Dalam keisengan ber-WA, orang nampak gembira bila berhasil mengunjingkan suatu persoalan yang dikira akan hangat dan penting. Sebuah keisengan yang menyenangkan diri, seraya sambil tersenyum atau tertawa-tawa kecil. Salah satu bahan pergunjingkan yang saat ini adalah tumbuh suburnya organisasi intelektual keraton, baik sebagai lembaga tersendiri, maupun sebagai dewan pakar atau panel ahli pada organisasi keraton tertentu.
Menariknya, karena kita masih terlalu sedikit menemukan para intelektual keraton yang murni, dengan metodologi yang orisinil. Semua seolah-olah alat bedah dari epistemology barat, dan teks suci. Pertanyaan-pertanyaan sebenarnya sederhana saja ; apakah yang dimaksud sebagai “pengetahuan”, “ alam pikiran” dari perpektif keraton nusantara (?) Bagaimana pula karakternya (?) Bagaimana deskripsi, komposisi, dan ketertaikannya dengan fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari. Atau bagaimana hubungan dengan kebenara, keyakinan, dan masa depan manusia.
Sebagai Pengetahuan tentang pengetahuan, sudah saatnya Epistemologi Keraton, menemukan secara cermat, kerangka teorinya sendiri, hakekat, pengandaikan, dasar-dasarnya, pertanggungjawaban, pernyataan pernyataan yang muncul dari tubuh manusia. Ataukah ia dapat langsung beralamat pada hakekat, lapis-lapis kebenaran itu. Apakah Epstemologi keraton juga memerlukan Pancaindara, yang sebiasanya menggunakan metode induktif, deduktif, positivis, kontemplatif, dan dialektis.
Dalam filsafat barat, pengetahuan dapat diraih dengan empirisme, rasionalisme, fenomenalisme, Intusionisme dan model dialektis.
Dalam menggunakan Empirisme, ia mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, Sang Empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Akal tidak lebih dari sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Pada perspektif Rasionalisme menyatakan sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri “ain dzat” barang sesuatu tertentu. Kebenaran mengandung makna, memiliki gagasan yang sesuai dengan atau menunjuk kepada realitas tertentu., maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi sahaja.
Untuk cara pandang Fenomenalisme, Immanuel Kant telah membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme bisa dianggap benar, apabila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman –meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
Dalam pandangan Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Boleh juga, Kant masih tetap dianggap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Patut ditegaskan bahwa intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme –setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk– hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi –yang meliputi sebagian saja– yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang nampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.
Pada pandangan Dialektif, tahapan logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak beberapa kutub, atau paling kurang oleh dua kutub yang saling ikat.
Lantas, bagaimanakah agama-agama Besar beserta misi pengetahuannya, memberikan warna pada Epistemologi Keraton Nusantara (?)
Dalam berbagai besutan, paling tidak kita dipengaruhi oleh Islam, Kristen, Sanatadharma (baca : Hindhu), Budha, Zoroaster, Shinto dan Yahudi. Mereka semua berebutan untuk memberikan jalan kebenaran pada setiap manusia Indonesia, yang juga memberikan celupan (baca : sibhghah) pada struktur dan bentuk pengetahuan yang tumbuh kembang di setiap Keraton.
Sebagai awalan pencarian, apakah kita memang merumuskan methodology, mengumpulkan fakta-fakta awal, mencari korelasi antar impian, menelisik mistisisme, merumuskan pertanyaan-pertanyaan, atau juga melihat bangunan pemahaman secara orisinil dan genuine. Lagi-lagi kita akan menggunakan semiology, linguistic, arkeologi, antropology, sosiololgy, psikologi, ilmu sejarah, geologi, hermeneutika dlsb. Yang dilakukan dalam beberapa kajian akademis secara mendalam, jujur dan komprehensif.
Kita juga sering khilaf dengan menggunakan instrument kajian yang dikenalkan oleh keraton untuk memeriksa lebih dalam dirinya sendiri. Kita telah membiarkan keraton, tak lagi mampu menjelaskan dirinya sendiri (not- self explaination)
Disinilah susahnya menjadi orang Indonesia dimasa kini, yang hanya mampu menyerap pembelajaran dari Eropa (Yunani & Latin), Turkish, Persia, Sumeria, inca, maya, Aztec, Sungai Indus, Tiongkok, Jepang, dlsb. Kita lupa diajari tentang Pembelajaran penting dari Bugis, Kejawen, Sunda, Batak, Dayak, Balian, Toraja, Bajo, Melayu, Papua, dll.
Sungguh, kita berada dalam bibir jurang pengetahuan warisan nusantara. Dan bisa saja, generasi mendatang akan menuduh kita sebagai intelektual keraton yang transplantatif dan unyu-unyu, bila kita tak mampu meletakkan dasar dasar perjuangan untuk kedaultan pengetahuan nusantara di tanah air tercinta Indonesia.
Bila sekarang kita merasa kehilangan jejak, maka sudah waktunya untuk bangkit, dan kembali paham.
Wallahu’alam bissawab.
- Penulis : Gede Prama, Sejarawan Bali
- Surce : The Global Review