بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, bersyukur adalah sebuah ‘pintu’ bertambahnya nikmat. Allah SWT tegaskan hal itu di dalam firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ ۞
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Salah satu cara paling efektif untuk bisa menikmati dan merasakan kebahagiaan dalam hidup ini adalah dengan bersyukur. Ya, bersyukur adalah kunci kebahagiaan.
Seseorang yang selalu mensyukuri nikmat, sekecil apa pun nikmat yang ia dapatkan, akan mudah merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, seseorang yang tidak pandai bersyukur, atau dengan kata lain kufur nikmat, mengingkari nikmat Allah, sebesar apa pun nikmat yang ia dapatkan, tidak akan dapat merasakan kebahagiaan.
Dia akan terus merasa kurang, meski beragam nikmat datang bertubi-tubi kepadanya. Alih-alih mengucapkan kalimat “Alhamdulillâh” sebagai wujud rasa syukurnya, dia justru terus menerus mengeluh dan menggerutu. Tidak tampak sedikit pun perasaan bahagia dalam dirinya.
Padahal, Allah SWT jelas-jelas menegaskan dalam salah satu firman-Nya, sebagaimana saya kutip di awal tulisan ini, bahwa siapa saja yang bersyukur akan ditambah nikmatnya. Sedangkan siapa saja yang tidak pandai bersyukur akan mendapat siksa atau adzab dari-Nya.
Orang yang tidak pandai bersyukur ketika diberi nikmat yang sedikit, maka ketika dia diberi nikmat yang banyak akan bersikap sombong. Dan sikap sombong ini menjadi awal kehancuran seseorang.
Wujud rasa syukur paling sederhana adalah dengan mengucapkan kalimat “Alhamdulillâh”, segala puji bagi Allah. Kemudian rasa syukur ini dapat kita kembangkan dengan berbagi kebahagiaan terhadap sesama.
Misalnya, kita baru saja mendapat karunia berupa keuntungan yang cukup besar dalam bisnis kita. Maka, cara bersyukurnya, selain mengucap “Alhamdulillâh” juga kita iringi dengan berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Caranya, kita berikan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti fakir, miskin, anak yatim dan yang lainnya. Kita juga bisa memberikan sumbangan kepada pembangunan masjid, panti asuhan, lembaga pendidikan dan sebagainya. Inilah wujud rasa syukur yang sesungguhnya.
Dalam kitab Mukâsyafat al-Qulûb, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur itu mencakup tiga hal: Pertama, meyakini bahwa nikmat itu berasal dari Allah; kedua, mengucapkan kalimat syukur “Alhamdulillâh” dengan lisan; dan ketiga, menggunakan nikmat Allah itu di jalan yang diridlai-Nya.
Secara pribadi, rasa syukur juga bisa kita tunjukkan dengan meningkatkan kinerja kita. Kita terus mengembangkan usaha kita dengan tetap bersandar kepada nilai-nilai ajaran agama. Harapan kita, Allah terus menambah nikmat kita, sehingga kita bisa berbuat baik lebih banyak kepada sesama.
Rasa syukur harus terus kita pupuk. Karena sesungguhnya setiap hari kita selalu dilimpahi nikmat oleh Allah SWT. Sejak kita bangun tidur hingga kita tidur kembali, curahan nikmat Allah tak pernah berhenti.
Bukankah udara yang kita hirup adalah sebuah nikmat yang luar biasa. Bukankah aneka makanan dengan beragam bentuk dan rasa yang kita makan, aneka jenis minuman yang kita minum adalah nikmat yang sangat besar. Bukankah kaki yang kita gunakan untuk melangkah, mata yang kita gunakan untuk melihat, teling untuk mendengar, mulut untuk berbicara, kesemuanya adalah nikmat Allah yang tak terhingga nilainya?
Bayangkan jika seluruh panca indera kita tidak berfungsi dengan baik, kita tentu akan merasakan sulit menjalani hidup ini. Inilah nikmat yang seringkali kita lupakan.
Maka tepat sekali pertanyaan yang Allah ajukan kepada kita dalam QS. Ar-Rahman [55]: 13 dan beberapa ayat berikutnya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ۞
Dalam ayat lain ditegaskan, “Dan jika kamu hendak menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim [14]: 34)
… وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوهَا … ۞
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan lima prinsip sikap syukur; pertama, tunduk kepada Yang Memberi Nikmat; kedua, senantiasa cinta kepada-Nya; ketiga, menyadari bahwa nikmat itu datang hanya dari Allah; keempat, senantiasa memuji Allah atas anugerah-Nya; dan kelima, hanya melakukan aktivitas yang diridhai Allah, dan tidak melakukan maksiat.
Kelima prinsip dasar sikap syukur itu dapat diringkas menjadi tiga bentuk syukur, yaitu: (1). Syukur Qalbi; mengakui nikmat-nikmat Allah dan mencintai-Nya. (2). Syukur Lisan, memuji Allah atas segala karunia-Nya. (3). Syukur Jawarih, menggunakan nikmat dalam rangka memperoleh keridhaan-Nya.
Wâllahu A’lam,
Source: Dinukil dari naskah buku “Berbahagialah; Pesan Al-Qur’an Menggapai Kebahagiaan Hakiki“, Syeikh Nurjati