Hari ini kita seringkali kesulitan mencari data sejarah kondisi wilayah Nusantara sebelum masa penjajahan Belanda dan Portugis. Bagaimana kondisi ketika sebelum Portugis dan Belanda hadir di Nusantara dalam catatan sejarah Nasional kerap kali yang kita temukan selalu identik dengan keterbelakangan dan primitif.
Dan nampaknya hingga saat ini belum ada usaha dari pemerintah untuk secara serius membuka tabir gelap ini kepada masyarakat agar generasi ini mampu memahami kondisi yang sesungguhnya sebelum kaum kolonialis Belanda dan Portugis hadir di bumi Pertiwi ini.
Dan anehnya buku-buku sejarah Nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah guna memahami kondisi Nusantara masa pra penjajahan justru buku-buku hasil tulisan sejarawan Belanda yang tak lain adalah bagian dari sang penjajah itu sendiri.
Adalah rancu bila kita bertanya tentang kondisi rumah kita sebelum kemalingan kepada maling yang telah jelas-jelas mencuri rumah kita. Tentunya sang maling akan mengelak dengan mengatakan tidak ada satu barangpun yang hilang dari rumah kita. Akan sulit bagi si maling untuk mengatakan secara jujur bahwa rumah kita telah kemalingan.
Inilah keanehan yang terjadi di Negeri ini. Maling yang jelas-jelas telah mengambil semua perabot rumah kita, tetapi justru sang maling itu sendiri yang kita posisikan sebagai saksi sejarah. Tentunya sang maling akan berdalih dengan berbagai argumen yang meringankan agar tidak terjerat pasal sebagai maling.
Bukan salah Belanda bila akhirnya mereka menipu kita, tetapi justru kita yang salah karena kita telah menempatkan mereka sebagai saksi ahli dalam hal ini. Karena dengan mengambil rujukan data sejarah yang berasal dari Belanda tanpa ada kompair data dari data non Belanda, maka sama halnya kita telah memberikan ruang kepada penjajah agar mereka menipu kita.
Maka tak heran bila akhirnya Belanda menggambarkan kondisi wilayah Nusantara dengan kondisi primitif dan keterbelakangan. Dan pada kenyataanya mereka juga memiliki agenda untuk mengaburkan sejarah agar kita kehilangan identitas diri kita sendiri.
Ibaratnya maling yang telah menggasak perabot rumah kita, lalu kita mendudukan maling itu sebagai saksi yang kredibel, maka bisa ditebak keputusannya, ternyata barang kita tidak ada yang hilang tetapi kita memang tidak memiliki barang apapun sejak awalnya alias rumah itu kosong sejak awalnya sebelum para maling itu mendiami rumah kita, kata sang maling.
Pertanyaannya, apakah memang demikian kondisinya? Apakah memang rumah kita itu kosong tanpa perabot sejak awalnya?
Melalui Manuskrip Kuno karya sastra yang berjudul “Bustan Salatin” yang ditulis oleh seorang ulama asal Hindustan (India) bernama Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibn Muhammad Hamid ar-Raniri, seorang Ulama besar pada abad ke 16 M yang telah tinggal menetab lama dan fasih berbahasa melayu ini kita mendapatkan banyak bukti awal informasi tentang kondisi Nusantara, tepatnya di wilayah Aceh, mengingat Aceh merupakan wilayah Nol Kilometer pintu gerbang utama memasuki wilayah Nusantara dan Asia pada umumnya pada masa itu.
Kitab Bustan Salatin bukan satu-satunya manuskrip kuno asal Aceh yang mampu menguak misteri ini, masih banyak bahkan berjumlah ribuan manuskrip kuno Aceh yang bisa menguak tentang tingginya Peradaban Nusantara masa lalu. Tetapi melalui kitab Bustan Salatin kita disuguhi informasi tentang tingginya Peradaban Masyarakat di Kesultanan Islam Aceh Darussalam yang telah masyhur jauh sebelum Belanda dan Portugis hadir di Nusantara.
Ketinggian Peradaban itu bisa tergambar jelas dalam manuskrip Bustan Salatin, dimana pada abad itu polemik ketatanegaraan bukan sibuk mengurusi tentang tingkat ekonomi masyarakat, melainkan lebih fokus kepada tingkat peradaban intelektual masyarakatnya. Karena tingkat ekonomi masyarakat kala itu sudah tergolong masyarakat yang sangat kaya raya dengan mata uangnya Dinar Diereham.
Kitab masyhur ini sengaja di hadirkan oleh Syaikh Ar Raniri sebagai rujukan bagi para Sultan (raja-raja Melayu) setelah Sultan Iskandar Tsani, seperti Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675), Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678) sampai kepada abad ke 18 pada masa Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760), dan juga dihadirkan sebagai rujukan bagi para pemangku jabatan struktural dalam mengembangkan intelektual masyarakat, pembinaan adab para pemangku jabatan kerajaan seperti wajir, hakim, pengelola Baitul Mal hingga untuk rakyat jelata, agar tercipta masyarakat yang adil dan beradab. Tergambar jelas dalam kitab ini tentang peranan Ulama pada era ini sangat penting sebagai penjaga persatuan ummat dan semangat patriotisme.
Dalam naskah Bustan Salatin ini juga diuraikan tentang kemegahan kerajaan Aceh yang dibangun dengan mengambil inspirasi dari keindahan taman-taman surga seperti yang tertulis dalam kitab suci Al Quran.
Taman Dar as-Salam “Syahdan, di darat Balai Keemasan yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, di dalam istana ada Maligai Mercu Alam, dan Maligai Daulat Khana dan Maligai Cita Keinderaan dan Medan Khayali, dan aliran sungai Dar al-Isyki itu suatu dan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani yang amat luas. Dan pada sama tengah medan itu Gegunungan Menara Permata, tiangnya dari tembaga, dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam, dan Sulaimani dan Yamani”.
Pada bab-bab selanjutnya diuraikan tentang etika seorang pimpinan, penegakan hukum dan keadilan, sosial dan komunitas masyarakat Melayu serta patriotisme yang zuhud dan wara’.
Hikayat di dalam naskah ini tidak terlepas dari local history dan adat-istiadat yang terjadi di kehidupan masyarakat Aceh Darussalam yang majemuk, mengingat Nusantara masyarakatnya sangat majemuk.
Pada bab terakhir (bab 7) membagi pembahasan tentang bermacam tema dan topik seperti pengajaran, pendidikan, pengabdian, masalah Nisa’ atau peranan wanita dalam keluarga. Sedemikian tuntasnya pembahasan dalam Kitab Bustan Salatin ini sehingga seorang Sejarawan asal Malaysia Faizal Yusof menilai kitab kuno ini sebagai masterpiece kitab ketatanegaraan yang pernah hadir di bumi Melayu.
Sungguh sayang, kitab yang demikian masyhurnya ini kurang begitu dikenal di negeri kita sendiri, tetapi justru di negeri Jiron Malaysia dan Brunai Darussalam, hingga hari ini, kitab Bustan Salatin ini justru dipakai sebagai panduan dalam mengelola ketatanegaraan agar tercipta keadilan dan terbinanya peradaban masyarakat.
Apakah karena kita terlalu mengagungkan Belanda? Hingga kita lupa akan sejarah kita sendiri? Bahwa kita pernah menjadi Negara Hegemoni yang besar di bumi Melayu ini…
Salam..
- Oleh: Abu Bakar Bamuzaham, Network Associate Global Future Institute (GFI)
- Source: The Global Review