November mendatang di Singapura akan digelar forum East Asia Summit (EAS) yang mana baik negara-negara yang tergabung dalam ASEAN maupun beberapa negara adikuasa (AS, Cina, Rusia, Jepang, India dan Australia) akan ikut serta. Terkait hal itu, politik luar negeri RI yang bebas dan aktif akan diuji dalam forum berskala inter-regional tersebut. Apalagi ditengah semakin menajamnya persaingan Global antara AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik.
Hal itu terbukti dengan terbentuknya persekutuan empat negara atau yang terkenal Quad Security Alliance, dimana yang dibentuk dengan dalih untuk membendung ekspansi Cina, baik dalam skala militer maupun secara ekonomi akibat skema Cina lewat The Belt Road Initiative (BRI). Ketegangan militer pun semakin menajam di perairan Laut Cina Selatan (LCS) dan Laut Cina Timur. Pada sisi lain, Cina dengan skema BRI-nya semakin memantapkan dirinya untuk mengembangkan skema kebijakan jalur sutra maritim, yang mana Cina menetapkan tiga rute tujuan. Rute Cina ke Asia Tenggara, Rute Cina ke Asia Pasifik Selatan, dan Rute Cina ke Eropa.
Kebijakan strategis kemaritiman Cina tersebut pada perkembangannya telah mengundang kekhawatiran AS dan sekutu-sekutunya seperti Inggris dan negara-negara Uni Eropa. Tren global inilah yang kemudian mendorong terbentuknya konsep Indo Pasifik yang mulai bergulir ketika pertemuan Shinzo Abe dan perdana menteri India di tahun 2007 silam. Di mana kemudian pada tahun 2017 dikembangkan lebih lanjut dalam forum EAS oleh Donal Trump di Manila, Filipina. Dua kejadian tersebut dengan jelas menggambarkan semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik.
Dengan latar belakang tersebut diatas, maka pertemuan pada forum EAS mendatang menjadi sangat sentral dan strategis. Maka dari itu, membaca manuver politik luar negeri AS dalam forum tersebut menjadi amat penting. Apalagi dengan perilaku politik Donald Trump yang sulit diprediksi dan berubah-ubah. Kadang bersikap frontal seperti secara tiba-tiba mendeklarasikan perang dagang dengan Cina. Atau melancarkan ancaman pada Korea Utara secara sanksi militer, ketika Kim Jong Un meluncurkan uji coba rudal balistik. Namun tiba-tiba pula, Donald Trump mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan pemimpin Korut di bulan Juni lalu. Yang mana hasilnya adalah tercapai kesepakatan damai untuk mengurangi ketegangan bagi kedua negara. Namun tiba-tiba pula, AS memberi angin kepada Jepang untuk meningkatkan agresifitas militernya dengan bersedia menjual sistem pertahanan radar Anti Rudal Aiges Ashore yang senilai 4 miliar dollar AS.
Sepak terjang Donald Trump tersebut bukannya tanpa skema dan pola. Justru memperlihatkan tujuan strategis Trump untuk mengintegrasikan aspek politik, ekonomi perdagangan dan militer sebagai satu kesatuan. Di sinilah sisi rawan dari konsepsi Indo Pasifik. Ketika konsepsi Indo Pasifik dikembangkan melalui kerangka ekonomi perdagangan dan pada saat yang sama persekutuan negara Quad dibentuk dalam kerangka pakta pertahanan militer. Bahkan Indo Pasifik dipalarelkan dengan manuver militer AS dengan US Pacific Command.
Dengan konstelasi yang demikian, sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif harus menjadi gagasan yang mendasar dalam forum EAS tersebut. Maka itu, menteri luar negeri Retno Marsudi harus menyadari gagasan dasar mengapa Indo Pasifik dan Quad dibentuk. Bahwa ini merupakan agenda strategis AS dan Blok Barat untuk membentuk kekuatan ekonomi dan militer dengan dalih membendung Cina. Sehingga persekutuan Quad sepertinya dimaksudkan untuk membentuk SEATO gaya baru untuk kawasan Asia Pasifik. Jika demikian, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN termasuk Indonesia, sedang berusaha diseret untuk masuk ke orbit pengaruh ke anggota Quad tersebut.
Terkait dengan hal itu, menarik untuk dipelajari lebih jauh konsepsi Menlu Retno Marsudi seputar gagasan Indonesia’s Indo Pacific Proposal. Jansen Tham melalui analisisnya dalam yang bertajuk What’s in Indonesia’s Indo Pacific Cooperation Concept menjabarkan Indonesia memandang Indo Pasifik sebagai “ruang hidup” dimana prinsip keterbukaan dan transparansi dalam menjalani kerjasama serta menghargai hukum internasional – dijamin.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah skema Indo Pasifik ini dapat menjamin hal-hal tersebut? Dalam pengertian menjadi forum kerjasama yang bersifat terbuka, setara, saling menguntungkan dan adil. Mengingat Indo Pasifik ini adalah manuver AS dalam rangka Asia Pacific rebalancing strategy.
Namun pada bagian lain, Tham menggarisbawahi Retno Marsudi selaku menteri luar negeri Indonesia menganggap ASEAN sebagai organisasi sekaligus kawasan regional yang penting bagi skema Indo Pasifik.
Global Future Institute (GFI) menilai bahwa gagasan Menlu Retno masih terlihat kabur dan belum fokus, namun penekanan beliau bahwa ASEAN merupakan organisasi dan kawasan regional yang penting bagi Indo Pasifik, harus menjadi dasar menyusun balancing strategy ditengah persaingan yang semakin menajam antara blok AS dan blok Cina. Dan dalam hal ini, Indonesia harus memainkan peran aktif mengingat kepeloporan Indonesia dalam pembentukan ASEAN di Agustus tahun 1967. Apalagi Indonesia merupakan negara terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Untuk itu, spirit konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dan Gerakan Non-Blok (GNB) di Beograd 1961 harus menjiwai politik luar negeri Indonesia dalam menyusun strategi perimbangan kekuatan di forum EAS 2018.
Dengan demikian forum EAS 2018 bisa jadi momentum Indonesia untuk mereaktualisasikan kembali politik luar negeri yang bebas dan aktif. Sehingga kita kembali benar-benar akan mendayung di antara dua karang dan bukannya di dayung oleh dua karang. Maka itu, optimisme Menlu Retno Marsudi tentang Indo Pasifik jangan sampai menjadi pintu masuk atau bahkan katalisator untuk menggiring ASEAN masuk dalam pengaruh orbit AS dan blok Barat (Quad).
Oleh: Hendrajit dan Rohman Wibowo, Peneliti Global Future Institute (GFI)
Source: The Global Review