Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam. Perintah zakat merupakan salah satu yang paling sering disebut di dalam al-Qur’an. Biasanya perintah zakat itu selalu digandeng dengan perintah shalat. Salah satunya…
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ ۞
Wa aqîmush shalâta wa âtuz zakâta warka’û ma’ar râki’în
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)
Di dalam pembahasan fiqih di kitab-kitab klasik, zakat dibahas begitu panjang lebar, baik syarat-syaratnya, kategorisasinya, subyek yang berzakat serta pihak-pihak yang dizakati (mustahiqqîn). Ia menempati prioritas bahasan yang lumayan serius. Karena begitulah yang juga tertulis di dalam al-Qur’an, bahwa zakat merupakan realitas kebajikan sosial sekaligus kesalehan individual.
Kategorisasi zakat yang sedemikian ketat bagi orang Islam yang mukallaf (subyek hukum penuh) hampir mirip dengan kewajiban pajak dalam sebuah negara. Jika ada istilah PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) pada kewajiban pajak dalam sebuah Negara, maka di dalam zakat ada istilah nishab (batas minimal harta yang kena zakat).
Bahkan ada batas minimal waktu kepemilikan harta yang terkena zakat, yakni haul (satu tahun penyimpanan). Begitu teknis manajemen pemungutan zakat itu sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan realitas dari prinsip-prinsip keislaman yang dapat membentuk jiwa welas asih dan lebih peduli sosial. Karenanya, nilai aqidah seseorang dapat diukur dari caranya mengapresiasi perintah zakat ini.
Selain itu, komitmen keislaman dan keimanan seseorang dapat dikatakan sia-sia atau gugur dengan sendirinya tanpa diiringi dengan praktek berzakat. Bahkan sayyidina Umar ra. pernah memerintahkan untuk membakar rumah orang Islam yang menolak perintah zakat. Begitu seriusnya perintah zakat itu diperhatikan sehingga ia menjadi syarat keislaman dan keimanan seseorang. Dari situ dapat disimpulkan bahwa beraqidah Islam sama dengan berkomitmen pada zakat. Menolak berzakat atau bersiasat supaya terhindar dari zakat berarti menolak aqidah Islam.
Namun demikian, tak banyak dibahas tentang filosofi zakat atau zakat secara maknawi. Karena itu, kewajiban zakat menjadi kurang begitu diperhatikan oleh orang Islam, atau setidaknya banyak yang bersiasat agar dirinya terhindar dari zakat. Hitung-hitungan jumlah harta yang terkena zakat menjadi sering dipermainkan, baik secara nishâb maupun haul.
Pada prakteknya, jiwa welas asih dan mental peduli sosial tidak terbentuk sama sekali oleh perintah zakat. Belum lagi ketika dalam praktek pembagian zakat itu seringkali diembel-embeli dengan “pesan sponsor”. Walhasil, praktek zakat menjadi sama dengan promosi produk dagang atau kampanye parpol. Seorang yang berzakat jadi mirip seorang salesman atau mirip caleg parpol yang sedang kampanye. Nah, lho. Hehehee…
Ada beberapa kategorisasi praktek memberi dalam Islam seperti zakat ini, yakni infaq, shadaqah, fidyah, hadiyah, dll. Masing-masing punya persyaratan tersendiri. Singkatnya, bahwa praktek memberi yang dapat membangkitkan jiwa welas asih dan kedermawanan begitu sangat diperhatikan dalam aqidah Islam. Trus, kalau begitu, apa sih makna filosofis dari zakat itu ?
Begini, secara bahasa, zakat dapat diartikan sebagai thahârah (kesucian), shadaqah (empati), nabât (tumbuhan), numuwwah atau ziyâdah (kesuburan, pertumbuhan, perkembangan atau pertambahan), dan thayyibât (kebaikan-kebaikan). Sedangkan secara syar’ie bisa kita tengok pengertian zakat itu dari kitab-kitab fiqh klasik karangan ulama-ulama terdahulu (salafiyyun) semisal Matan Taqrib, Fathul Qarib, Kifayah, dll. Cari dan buka sendiri aja deh, pengertian syar’ie nya. Hehehe….
Maa hiyaz zakah ? Apa itu zakat? Apanya sih yang disebut zakat itu? Atau, istilah zakat itu dinisbahkan kemana sih?
Pengertian dasar zakat ternyata merupakan suatu istilah yang lebih dinisbahkan pada sesuatu yang secara perlahan tumbuh dan berkembang. Apanya sih yang tumbuh dan berkembang? Heheheee….
Ada suatu dalil yang agak aneh alias unik dan sering dipake sebagai alas hukum zakat dengan konversi pemahaman bahwa zakat adalah shadaqah wajib. Dalil itu saya katakan unik, mengapa? Coba perhatikan bunyi ayatnya…
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ۞
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. at-Taubah ayat 103)
Melalui ayat itu, Allah memerintahkan seseorang untuk “mengambil” sebagian harta dalam rangka membersihkan dan menyucikan (tuthahhir dan tuzakki). Titik inilah yang saya katakan unik. Mengapa? Ya, karena gak ujug-ujug memberi begitu saja, tapi ada yang diperintah untuk membersihkan dan menyucikan.
Pertanyaannya, siapa yang diperintahkan oleh Allah untuk membersihkan dan menyucikan itu? Jelas dan pasti, bahwa Mukhathab ayat tersebut adalah Nabi Muhammad SAW, maka seseorang yang diperintah oleh Allah SWT dalam ayat tersebut adalah Nabi Muhammad SAW.
Ayat itu saya katakan unik, karena makna zakat itu bukan sekedar mengeluarkan harta belaka, tetapi mengandung makna untuk sebuah “penyucian” dan “pembersihan”. Jadi, si pemilik harta itu tidak secara langsung membagi-bagi hartanya kepada mustahiq, tetapi lewat tangan Nabi dengan alasan bahwa Nabi-lah yang akan menyucikan jiwa si pemilik harta melalui doanya.
Ada dua pekerjaan yang diamanahkan kepada Nabi SAW menyangkut pemungutan zakat ini, yakni tuthahhir (pembersihan) dan tuzakki (penyucian). Wah, jadi gak sederhana gitu dong…?
Lha, trus, kalau di zaman sekarang ini siapa yang memegang amanah Allah untuk menggantikan peran Nabi SAW dalam hal pemungutan zakat yang bisa membersihkan dan menyucikan orang berzakat?
Jadi begini, jika ayat tersebut merujuk kepada Mukhathab (lawan bicara Allah SWT) maka yang menggantikannya ya pewaris Mukhathab. Siapa tuh? Mereka adalah para ulama yang mewarisi amanah kenabian, “al-‘ulama-u waratsatul anbiyaa..”.
Trus, apa sih yang dimaksud dengan pembersihan (tuthahhir) dan penyucian (tuzakki) ?
Begini wan…, setiap perbuatan memberi akan menimbulkan kesan-kesan tertentu dalam jiwa kita. Kesan itu bukan diarahkan kepada siapa perbuatan memberi itu ditujukan tetapi atas alasan apa. Transaksi zakat dengan Nabi SAW atau yang mewarisi kenabian akan menghilangkan kesan bahwa si pemberi zakat telah menolong seseorang.
Bukan Nabi SAW yang menerima zakat, beliau hanyalah memungut atau mediator untuk memberikan makna pada pemberian zakat seseorang. Perbuatan memberi pada sisi ini adalah realitas kesetiaan kepada Nabi SAW. Kesetiaan kepada nabi adalah komitmen terhadap perintah-perintah Tuhan. Dalam makna ini, perintah berzakat itu bukan bertujuan untuk alasan kemanusiaan, tetapi alasan ke-Tuhan-an.
Lho, kok bisa berbeda gitu ?
Lha iya, memahami peran Tuhan dalam sebuah perbuatan akan mendatangkan jiwa kemanusiaan dengan sendirinya. Namun tidak sebaliknya, alasan kemanusiaan dalam sebuah perbuatan tidak serta merta akan mendatangkan pemahaman akan ke-Tuhan-an.
Jadi, sesuatu yang tumbuh dalam perbuatan memberi adalah titik sasaran yang dibangun dalam zakat. Sesuatu yang tumbuh itu adalah kecintaannya kepada Tuhan.
Seperti pucuk pohon yang dipotong oleh petani agar si pohon menumbuhkan tunas atau cabang baru yang lebih banyak, sehingga akan menghasilkan buah yang lebih banyak pula.
Alasan inilah yang membuat jiwa seseorang berada dalam kesuciannya. Kesucian itu tumbuh hingga ia benar-benar merasakan kerinduan kepada Tuhan.
Semoga zakat kita di bulan suci Ramadhan ini dapat menumbuhkan dengan subur kecintaan kita kepada-Nya, sehingga dapat memberikan berkah yang berlimpah kepada kita semua, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb