Nampaknya cukup janggal bila hadirnya Islam di Nusantara ini karena sebab perdagangan yang di bawa oleh para pedagang dari Gujarat pada abad ke 13 M. Sebab bila motifnya perdagangan maka tak ada bedanya dengan motif geoekonomi.
Ini premis awal, bukan sebuah simpulan akhir. Mengingat pada abad ke-13 M, telah di temukan banyak makam para Sultan dari beberapa Kesultanan Islam di Aceh. Salah satu yang masyhur adalah makam Al-Malik Ash-Shalih dan makam Sultan Malik Adz-Zahir dari Kesultanan Islam Samudra Pasai.
Sehingga bila dikatakan Islam baru masuk abad ke 13 melalui jalur perdagangan nampaknya hal ini bertabrakan dengan fakta sejarah Islam itu sendiri. Sebab pada abad tersebut telah berdiri Kesultanan Islam di Pasai.
Bagaimana Islam masuk ke Spanyol yang di bawa oleh orang-orang Berber (Maroko) semisal Torik Bin Ziyad, misalnya. Nampaknya tak ada satu data pun yang menyebut Torik Bin Ziyad yang berasal dari Maroko itu hadir ke Andalus dengan tujuan berdagang.
Jika kita menilik catatan sejarah masuknya Islam di negeri Andalus tersebut, ternyata tidak bisa lepas dari kebijakan dakwah yang diterapkan oleh Penguasa Damaskus untuk mengirimkan para Da’i nya ke semua wilayah dalam rangka menyebarkan dakwah Islam untuk membangun Peradaban Manusia. Begitupula seharusnya yang terjadi dengan wilayah yang lain, termasuk di Nusantara.
Dan ternyata Maulana Malik Ibrahim yang tercatat dalam catatan sejarah sebagai orang pertama pembawa Islam di tanah Jawa juga berasal dari negeri yang sama dengan Torik bin Ziyad, yakni berasal dari Negeri Maroko.
Sekali lagi ini bukan simpulan akhir, namun baru mencoba membuka data primer berupa Inskripsi yang tertulis dalam batu nisan milik seorang besar yang bergelar Sultan Malik Adz-Zahir. Seorang Sultan yang berasal dari Kesultanan Islam Samudra Pasai.
Sultan yang selama berkuasa pernah berjumpa dengan penjelajah Muslim, Ibnu Batutah ini namanya tertulis dalam buku karya Ibnu Batutah yang disebut sebagai seorang pemimpin yang mendalam ilmunya dan sangat rendah hati.
Dalam batu nisan Sultan Malik Adz-Zahir yang juga terpahat pada banyak makam-makam lainnya Kaligrafi yang sama dengan kaligrafi inskripsi pada nisan kaki makam Sultan Malik Adz-Zahir, di mana ada informasi tentang tarikh dan mencantumkan inskripsi penggalan ayat Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 21-22, yang kurang lebih artinya:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(21). Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal,
(22). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Menurut Taqiyuddin, seorang sejarawan asal Aceh yang telah banyak melakukan penelitian tentang Inskripsi batu-batu nisan di Aceh mengatakan, bahwa untuk memahami ayat yang tertulis dalam inskripsi nisan tersebut, kita akan lebih mudah menemukan jawabannya dari ayat yang sebelumnya, dalam Surat At-Taubah ayat 20, yang kurang lebih artinya:
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”.
Lebih lanjut Taqiyuddin menjelaskan bahwa makna kandungan surat At-Taubah tak bisa dilepaskan dari sebuah sikap Baroah (berlepas diri) dari faktor ekonomi dan justru memilih menempuh jalan hidup pada ketaatan kepada Khaliknya demi pahala dan balasan Allah bagi mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya dengan jiwa dan hartanya dengan balasan kelak di akhirat berupa surga-Nya.
Data inskripsi ini seharusnya mampu menguak fakta tentang motif geopolitik oleh para Pemimpin Islam kala itu, yakni motif geospiritual yang menyertai proses Islamisasi di seluruh Dunia. Bukan karena motif ekonomi, namun karena realisasi dari ketaatan kepada perintah Allah dan Rasulnya yang tertuang dalam Al Qur’an Al Karim.
Senada dengan temuan ini, Arya Purbaya, peneliti epitaf dan tipologi batu nisan asal Aceh mengungkapkan bahwa bukan karena sebab perdagangan dengan motif ekonomi, Islam itu hadir di sebuah Negeri, seperti yang digaungkan oleh kaum imperialis.
Namun karena sebab spirit “ketaatan” kepada ayat Al Qur’an-lah proses Islamisasi itu terjadi. Batu nisan Sultan Malik Adz-Zahir ini adalah salah satu bukti primer tentang motif proses islamisasi di seluruh dunia yang seharusnya berlaku pula untuk wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arya Purbaya menyampaikan bahwa ketika kita mengkaji Sejarah Islam tanpa melibatkan inskripsi teks Arab bisa menyebabkan kita tersesat, sebab media informasi pada masa itu semuanya menggunakan teks Arab yang di tulis dengan bahasa Jawi.
Semoga bermanfaat..
Oleh: Abu Bakar Bamuzaham, Network Associate Global Future Institute (GFI)
Source: The Global Review