Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Asal Muasal Mbah al-Wasil
Bernama lengkap Syekh Syamsuddin al-Wasil, lahir sekitar abad 12 M sebagai ulama besar asal Negeri Ngerum / Rum ( Persia). Beliau mempunyai beberapa nama lain diantaranya :
1. Pangeran Makkah
2. Pangeran Arab
3. Pangeran Ngerum
4. Syekh Wasil
5. Mbah Wasil
6. Raja Pandhita
7. Maulana Ngali Syamsujen atau Maulana Ali Syamsuddin
Makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil terletak di kompleks makam Setana Gedong, Kediri. Kompleks makam ini terletak di dalam Kota Kediri, tepatnya di pusat kota yang bisa dicapai dari Jalan Dhoho belok ke kanan, masuk kampung Setana Gedong. Sekitar 100 meter dari ujung kampung, terletak Masjid Setana Gedong. Kompleks makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil terletak di barat laut masjid.
Perjalanan Dakwah Syekh Syamsuddin al-Wasil
Syekh Syamsuddin al-Wasil seorang ulama Islam yang datang dari negeri seberang. Historiografi Jawa menyebut: Syekh Syamsuddin al-Wasil berasal dari Negeri Persia atau biasa diucapkan Ngerum atau Rum.
Konon, beliau diutus oleh Raja Persia (Rum) untuk menjinakkan tanah Jawa yang banyak dihuni balatentara jin-setan dan raksasa atau dhenawa, yang pada periode-periode sebelumnya telah mengalahkan serta membunuh sekitar 20.000 kepala keluarga rombongan utusan Raja Rum, padahal di dalam rombongan itu terdapat pula pasukan bersenjata.
Istilah dhenawa atau raksasa pada masa itu dipakai untuk menyebut pengikut aliran Bhairawa, yaitu salah satu aliran dalam agama sinkretisme Syiwa-Budha. Salah satu utusan Raja Rum yang lain adalah yang dikenal sebagai Syekh Subakir, yang makamnya berada di berbagai tempat di Pulau Jawa, dan dikenal sebagai Makam Dowo (makam yang panjang).
Beliau datang ke Kediri, menghadap ke hadapan Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya (Raja Kerajaan Kadiri), dan meminta izin untuk berdakwah dan mengajarkan kepada masyarakat Kitab Musyarar, sebuah kitab yang membahas mengenai ilmu falak dan ilmu ramalan. Kefasihan Syekh Syamsuddin al-Wasil dalam menjabarkan isi Kitab Musyarar membuat Sri Maharaja Mapanji Jayabaya, Raja Kediri (1135-1159), terpikat untuk mempelajarinya.
Kitab Musyarar mengulas tentang astronomi atau perbintangan (ilmu falak) serta ilmu nujum atau ramalan. Pengetahuan yang ada di Kitab Musyarar ditulis ke dalam bentuk kidung. Itu sebabnya tidak semua orang bisa mengerti dengan mudah. Kemampuan Syekh Syamsuddin al-Wasil memahami teks puisi Jawa kuno tersebut, membuat Prabu Jayabaya ingin mengenal lebih dekat.
“… Dan atas permintaannya untuk lebih dalam membahas Kitab Musyarar yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti perbintangan (ilmu falak) dan nujum (ramal-meramal)”.
Diperkirakan pada abad ke-12. Tiba di Kediri, Syekh Syamsuddin al-Wasil menjalankan misinya mengenalkan agama Islam. Ia memulai langkah dari wilayah pinggir. Dengan mengedepankan pendekatan merangkul, Beliau menyusuri kawasan pedalaman. Di setiap wanua (desa) yang dilalui, beliau berinteraksi dengan penduduk setempat. Dengan lisan yang lembut, Syekh Syamsuddin al-Wasil yang dari cerita tutur dikenal sebagai ulama yang alim, menjelaskan apa itu Islam.
“Itu sebabnya, sangat wajar jika setelah meninggal, Syekh Syamsuddin al-Wasil sangat dihormati masyarakat Islam di pedalaman,”
Tertarik dengan kitab itu, sang raja mengizinkannya berdakwah di wilayah Kerajaan Kediri, bahkan sang raja juga ikut belajar kitab itu. Hal tersebut dibenarkan oleh manuskrip Kakawin Hariwangsa. Di dalam Kakawin itu, digambarkan bahwa Dewa Wisnu telah pulang ke surga, tetapi turun kembali ke bumi pada Zaman Kali dalam diri Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya untuk menyelamatkan Jawa dari kehancuran. Sang raja diyakini sebagai titisan Dewa Wisnu. Dan dalam tugasnya menyelamatkan Jawa itu, Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya dibimbing oleh Dewa Agastya yang berwujud Syekh Syamsuddin al-Wasil.
Pintu Masuk menuju Makam Mbah al-Wasil Syamsuddin |
Di dalam Kakawin Hariwangsa, diceritakan bahwa Pulau Jawa merupakan sebuah pulau yang indah dan megah. Masyarakatnya tenteram dan makmur. Nilai-nilai kebijaksanaan dijalankan secara baik oleh rakyat dan pemimpinnya. Sehingga, dengan jalinan antara alam subur nan indah dan masyarakat yang damai bersahaja, hampir-hampir Jawa bagaikan pulau impian. Namun, lambat laun, kehidupan moral masyarakat Jawa bobrok, melenceng jauh dari nilai-nilai kebijaksanaan. Pemimpinnya adalah seorang penindas sehingga rakyatnya tertekan dalam kubangan rasa takut. Kesewenang-wenangan merajalela, alamnya dieksploitasi, kriminalitas di akar rumput tumbuh subur. Praktis, pulau Jawa diliputi oleh kegelapan. Lantas, para dewa berkumpul di hadapan Hyang Aswi.
Mereka sepakat untuk memohon kepada Bhatara Padmanabha untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Jawa yang sudah bobrok, agar cahaya kehidupan kembali menyinari si pulau impian, dan agar cahaya itu menyala selama-lamanya. Permohonan mereka pun dikabulkan. Lalu, hiduplah seorang raja bijaksana, yang menyempurnakan hak-hak rakyatnya, yang menjadikan kembali kehidupan rakyat Pulau Jawa gilang gemilang. Beliau adalah Sri Jayasatru (Jayabhaya), yang merupakan inkarnasi dari Madhusudana-awatara (Dewa Wisnu).
Dalam memerintah rakyat Jawa, Jayabhaya dibimbing oleh Agastya yang suci, yang berinkarnasi menjadi pendeta. Keduanya berposisi sebagai guru dan murid. Sang guru memberikan ajaran kebijaksanaan, dan sang raja dengan patuh menjalankan ajarannya. Sang raja memerintah negeri dengan teguh. Dan, sang pendeta dipatuhi oleh rakyat di seluruh Jawa disebabkan wibawanya yang besar sebagai “petapa” dan pengetahuannya tentang cara mengatasi bahaya rohani sangat mendalam. Kehidupan rakyat Jawa pun kembali tenteram. Setiap orang berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan. Layaknya santri, mereka berbondong-bondong belajar kitab suci kepada sang Agastya.
Yang dulunya miskin dan hina-dina, terangkat derajat sosial dan ekonominya, dan diliputi kebahagiaan. Demikianlah kisah Kerajaan Kadiri pada zaman Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Ketika sudah khatam mengaji Kitab Musyarar kepada Syekh Syamsuddin al-Wasil dan sudah menjadi ahli dalam ilmu nujum (ramalan), Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya menulis sebuah catatan yang bertajuk Serat Jangka Jayabhaya. Serat itu berisi ramalan tentang eksistensi Nusantara pada masa depan.
Makam Mbah al-Wasil Syamsuddin |
Kini, jika kita mengenal tentang ramalan Jayabhaya, maka hal itu berasal dari Serat Jangka Jayabhaya. Biksu Pandhita sebagian tafsir mengatakan bahwa guru Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya adalah Mpu Sedah. Namun, tafsir yang lain menyatakan bahwa Mpu Sedah adalah guru di bidang sastra. Sedangkan sang pembimbing rohani itu, yang disebut biksu Pandhita-Adikara, adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil.
Sebutan “Biksu Pandhita” lazim digunakan untuk menyebut para ulama Islam kala itu, seperti Sayyid Ali Murtadha disebut sebagai Raja Pandhita di Gresik, atau Maulana Malik Ibrahim disebut juga sebagai Pandhita. Atas peran Syekh Syamsuddin al-Wasil dalam membangun kerajaan Kediri beliau di anugerahi tanah perdikan di daerah Setono Gedong dan melanjutkan dakwah sampai akhir hayatnya di daerah tersebut dan dimakamkan di sana.
Pada inskripsi kuno itu, laporan peneliti asing Louis-Charles Damais menyebutkan adanya makam seorang “al-Imam al-Kamil”. Teks pendek atau epitaf pada inkripsi ditutup dengan keterangan: “al-syafi’i madzhaban al-arabi nisban wa huwa tadj al-qudha(t)” (Syafi’i sebagai madzhab, Al-‘Arabiy sebagai sandaran dan dia adalah mahkota para penghulu (hakim)).
Sayangnya, bagian tanggal yang merujuk waktu inskripsi dibuat, kondisinya berantakan. Ada jejak seperti bekas pukulan martil yang membuat catatan waktu tersebut, terhapus. Peneliti Claude Gulliot dan Ludvik Kalus menyebut kata “al-wasil” dan “al-mustakmil” pada inskripsi Setana Gedong, sebagai kata yang unik. Dua kata yang menyifatkan kata benda tersebut tidak ditemukan dalam Thesaurus d’epigraphie Islamique. Masyarakat menghubungkan kata al-wasil dan al-mustakmil dengan tokoh suci yang dimakamkan di Setana Gedong. “Jika nama al-Wasil tercantum pada inskripsi Setana Gedong, nama Syamsuddin dicatat dalam historiografi Jawa yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta”.
Peneliti Gulliot dan Kalus juga menafsirkan kata asy-Syafii madzhaban, al-Abarkuhi dan al-Bahrayni sebagai kata benda yang merujuk pada sosok tokoh suci yang dimakamkan di Setana Gedong atau Mbah Wasil. Dari kata asy-Syafi’i madzhaban di inkripsi, Mbah Wasil disinyalir kuat seorang ulama Islam bermadzab Syafi’i. Sesuai historiografi Islam Nusantara. Syekh Ismail asal Mesir yang pertama kali memperkenalkan Islam madzab Syafi’i (1285) di Indonesia. Kata al-Barkuhi yang ada pada inkripsi Setana Gedong ditafsirkan berkaitan dengan nama kota Abarquh atau Abarkuh. Sebuah kota kecil di Iran yang terletak antara Shiraz dan Yazd.
Lalu kata al-Bahrayni yang mengarah kuat pada Kepulauan Bahrain yang berhubungan dengan suku Arab al-Bahraniyun. Pada masa lampau suku al-Bahraniyun banyak berkelana di wilayah Irak.
Kompleks Pemakaman Mbah al-Wasil
Joglo di sekitar Makam Mbah al-Wasil |
Beberapa ahli lain juga berpendapat bahwa Syek Al Washil Syamsudin adalah seorang ulama besar dari persia (Ngerum) yang datang ke kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri.
Kompleks bangunan makam Setno Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dala mengembangkan Agama Islam di Kediri. Berkaitan dengan pendapat diatas, terdapat juga beberapa pemahaman dasar tentang kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di kediri pada masa pemerintahan raja Jayabaya, yaitu pada abad XII M. Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat di daerah tersebut, baik secara kebudayaan maupun politis di masyarakat khususnya Kediri pada waktu itu. Namun ini terbantah bahwa Kerjaaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman baru.
Situs batu bertulis di sekitar Makam Mbah al-Wasil |
Kemiripan nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika itu didukung oleh data-data atau bukti yang valid. Oleh sebab itu perlu sebuah pembahasan lebih lanjut berdasarkan variabel pendukung.
Berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khsusunya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah Syakh Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.
Ekspedisi Cheng Ho yagn datang mengujungi Majapahit, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Sunda Kelapa (Jayakarta/Jakarta) oleh sekretaris Ma Huan di dalam “Yang Yai Seng Lan” melaporkan tentang keadaan alam dan penduduk dari kota-kota yagn disinggahi. Ia menyebutkan bahwa di pelabuhan Jawa (Gresik dan Tuban) ada tiga macam penduduk yaitu orang muslim dari barat (Maghribi), orang cina (beberapa di antaranya beragama Islam) dan Orang Jawa (Penduduk asli yang masih belum beragama Islam). Untuk menunjukkan bahwa islam sudah masuk dan sudah dipeluk oleh kalangan keraton Majapahit, ia menulis adanya orang-orang Jawa yang beragama Islam di istana raja sejak kira-kira sekitar 50 tahun sebelum masa itu.
Pintu masuk menuju Makam Mbah al-Wasil |
Kesimpang siuran siapa beliau mungkin tidak usah diperdebatkan. Suasana makam yang berbaur dengan ornamen candi Hindu serta puing-puing yang tersisa bisa menceritakan bagaimana kali itu Islam, Hindu, dan Buddha saling hidup berdampingan dalam satu kerukunan. Pasang surut dari keragaman beragama juga tampak dari puing-puing yagn tersisa, dimana menurut keterangan dari salah satu penjaga makam. Komplek makam ini dulu merupakan hadiah dari Prabu Sri Aji Joyoboyo kepada Syech Wasil Syamsuddin atas jasanya kepada sang prabu secara pribadi dan kerajaan pada umumnya.
Itulah Salah satu Tokoh penyebar Agama Islam di tanah jawa khususnya di Kediri Jawa Timur. Dari Kisah, sejarah dan peninggalan baik ajaran, bangunan atau apapun seakan menjadi saksi bisu yang mengajarkan kita banyak hal.
terutama tentang prinsip, ajaran, kesabaran, kerukunan, dan toleransi antar umat beragama, serta tidak lupa belajar tentang kesetian mereka terhadap Tuhannya dimanapun dan dalam keadaan apapun.
______________
Source: Dari berbagai sumber