اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهٖ وَصَحْبِهٖ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ
Assalãmu ‘alaikum wa rahmatu ‘l-Lãhi wa barakãtuh
Bismillãhi ‘r-Rahmãni ‘r-Rahîm. Al-hamdu lillãhi Rabbi ‘l-‘Ãlamîn. Allãhumma shalli wa sallim ‘alã Sayyidinã Muhammadin wa ‘alã ãlihî wa shahbihî ajma’în. Ammã ba’du.
Saudaraku yang terpuji, yang memuji Allah dengan segala pujian, semoga Dia limpahkan kepada kita, hati yang condong kepadaNya dan RasulNya, bukan cenderung kepada selainNya.
Kecondongan hati terhadap yang lain itulah yang disebut hawa, mengajak nafsu untuk berlaku sesat, bahkan menyesatkan.
وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللّٰهِ ۞
“.. Dan janganlah kau mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkanmu dari Jalan Allah.” (Q.S. Shad (38) : 26).
Hawa di sini bukanlah (حَوَا) istri Nabi Adam ‘Alaihi ‘s-Salãm, walau dikisahkan keduanya diturunkan dari surga ke dunia karena terdorong keinginan terlarang. Hawa yang dimaksud adalah hawa (الهوى) yang jika berpasangan dengan nafsu (النفس) maka besar kemungkinkan muncullah syahwat (الشهوة) yaitu keinginan teramat kuat, bahkan tak terkendali, untuk memiliki sesuatu yang menimbulkan kenikmatan ragawi.
Nafsu sesungguhnya bermakna jiwa. Meski hawa mempunyai makna cinta, jika disertai syahwat, yang melanggar syariat, jadilah nafsu itu tercela, tak lagi terpuji. Disebabkan oleh lampiasan hawa nafsu itu manusia bisa lalai pada kewajiban untuk taat kepada Allah dan Rasulnya. Ini sungguh berbahaya karena membawa manusia pada keburukan dan mengingkari Kebenaran yang diilhamkan Allah kepada manusia.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (٧) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (٨) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (٩) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (١٠) ۞
”Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. As-Syams (91) : 7-10).
Hati menjadi kotor jika jiwa terkotori oleh hawa. Oleh karena itulah, untuk mensucikan jiwa, para Mursyid yang mulia mengajarkan tahalli (pensucian hati), takhalli (pengindahan hati), dan tajalli (pencerahan hati). Tahalli dimulai dengan pembersihan hati dari virus penyakit-penyakit hati. Takhalli berupa penghiasan hati dengan rasa-rasa mulia.
Tajalli adalah keadaan tersingkapnya hati untuk mengakhiri penyangkalan, dan memulai penetapan (an Nafyu wa al-Istbãt), terhadap Kebenaran Tauhid yang Hakiki, yaitu Lã ilãha illa ‘l-Lãh, tiada Tuhan selain Allah. Jiwa yang kembali suci tak mengizinkan hati mengingat yang selain Allah. Hati pun menjadi tenteram, tidak lagi terdorong oleh hawa yang syahwati mengguncang jiwa di dalam badan ruhani kita.
Inilah Cinta Sejati itu, Cinta pada Allah, dengan mengikuti Risalah Muhammad Shalla ‘l-Lãhu ‘Alaihi Wa Sallam.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّٰهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ۞
”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Ketika mengalami Cinta Sejati, yang ruhaniah, bukan syahwatiyah, manusia niscaya merasa seperti kembali dilahirkan. Bukan menjadi manusia baru, melainkan menuju Manusia Paripurna (Al-Insãn Al-Kãmil), meneladani Sang Uswatun Hasanah. Dan, siapa nyana jika ternyata pengalaman ma’rifat (mengenal) bukan dimulai dari melihat, melainkan dari mendengar? Allah menjelaskannya dalam peristiwa kelahiran.
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ۞
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kau bersyukur,” (Q.S. An Nahl (16) : 78).
Raden Ngabehi Ronggowarsito, dalam Wirid Ma’lumat Jati yang telah dialihaksarakan dari aksara Jawa Krama ke aksara latin oleh Raden Kusuma Tanoyo, menguraikannya:
“Ing nalika Khayu anguripi kahananing nafsu, sumrambah ing talingan, wahanane dadi amiyarsa, yaiku Pamiyarsaning Dat, angagem karna-kita.”
”Saat Hayu menghidupi keadaan Nafsu, meluap ke telinga, menyebabkan bisa mendengar, yaitu (yang bersumber pada) Pendengaran Dzat (Yang Maha Mendengar), menggunakan telinga kita.”
Kini menjadi jelas, telinga adalah sambungan ke dunia luar bagi jiwa yang di dalam. Telingalah yang terutama berperan menyambungkan antara hawa dan nafsu. Dan, pada saat telinga kita merah tatkala marah, apakah itu tanda-tanda Nafsu Ammarah menguasai kita? Ada berapa ragam nafsu di dalam badan ruhani kita?
Wallãhu a’lam bish-shawãb.
وَاللهُ الْمُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْقِ
Wa ‘l-Lãhu al-muwaffiq ilã aqwami ‘t-tharîq.
Wassalãmu ‘alaikum warahmatu ‘l-Lãhi wabarakãtuh
___________________
Ditulis pada Selasa malam Rabu Pon, 12 Sura Tahun Ehe 1956 atau 12 Muharam 1444 Hijriyah yang bertepatan dengan 9 Agustus 2022.
Oleh: K.P.H.A. Panembahan Pakoenegoro | R.M. Hartawan Candra Malik