Home / Agama / Kajian / Mengenal Pemikiran Madzhab Ja’fariyah

Mengenal Pemikiran Madzhab Ja’fariyah

“Imãm Ja’far ash-Shãdiq merupakan pendiri dari Madzhab Ja’fariyah. Dilahirkan tahun 80 H., dan wafat tahun 148 H. Sebutan Imam dan Shadiq, keduanya merupakan gelar kehormatan karena kedalaman dan keluasan ilmunya serta kejujurannya.”

Oleh: Safriadi*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Abstrak: Penelitian ini mengangkat tentang pemikiran fiqh Imam Ja’far ash-Shiddîq (ash-Shãdiq) untuk melacak perkembangan Madzhab Ja’fariyah. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dan pengumpulan data dilakukan dengan mengkaji buku dan kitab tentang Fiqh Ja’fari, Ushul Fiqh Ja’fariyah dijadikan sebagai bahan primer, dan buku-buku yang lainnya yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini sebagai bahan sekunder, sehingga pola ini berbentuk kualitatif. Di samping itu, analisis yang penulis gunakan adalah analisis deskriptif. Dari hasil penelitian ini ditemukan kesimpulan bahwa Imam Ja’far ash-Shãdiq merupakan pendiri dari Madzhab Ja’fariyah. ia dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah dan diwafatkan pada tahun 148 Hijriyah. Pemberian gelar Imam dan Shadiq kepadanya dikarenakan: Pertama, Imam Ja’far dikenal dengan orang yang benar-benar Shãdiq, jujur dalam ucapannya dan perbuatannya, tidak dikenal dari diri Ja`far selain sifat shidq (jujur, benar).  Kedua, karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Sedangkan sumber hukum madzhab ini adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Akal. Dalam hal fiqh, mazhab ini sangat dekat dengan fiqh Ahl Sunnah (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah). Hanya terdapat 17 perbedaan saja antara Ja’fariyah dengan 4 Madzhab Ahl Sunnah. Salah satu yang paling utama perbedaan itu adalah masalah menghalalkan nikah mut’ah. Ahl Sunnah seluruhnya sepakat bahwa
nikah mut’ah itu haram dan tidak ada bedanya dengan zina.

Kata kunci: Imam Ja’far, Mazhab Ja’fariyah

Abstract: This study raises about the fiqh thinking of Imam Ja’far Asshiddiq (tracing the development of the ja’fariyah school). In this research, the author uses library research, and data collection is done by reviewing books and books about Fiqh Ja’fari, ushul fiqh Ja’fariyah is used as primary material, and other books related to the discussion of this research as secondary material, so this pattern is qualitative. In addition, the analysis that the author uses is descriptive analysis. From the results of this study, it is concluded that Imam Ja’far Asshadiq is the founder of the Ja’fariyah school. he was born in 80 Hijri and died in 148 Hijri. The titles Imam and Shadiq were given to him because: Firstly, Imam Ja’far was known to be a truly shadiq (truthful) person, honest in his words and deeds, nothing was known from Ja’far other than the trait of shidq (honest, truthful). Secondly, because of the depth and breadth of his knowledge. The sources of law of this madhhab are the Qur’an, Sunnah, Ijma’, and Reason. In terms of fiqh, this school is very close with only 17 differences with the fiqh of the sunnah experts (Hanafiyah, Malikiyah, Shafi’iyah, and Hambaliyah). One of the most important of these is the issue of legalizing mut’ah marriage. Ahl as-Sunnah all agree that mut’ah marriage is haram and no different from adultery.

Keyword: Imam Ja’far, Ja’fariyah Mazhab

PENDAHULUAN

Islam sebagai ajaran telah diturunkan ke muka bumi selama lebih dari lima belas abad. Ajarannya tersebar luas, menerobos ruang dan waktu: dari tanah kelahirannya di Timur-Tengah hingga kedataran Asia, Eropa, Afrika dan Amerika, sesuai dengan prinsip Islam sebagai agama yang kontekstual (Shãlihul likulli Zamãnin wa Makãnin).[1]Sesuai dengan keadaan masa dan tempat, sebagaimana karakteristik dari hukum Islam. Selanjutnya baca Hasbi Asshiddiqie, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001), hal.91-104

Terdapat dua dimensi dalam memahami Islam dan lebih khusus hukum islamnya. Pertama, hukum islam berdimensi ilahiyah yang kita yakini bersumber dari Allah SWT. Dalam dimensi ini kita meyakini bahwasanya hukum Islam adalah ajaran yang suci. Pengertian seperti ini dalam hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang cakupannya sangat luas, bukan hanya masalah hukum tapi juga segala permasalahan yang ada baik teologi, hukum, dan akhlak. Kedua, hukum Islam berdimensi Insaniyah.

Dalam dimensi kedua, hukum Islam merupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami ajaran yang dinilai suci. Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai hasil pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal dengan ijtihad atau pada tingkat yang lebih teknis disebut istinbãth al-ahkãm.

Dalam sejarah, hukum islam yang berdimensi kedua, melahirkan berbagai istilah, diantaranya adalah fiqh. Fiqh sebagai hasil pemikiran tidaklah bersifat statis, karena kebutuhan manusia adalah sesuatu yang tak terbatas, dan fiqh juga harus terus berkembang guna memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini bisa kita lihat melalui perkembangan istilah fiqh sendiri yang pada masa awal Islam dipakai sebagai istilah yang mencakup semua aspek permasalahan agama, akhirnya menjadi satu disiplin ilmu yang khusus membahas tentang hukum-hukum ‘amali.[2]Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, Cet II, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), hal 3-4.

Fiqh Islam seperti yang kita kenal sekarang sebagai satu disiplin ilmu yang eksklusif dalam permasalahan hukum tidaklah muncul sekaligus, tapi fiqh islam berkembang secara bertahap dan periodik sampai menjadi satu disiplin ilmu yang khusus. Adalah karakteristik fiqh, bahwa ia muncul tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya, tetapi telah juga menyiapkan suatu warisan berharga untuk pembangunan hukum masa depan, karena fiqh merupakan argumen teoritis dari ilmuan dalam suatu jangkauan yang panjang.[3]Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: sebuah Pengantar, Cet I, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal 19.

Diantara mazhab fiqh yang berkembang di dunia Islam adalah mazhab Ja’fariyah. Mazhab ini dikembangkan dan menjadi rujukan utama tentang dari kalangan Syi’ah Imamiyah, pemahaman kelompok Syiah ini sangat dekat dengan Sunni.[4]Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu, Jld.I, (Bairut:dar Alfikr, t.t), hal. 44 Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada kewajiban berimam yang menurut mereka harus maksum, memegang nash sebagai sumber hukum dan kemudian menggunakan akal sebagai alat berijtihad yang menurut mereka tidak pernah tertutup.[5]M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002),

Syi’ah Imamiyah disebut juga Syi’ah dua belas.[6]Kata Imamiyah dinisbatkan kepada orang yang mempercayai wajibnya adanya Imam, serta percaya pada ketetapan nash (teks) dari Rasulullah bahwa Imam ‘Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Fiqh Imamiyah dinamakan fiqh Ja’fari, karena murid-murid Imam Ja’far Ash-Shadiq menulisnya dari beliau sebanyak 400 karangan, yang kemudian diberi nama Al-Ushul al-Arba’umiyah, yang kemudian dihimpun dalam empat buah buku, yaitu AL-Kafi, Man La Yadurruhu Faqih, Al-Istibshar, dan Al-Tahzib. Buku-buku ini merupakan referensi yang paling penting untuk mengetahui hadits-hadits tentang hukum-hukum menurut Imamiyah. Selnajutnya baca Muhammad Jawwad Almugniyah, Fikih Lima Mazhab, Terj. Mansyur, dkk, (Jakarta:Lentera, 2000), hal. xxii. Mereka disebut Syi’ah dua belas karena mempunyai dua belas imam nyata, tidak ada imam lain yang wajib diikuti, melainkan hanya imam yang dua belas itu. Kedua belas Imam itu adalah Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali Zain al Abidin,  Muhammad al Baqir, Ja’far Shadiq, Musa al-Khazim, Ali al Ridha, Muhammad al Jawwad, Ali al Hadi, Hasan al Askariy, dan Muhammad al Mahdi.

Dalam sejarah pembentukan hukum, para fuqahã membagi tasyrî’ hukum ke dalam dua madzhab fiqh yang memiliki aliran yang berbeda yaitu Alkhulafã dan Ahlu Bait. Kedua aliran ini saling berbeda dalam menafsirkan Alqur’an, memandang Hadits, dan dalam melakukan penggalian hukum. Dari kedua aliran besar inilah lahir berbagai macam madzhab fiqh. Sekarang yang paling terkenal adalah lima madzhab fiqh. Mengikuti kronologi lahirnya Imam madzhab, kelima madzhab yang dimaksud adalah Ja’fari berasal dari aliran Ahli bait, dan madzhab yang empat yang berasal dari aliran Alkhulafã, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Melihat kepada kenyataan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai perkembangan pemikiran fiqh dari madzhab Ja’fariyah ini[7]Pemakaian istilah Fiqih Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi fiqih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atau Mazhab Hanafi, misalnya, dalam fiqih Sunni. Kedua nama Mazhab Sunni itu menunjuk pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab tersebut. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari. Istilah itu sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far Shadiq. Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far Shadiq, demikian pula kesebelas imam lainnya, yaitu (berturut dari imam pertama sampai imam terakhir) Ali Ibn Abi Thalib, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kadzim, Ali Ridha, Muhammad Jawad, Ali Hadi, Hasan Askari, dan Muhammad Mahdi, bukan seorang mujtahid, tapi imam yang memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum,tasyri’ al-hukm. Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya merasa perlu menjelaskan masalah ini lebih lanjut..

PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Imam Ja’far Asshiddiq

Ja’far Asshadiq nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahra binti Rasulullah lahir di Madinah pada tahun 699 Masehi atau pada tahun 80 Hijriyah dari rahim Ummu Farwa, yang merupakan cucu dari Muhammad bin Abi Bakr, salah seorang putra dari Abu Bakar as Siddiq, Khalifah Rasyidin pertama dalam Islam versi Sunni. Ia diwafatkan pada tahun 148 H, atau pada tahun 765 Hijriyah.[8]Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Jld.I, (Bairut:dar Alfikr, t.t), hal. 44, dan lihat Abdurrahman Syarqawi, Aimmah Fiqh Sunnah, (Libanon: Dar Iqra’, 1980), hal. 34 Ia merupakan sosok ulama yang bekerja keras untuk menjembatani kesenjangan antara aliran-aliran dalam Islam. Tak heran jika Syiah dan Sunni, Sufi dan Salafi, tradisionalis dan modernis mengklaim beliau sebagai milik mereka.

Imam Ja’far dikenal dengan orang yang benar-benar shãdiq, jujur dalam ucapannya dan perbuatannya, tidak dikenal dari diri Ja`far selain sifat shidq (jujur, benar), karena itu digelar ash-shãdiq. Dia juga digelari al-imãm karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Ia menimba ilmu dari para sahabat besar seperti Sahl bin Sa`ad As-Sa`idi dan dari ulama tabi`in seperti Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Urwah bin Az-Zubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Abdullah bin Abu Rafi` dan Ikrimah Mawla bin Al-Abbas Radhiyallãhu ‘anhum.

Menurut Ahlu Sunnah[9]Ahlussunnah yang dimaksudkan disini adalah golongan Asy’ariyyah dan Matturidiyah, sebagaimana pendapat al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin bahwa “idha utliqa Ahlussunnah, falmuradu bihi Asy’ariyyah wa Matturidiyah”., Imam Ja’far dianggap sebagai seorang mujtahid dalam ilmu fiqh, dimana ia sudah mencapai ke tingkat ladunni, ia dianggap sebagai sufi ahli sunnah oleh pengikutnya, dan ia dijadikan awal atau sumber dari silsilah thariqat, karena ia dianggap sebagai tempat puncak pengetahuan dan darah nabi yang suci.[10]Hal ini bisa dilacak yakni Imam Ja’far merupakan silsilah awal dalam thariqat yang berkembang di Aceh, baik itu thariqat Naqsyabandiyyah, Haddadiyyah, Shattariyyah, dan lain-lain.

Kecakapan Imam Ja’far dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan diakui oleh seluruh dunia Islam, yang menarik pelajar-pelajar dari berbagai penjuru, dekat dan jauh, datang kepadanya sehingga murid-murid Imam Ja’far mencapai sekitar empat ribu. Para ‘ulama dan fuqaha dalam bidang hukum banyak menukil hadis-hadis dari Imam Ja’far Shadiq. Murid-muridnya mengadakan kompilasi ratusan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan sastra. Selain ilmu fiqh, hadis, tafsir, dan sebagainya, Imam juga mengajarkan matematika dan kimia kepada beberapa orang muridnya. Jabir bin Hayyan Tusi, seorang ilmuwan matematika ternama, merupakan salah seorang murid Imam yang dapat mengambil manfaat dari ilmu dan bimbingan Imam dan mampu menulis empat ratus kitab dalam subjek yang beragam.

Kenyataan ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak dapat diingkari kebenarannya sehingga seluruh ulama-ulama besar Islam berhutang budi atas kehadiran Ahlulbait yang merupakan mata-air ilmu dan pelajaran.

Imam mempersembahkan seluruh hidupnya semata untuk menyebarkan ajaran agama dan mendakwahkan ajaran-ajaran Nabi Saw dan tidak pernah bermaksud untuk berkuasa. Karena keluasan ilmunya dan kebaikan ajarannya, orang-orang berkumpul di sekelilingnya, memberikan penghormatan dan perhatian kepadanya. Karena takut popularitas Imam Ja’far semakin luas, hasud dan dengki menguasai diri penguasa Abbasiyah Mansur Dawaniqi sehingga memutuskan untuk mengenyahkannya.

B. Prinsip-prinsip Mazhab Ja’fariyah

Adapun yang menjadi prinsip-prinsip fiqh Imam Ja’far, antara lain:

1. Dalam masalah penggunaan dalil-dalil fiqih, mereka memilih hanya menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahlu bait saja. Sikap mereka ini mirip dengan mazhab teman mereka, yaitu mazhab Az-Zaidiyah yang juga menolak semua hadits riwayat para shahabat selain ahlu bait. Mereka punya kitab hadits khusus yang berjudul Al-Kafī fi ilm al-dīn, susunan Al-Kulainiy (Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq Al-Kulainiy Ar-Razy -328 H), berisi 60.099 hadits hadits yang semuanya diriwayatkan dari jalur ahlu bait. Di dalam kutubussittah termasuk shahih Bukhari dan Muslim, hadits-hadits ini juga ada termuat dengan dinomorkan dengan nomor Zaid.

2. Mereka mengedepankan ijtihad namun menolak qiyās yang tidak disertai nash tentang ‘illat-nya.

Tahap kedua dimulai sejak masa ghaibnya Imam Mahdi, atau sekitar paruh pertama abad keempat hijriyah hingga paruh pertama abad kelima. Periode ini adalah masa keemasan bagi penyusunan hadis, dengan kemunculan para muhaddits dan faqih besar Syiah, diantaranya Syekh Kulaini dan Syekh Shaduq. Kitab-kitab kumpulan hadis yang ditulis pada masa ini menjadi rujukan Syiah sepanjang masa.

3. Mengingkari ijma’ kecuali bila di dalam ijma’ itu ada imam yang ikut serta.

4. Rujukan dalam semua masalah fiqih hanya terbatas kepada ulama dari imam mereka saja.

C. Metode Istinbāṭ Madzhab Ja’fariyah

Adapun yang menjadi dasar madzhabnya adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Akal. Sedangkan perbedaan antara mazhab Ja’fari dengan mazhab yang lain adalah:[11]Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqh, (Bandung: Mutthahhari Press, 2002), hal. 182

  1. Menolak kehujjahan qiyas
  2. Sumber hukum syar’i adalah Alqur’an dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahli bait, yakni para imam yang ma’sum. Mereka tidak mau menjadikan hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para shahabat yang memusuhi ahlu bait.
  3. Istiḥsān tidak boleh dipergunakan. Qiyās hanya dipergunakan bila illatnya manshus (terdapat dalam nash). Pada hal-hal yang tidak terdapat ketentuan nashnya, digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu.
  4. Alqur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan dari Alqur’an jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena Rasulullah dan para imam adalah orang yang mengetahui rahasia-rahasia Alqur’an, penafsiran yang paling absah adalah berasal dari mereka.

D. Kontribusi Madzhab Ja’fariyah Dalam Fiqh

Diantara contoh-contoh ijtihad mazhab Ja’fariyah adalah sebagai berikut:

a. Tidak boleh sujud diatas apa yang selain tanah dan tumbuh–tumbuhan (rumput). Jadi, tidak sah shalat kalau sujud diatas wol, kulit dan lain–lain.

Mereka sujud di atas tanah, debu, kerikil, atau di atas batu dan apa saja yang termasuk bagian dari bumi atau tanah dan yang tumbuh di atasnya, seperti tikar yang bukan terbuat dari kain dan bukan pula yang dimakan, dan yang manis. Karena ada banyak  tiwayat di dalam sumber-sumber Syi’ah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan Rasul SAW adalah sujud di atas debu atau tanah, bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk mengikutinya.[12]Abu Bakar Atjeh, Ilmu Fiqh Dalam Lima Mazhab, (Jakarta: Islam Research Institute, 1977), hal. 43

Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas surban (ammamah), karena takut akan panas yang menyengat. Maka Nabi menarik ammamah dari dahinya dan berkata: “Ratakan dahimu dengan tanah wahai Bilal!”. Begitu juga, Nabi pernah mengatakan pada Shuhaib dan Rabah dalam sabdanya: “Ratakan wajahmu wahai Shuhaib dan ratakan pula wajahmu wahai Rabah!”.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Bukhari dan lainnya, Nabi SAW juga bersabda: “Bumi atau tanah ini telah dijadikan untukku sebagai tempat sujud yang suci”.

Oleh karena sujud dan meletakkan dahi di atas tanah tatkala sujud merupakan hal yang paling layak dihadapan Allah SWT karena hal itu menghantarkan kepada kekhusyukan dan sarana terdekat untuk merendahkan diri di depan Tuhan, juga dapat mengingatkan manusia akan asal wujudnya. Yang menjadi acuan pendapat ini adalah al-Qur’an surat Thãhã ayat 55:

مِنْهَا خَلَقْنٰكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى ۞

Darinya (tanah) itulah Kami menciptakanmu, kepadanyalah Kami akan mengembalikanmu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkanmu pada waktu yang lain.” (QS. Thãhã [20]: 55)

Sesungguhnya sujud adalah puncak ketundukan yang tidak bisa terealisir dengan sujud di atas sajadah, karpet atau batu-batuan permata yang berharga. Puncak ketundukan itu hanya terealisir dengan meletakkan anggota badan yang paling mulia yaitu dahi, di atas benda yang paling murah dan sederhana, yaitu tanah. Debu tersebut harus suci. Orang-orang Syi’ah selalu membawa sepotong dari tanah yang sudah dipadatkan dan sudah jelas kesuciaannya. Mungkin juga tanah ini diambil dari tanah yang penuh berkah, seperti tanah Karbala. Di sanalah Imam Husain (cucu Rasulullah SAW) gugur sebagai syahid sehingga tanah itu penuh berkah. Sebagaimana sebagian sahabat Nabi menjadikan batu Mekkah sebagai tempat sujud dalam perjalanan-perjalanan mereka dan untuk mendapatkan berkahnya.

Meski demikian, madzhab Ja’fariyah tidak memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya sebagai suatu keharusan. mereka hanya membolehkan Sujud diatas batu apa saja yang bersih dan suci seperti lantai masjid Nabawi yang mulia dan lantai Masjidil Haram. Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) sewaktu shalat, karena Nabi SAW tidak pernah melakukan hal itu, juga karena tidak ada nash yang kuat dan jelas yang menganjurkan hal itu. Karenanya, penganut madzhab Maliki tidak melakukan sedekap tersebut.

b. Istinja’ dengan batu khusus pada buang air besar saja, tidak boleh digunakan istinja’ dari buang air kecil.

c. Tidak sah mengusap kepala dalam wudhu kecuali dengan sisa air yang masih melekat ditangan ketika membasuh kedua belah tangan. Ketika orang berwudhu membasahi lagi tangannya untuk mengusap kepalanya, maka wudhunya tidak sah meskipun ia telah mengelap tangannya, ia harus mengulangi wudhunya.[13]Muhammad Jawwad Almugniyah, Fiqh…, hal 27

d. Laki-laki berzina dengan perempuan yang masih mempunyai suami, maka haram selama-lamanya baginya untuk menikahinya, meskipun suaminya telah menceraikannya.

e. Membolehkan nikah Mut’ah.

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti senang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya sebelum meninggal dan berakhirnya masa nikah mut’ah itu.

Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada ‘iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.

f. Mengharamkan nikah dengan wanita kitãbiyah.

Fikih Ja’fariyah lebih dekat kepada mazhab Imam Syafi’i, namun ada beberapa pendapat yang berbeda dengan golongan ahlu sunnah, diantaranya:

  1. Pendapat kebolehan nikah mut’ah
  2. Wajib mempersaksikan pada ketika mentalak istri
  3. Keharaman menikahi kaum nasrani dan yahudi
  4. Didahukan kewarisan anak laki-laki paman sekandung daripada paman se-ayah
  5. Tidak disyari’atkan menyapu dua sepatu
  6. Tidak disyariatkan membasuh dua kaki ketika berwudhu’
  7. Menyebutkan ketika azan lafad asyhadu anna ‘Aliyan waliyullah.[14]14Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam…,hal. 44

E. Perbedaan Pola Istinbāṭ Madzhab Ja’fariyah dengan Madzhab Lain

Berikut ini penulis paparkan mengenai perbedaan corak pemikiran dan sumber istinbāṭ hukum dari lima mazhab dan negara-negara yang berkembang pamahaman mazhab tersebut.

Pemetaan Perbedaan Pola Istinbāt Madzhab Ja’fariyah dengan Madzhab Lain

F. Perkembangan Mazhab Ja’fariyah

Kecakapan Imam Ja’far dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan diakui oleh seluruh dunia Islam, yang menarik pelajar-pelajar dari berbagai penjuru, dekat dan jauh, datang kepadanya sehingga murid-murid Imam Ja’far mencapai sekitar empat ribu. Para ulama dan fuqaha dalam bidang hukum banyak menukil hadis-hadis dari Imam Ja’far Shadiq. Murid-muridnya mengadakan kompilasi ratusan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan sastra. Selain ilmu fiqh, hadis, tafsir, dan sebagainya, Imam juga mengajarkan matematika dan kimia kepada beberapa orang muridnya. Jabir bin Hayyan Tusi, seorang ilmuwan matematika ternama, merupakan salah seorang murid Imam yang dapat mengambil manfaat dari ilmu dan bimbingan Imam dan mampu menulis empat ratus kitab dalam subjek yang beragam.

Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Bani Umayyah dan awal dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan ‘aqliyyah (intelektual) dan naqliyyah (agama) seperti:

  1. Zararah,
  2. Muhammad bin Muslim,
  3. Mukmin Thaq,
  4. Hisyam bin Hakam,
  5. Aban bin Taghlib,
  6. Hisyam bin Salim,
  7. Huraiz,
  8. Hisyam Kaibi Nassabah, dan
  9. Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, ahli kimia (di Eropa dikenal dengan nama Geber).

Bahkan beberapa ulama terkemuka Sunni yang pernah menjadi murid dari Imam Ja’far seperti: Sofyan ats-Tsauri, Imam Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi), Qadhi Sukuni, Qadhi Abu Bakhtari, dan Imam Malik bin Anas (pendiri Madzhab Maliki).

Kitab–kitab ushul fiqh dalam madzhab Syi’ah Imamiyah, antara lain:

  1. Al-Kafiy oleh Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Khulaini.
  2. Al-Tahzib dan al I’tibar oleh Muhammad ibn Hasan.

Sedangkan kitab–kitab Syi’ah Imamiyah dalam bidang fiqh antara lain:

  1. Al-Mukhtasharu al-Nãfi’ oleh Abi Qasim al-Husain al-Huliy.
  2. Syara’ Islãm oleh Ja’far al-Hasan al-Huliy.
  3. Jawãhir al-Kalãm oleh Muhammad al-Najafiy.
  4. Basyãir ad-Darajat fî ‘Ulûmi ‘Ãli oleh Muhammad karya Ibnu Farrukh.
  5. Risãlah al-Halãl wal-Harãm oleh Ibrahim bin Muhammad Abi Yahya al-Madani al-Aslami

KESIMPULAN

Imam Ja’far Asshadiq merupakan pendiri dari madzhab Ja’fariyah. ia dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah dan diwafatkan pada tahun 148 Hijriyah. Pemberian gelar Imãm dan Shãdiq kepadanya dikarenakan: Pertama, Imam Ja’far dikenal dengan orang yang benar-benar shadiq, jujur dalam ucapannya dan perbuatannya, tidak dikenal dari diri Ja`far selain sifat shidq (jujur, benar). Kedua, karena kedalaman dan keluasan ilmunya.

Sedangkan sumber hukum madzhab ini adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Akal. Dalam hal fiqh, madzhab ini sangat dekat dengan madzhab Ahl Sunnah (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah), namun hanya 17 perbedaan saja. Salah satunya yang paling utama adalah masalah menghalalkan nikah mut’ah. Madzhab Ahl Sunnah seluruhnya sepakat bahwa nikah mut’ah itu haram dan tidak ada bedanya dengan zina.

DAFTAR PUSTAKA

  • Abdurrahman Syarqawi, Aimmah Fiqh Sunnah, (Libanon: Dar Iqra’, 1980)
  • Abu Bakar Atjeh, Ilmu Fiqh Dalam Lima Mazhab, (Jakarta: Islam Research Institute, 1977)
  • Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, Cet II, (Bandung: Pustaka, 1994)
  • Hasbi Asshiddiqie, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001)
  • Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqh, (Bandung: Mutthahhari Press, 2002)
  • M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002)
  • Muhammad Jawwad Almugniyah, Fikih Lima Mazhab, Terj. Mansyur, dkk, (Jakarta: Lentera, 2000)
  • Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: sebuah Pengantar, Cet I, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
  • Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu, Jld.I, (Bairut:dar Alfikr, t.t)

_____________

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Amalan Malam Nisfu Sya’ban dan Dahsyatnya Doa Nabi Yunus

“Nabi Yunus ‘alaihis salãm (Dzul-Nun) ketika berada di dalam perut ikan paus memanjatkan sebuah doa ...