sebagai Event Organizer untuk menjalankan proyeknya. Sesungguhnya ini bagian dari “akrobat” juga, bahwa bukan Pemerintah yang hendak berunding dengan para maling, melainkan DPR. Sehingga publik menilai bahwa DPR secara kelembagaan citranya buruk. (2) Di Longlist Prolegnas 2015-2019 sama sekali tidak tercantum RUU Pengampunan, di pembahasan evaluasi prolegnas sebelumnya juga tidak dibahas, tapi tiba-tiba muncul lengkap Draft RUU dan Naskah Akademiknya.
Belum ada “penjelasan resmi” dari para pengusul tentang sejauh mana urgensi RUU Pengampunan itu penting untuk dibahas, karena memang belum ada forum yang khusus diadakan untuk hal tersebut. Gambaran kita tentang substansi RUU ini justru kita peroleh dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang disampaikan lewat media massa dan forum-forum di luar forum legislasi.
Secara singkat, gambaran itu mencakup dua sisi sekaligus. Di satu sisi, “UU Pengampunan” dianggap sebagai cara cepat untuk menggenjot penerimaan pajak. Sekedar catatan, hingga akhir triwulan I tahun 2015, realisasi penerimaan negara dari pajak mencapai Rp377,02 triliun, atau sekitar 30 persen terhadap target dalam APBNP 2015 sebesar Rp1.294,258 triliun. Padahal seiring meningkatnya belanja pemerintah dan penurunan harga minyak dunia, pajak menjadi sumber utama bagi penerimaan negara.
Di sisi lain, “UU Pengampunan” dinilai sebagai kebijakan yang mencederai prinsip keadilan terhadap para wajib pajak yang taat. Bahkan, gagasan perluasan pengampunan tak hanya untuk pelaku tindak pindana pajak, melainkan juga kepada para pelaku korupsi, tindak pidana pencurian uang, dan kejahatan finansial lain. Apalagi jika mengacu pada terminologi “amnesty”, maka Negara harus mengampuni seluruh pelaku kejahatan, tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, dikhawatirkan “UU Pengampunan” nanti justru akan menjadi instrumen pemberian imunitas terhadap para koruptor dan penjahat finansial yang lain.
Kita sudah lama memahami bahwa banyak WNI yang menempatkan hasil usahanya di negara lain (capital flight), entah itu hasil usaha yang wajar, hasil korupsi, maupun hasil kejahatan finansial lainnya. Dengan asumsi “RUU Pengampunan” sudah eksis, diprediksi mereka yang melarikan atau menempatkan dananya di luar negeri akan menarik dananya masuk ke Indonesia sekitar Rp1.000 Trilyun. Oleh karena itu, menurut para pengusul, syaratnya harus menarik dan merangsang pihak-pihak yang dibidik.
Mencermati begitu “baik hati”-nya Negara terhadap berbagai pihak yang dibidik melalui “UU Pengampunan”, diperkirakan RUU ini bukan hanya potensial menghapuskan kejahatan yang telah mereka lakukan, tetapi juga potensial mendorong lahirnya para penjahat baru dengan memperhitungkan adanya fasilitas pengampunan itu. Oleh karenanya, melalui “UU Pengampunan”, Indonesia akan mendapatkan julukan sebagai Negara koruptor yang “baik hati” kepada para maling.
Ditunda atau Dihapus?
Kalo kita percaya bahwa Negara tidak netral dan regulasi yang diproduksi juga menguntungkan sekaligus merugikan pihak-pihak tekait, maka kita pun dengan mudah menilai pasti ada pihak yang berkepentingan atas kedua UU itu, yaitu segelintir orang yang telah, sedang dan akan melakukan tindak kejahatan finansial. Di sisi lain ada sekian banyak masyarakat yang akan dirugikan dengan lahirnya kedua UU tersebut. Sementara, elemen-elemen dalam Negara (Pemerintah dan DPR) merupakan lembaga politik yang memiliki agenda tersendiri, yang belum tentu sejalan dengan kepentingan masyarakat banyak. Sehingga kita pun tidak perlu optimis bahwa penundaan itu merupakan kabar gembira. Menunda masalah saat ini berarti menumpuk masalah di masa yang akan datang.
Sangat mungkin, RUU KPK dan RUU Pengampunan itu akan dipaksakan masuk dalam Prolegnas 2016. Dan jika masuk Prolegnas 2016, itu artinya tidak dihapus. Apa saran kita kepada Pemerintah dan DPR ? Kita kutipkan saja kata-kata dari Bapak Republik Indonesia kita, Tan Malaka : “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”
Penulis : Abdul Kholik, Tenaga Ahli DPR-RI Fraksi Partai Gerindra
(Penulis bisa dihubungi di kholik.mkb@gmail.com)