“Tindak kejahatan siber saat ini merupakan kejahatan yang paling banyak terjadi di masyarakat, yaitu pornografi, ujaran kebencian, serangan sistem/DDOS, akses ilegal, hacking, serta penipuan daring”.
Oleh: Kurniadi*
Tindak kejahatan siber saat ini merupakan kejahatan yang paling banyak terjadi di masyarakat, yaitu pornografi, ujaran kebencian, serangan sistem/DDOS, akses ilegal, hacking, serta penipuan daring. Kasus penipuan online ini merupakan kejahatan yang paling banyak nomor dua yang diadukan masyarakat setelah penyebaran konten provokatif.
Sejumlah korban penipuan online sering memberikan testimoni di media sosial yang menceritakan bagaimana mereka mengalami penipuan dan tidak berdaya untuk memperjuangkan haknya meskipun sudah melapor ke pihak berwajib.
Para korban sudah terlanjur transfer sejumlah uang ke rekening yang diminta penipu atau dalam kasus lain dana korban di rekening bank tiba-tiba sudah dikuras oleh pelaku kejahatan penipuan online setelah mereka mendapat telpon dari seseorang yang telah memiliki data rekening banknya.
Berdasar data Polri, per September 2020, sebanyak 28,7% kejahatan siber merupakan penipuan online. Dari 2016 hingga 2020 terdapat 7.047 kasus penipuan online atau rata-rata 1.409 kasus per tahun yang dilaporkan. Kasus yang tidak dilaporkan seperti gunung es, biasanya jauh lebih banyak.
Masalahnya, perbandingan antara jumlah total kasus dengan jumlah kasus yang ditindaklanjuti tidak berimbang. Pada semester I 2020, persentasi kasus yang ditangani hanya 36,1%. Pada 2019, jumlah kasus yang ditindaklanjuti hanya 33,57%.
Jumlah kasus penipun online berdasar nilai kerugian transaksi keuangan 2019-2020 semester I yang paling besar dengan nilai kerugian kurang dari Rp1 juta sebanyak 2.561 kasus (48,65%). Sementara jumlah kerugian lebih dari Rp10 juta mencapai 560 kasus atau 10,64% dari semua kasus.
Jadi, kasus penipuan online ini menyasar korban pada masyarakat dengan nilai kerugian transaksi yang relatif tidak besar namun kasusnya sangat banyak.
Persoalannya, dari sisi anggaran untuk mengungkap kasus hingga tuntas dibutuhan biaya besar. Kerugian transaksi keuangan yang dilaporkan kurang dari Rp1 juta, namun biaya yang ditanggung untuk melakukan proses penyidikan hampir mencapai Rp41 juta.
Persoalan lain terkait penipun online adalah penanganan yang masih parsial. Kasus kejahatan penipuan online dalam praktiknya juga terkait dengan institusi di luar Polri. Para pelaku penipuan online menggunakan nomor handphone untuk melakukan tindak kejahatan, baik digunakan untuk akses internet (aplikasi media sosial), menyebar short massage service (SMS), atau menghubungi korban secara langsung.
Sementara kewenangan pemblokiran nomor telepon dimiliki oleh Kementerian Kominfo, yang mana Kominfo tidak dapat berbuat banyak untuk menekan jumlah kasus penipuan online tersebut.
Penipuan online juga selalu terkait dengan rekening bank untuk menampung hasil kejahatan mereka. Korban mengirim sejumlah uang melalui nomor rekening yang diajukan oleh pelaku. Nomor rekening yang terindikasi melakukan kejahatan ini sebenarnya bisa langsung diblokir dan ditelisik hingga sampai pada aset keuangan dan siapa pelakunya.
Polri tidak punya kewenangan yang mendalam untuk menangani nomor rekening yang teridentifikasi melakukan kejahatan penipuan online ini. Sementara pihak PPATK, OJK dan pihak Bank tidak bisa menangani kasus penipuan ini dan dalam praktiknya cenderung tidak melakukan apa-apa. Dalam kondisi seperti itu maka kasus-kasus penipuan online makin menggila sementara penegakan hukumnya terkesan lamban bahkan sebagian besar tidak tersentuh hukum.
Penanganan kejahatan penipuan online membutuhkan keterlibatan banyak instansi terkait seperti Polri, Kominfo, OJK, PPATK, Bank Indonesia, dan perusahaan jasa keuangan. Yang terjadi sekarang ini kasus-kasus penipuan online semakin marak terjadi namun penegakan hukumnya sangat lemah karena pihak-pihak terkait belum mampu melakukan kerjasama yang sinergis. Masing-masing instansi menangani kasus-kasus penipuan online dengan upaya sendiri-sendiri.
Provider gamang dalam melakukan blokir nomor telepon pelaku karena verifikasi permintaan blokir dari korban belum berjalan dengan baik. Pihak Kominfo terlihat lemah dalam melakukan kontrol terhadap pelaku penipuan online. Begitu pula Bank Indonesia tidak mampu melanjutkan proses hukum lebih lanjut.
Langkah bank terlambat dalam mengambil keputusan pemblokiran transaksi mengakibatkan pelaku telah mengambil hasil kejahatan atau melakukan pencucian uang terlebih dahulu. Sehingga seringkali kasus penipun online sukses lebih cepat ditutupi oleh pelaku daripada tindakan instansi terkait.
Cara kerja penegakan hukum kasus pidana penipuan online yang ada saat ini adalah seperti tergambar seperti bagan di bawah ini.
![]() |
Cara kerja penegakan hukum kasus pidana penipuan online |
Satu Atap Database Pelaporan
Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis menyarankan untuk melakukan penegakan hukum dan pencegahan (preventif) tindak kejahatan penipuan online maka perlu dilakukan kerjasama satu atap sistem database pelaporan aduan masyarakat atas kasus-kasus penipuan online.
Kerjasama sinergitas antar instansi juga perlu dipayungi Surat Keputuan Bersama antara Polri, Kominfo, OJK, PPATK, Bank Indonesia, dan perusahaan jasa keuangan untuk membentuk Satgas Penipuan Online.
Bagan kerja Satgas Penipuan Online ini sebagai berikut:
![]() |
Bagan kerja Satgas Penipuan online |
Solusi dan konsep yang ditawarkan sesuai bagan di atas adalah sebagai berikut :
Pertama, integrasi data pelaporan dari masyarakat dalam satu database yang berasal dari Polri, Kominfo dan Perusahaan Jasa Keuangan (OJK). Dengan database ini tentunya bisa dianalisa bahwa benar aduan-aduan tersebut adalah kejahatan penipuan online.
Kedua, dari analisis database tersebut akan ada dua langkah tindakan, yaitu blokir nomor telepon pelaku dan blokir nomor rekening pelaku. Langkah ini perlu dilakukan untuk menekan ruang gerak pelaku atau komplotan semakin menyempit. Langkah selanjutnya Polri bekerjasama dengan PPATK dan OJK serta Perusahaan Jasa Keuangan melakukan penelusuran asset dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ketiga, penegakan hukum terhadap para pelaku penipuan online juga harus dilakukan pengambilalihan aset untuk dikembalikan kepada korban penipuan (asset recovery). Pengembalian aset ini dapat dilakukan yang ketentuannya sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidanan Pencucian Uang.
Dengan adanya sinergitas antar instansi terkait maka diharapkan penengakan pidana hukum terhadap para pelaku penipuan online dipastikan akan dapat ditangani dengan efektif. Para pelaku penipuan online yang saat ini sangat marak akan dapat diredam sekaligus dicegah (preventif).
__________________
*Mahasiswa Program Doktor Hukum UNDIP Semarang
Source: Bisnis Indonesia