“Diri kita yang ini adalah hasil bentukan dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita.”
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Ar-Risalah Pembuka Hijab
Saudaraku, sesungguhnya membuka hijab-hijab diri adalah kewajiban bagi umat yang mengklaim dirinya sebagai orang mukmin. Mengapa demikian? Karena tanpa mengenal diri kita yang sejati maka kita akan tersesat dalam peribadatan, amal perbuatan sebaik apapun akan tercecer pada tempat yang semestinya.
Diri kita yang sejati sesungguhnya bukan diri kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog. Diri kita yang ini —yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang lain— sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan, orangtua, pemikiran, norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing. Dengan kata lain, diri kita yang ini adalah hasil bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita. Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”. Diri kita yang ini, meski unik, adalah diri yang semu. Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, sebenarnya.
Sementara, yang dimaksud dan dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.
Nafs-lah (jamak: anfus, jiwa-jiwa) yang dipanggil dan disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb-nya.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ ۞
“Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab: “Betul, sungguh kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini.” (Q.S. Al-A’rãf [7]: 172).
Nafs kita sudah ada bahkan sebelum alam semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan dan semua gagasan yang menyertainya —dan semua dinamika psikis yang terkait dengannya— akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.
Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa. Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.
Nafs sendiri berbeda dengan hawa nafs, atau yang biasa kita sebut hawa nafsu. Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah “hawa dari nafs”: hanya sekadar “hawa keinginan” dari jiwa. Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita, sehingga kehendak hawa nafsu tidak mudah dibedakan dari kehendak jiwa.
Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala dinamika psikis maupun psikologisnya. Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri kita masing-masing. Jiwa, namun bukan sembarang jiwa. Jiwa yang dimaksud sebagai diri manusia yang sejati adalah jiwa yang sudah terbebas dari dominasi hawa nafsunya, dari ikatan keduniawian, maupun dari daya-daya syahwati jasadnya. Nafs yang telah terbebas dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya inilah yang disebut “nafs yang tenang”.
Nafs yang tenang ini dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah”. Sebagaimana permukaan air yang telah tenang, pada kondisi nafs yang telah tenang inilah ia bisa melihat kembali pengetahuan tentang siapa dirinya, untuk apa dia diciptakan dan apa tugasnya —semua pengetahuan yang pernah Allah tanamkan kepadanya— pun akan terbuka kembali dan tampak dengan jelas baginya.
Gus Mukhlason dalam ceramahnya mengungkapkan:
Gus Mukhlason dalam ceramahnya itu telah mengungkapkan makna Ayat Al Qur’an:
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ ۞
Wallâhu khalaqakum wa mâ ta‘malûn
“Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu“. (Q.S. Ash-Shãffãt [37]: 96)
Ambillah kesimpulan secara bijak untuk dapat menjawab siapakah diri kita, siapa yang menggerakkan amal perbuatan kita, siapa pula yang akan menampung hasil perbuatan-perbuatan kita? Dengan jawaban yang tepat maka akan tercapailah kebahagiaan kita karena telah bertemu dengan Sang Maha Pencipta berikut karya-karya agungNya.
Nafs-lah yang dahulu mempersaksikan diri kepada Allah, berbicara dengan-Nya dan menerima seluruh pengetahuan untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus kita laksanakan di dunia. Sedangkan diri kita yang jasad —termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis, dan psikologisnya— sesungguhnya hanya kendaraan bagi sang jiwa untuk melaksanakan perannya di alam fisik ini. Diri kita yang ini usianya terbatas. Kelak, ia akan hancur menjadi tanah.
Untuk lebih mengenal NAFS kita yang penuh kesucian alangkah bijaknya mencari guru Mursyid untuk membimbing agar kita tidak terperangkap pada vonis sebagai penganut ajaran Wihdatul Wujud.
Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai umat yang beriman, umat yang dicintai Allah baik di dunia maupun di akhirat. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
_____________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita