اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهٖ وَصَحْبِهٖ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ
Assalãmu ‘alaikum wa rahmatu ‘l-Lãhi wa barakãtuh
Bismillãhi ‘r-Rahmãni ‘r-Rahîm. Al-hamdu lillãhi Rabbi ‘l-‘Ãlamîn. Allãhumma shalli wa sallim ‘alã Sayyidinã Muhammadin wa ‘alã ãlihî wa shahbihî ajma’în. Ammã ba’du.
Saudaraku tersayang, yang semoga juga disayangi oleh makhluk-makhluk Allah di bumi maupun langit.
Betapa mulia hati manusia yang berada di antara dua jari dari Jari-Jemari Ar-Rahman, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Shalla ‘l-Lahu ‘Alaihi Wa Sallam, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Sedemikian mulianya hingga jika kita tidak berhati-hati dan saling mengingatkan, maka tidak mustahil hati kita tergelincir takabur terhadap Allah Al-Haq, pun demikian bisa bersombong pada al-khalq, sesama titah.
Padahal, ibarat kertas putih yang cemerlang, tatkala ternodai setitik noktah hitam saja, ia niscaya tampak tercoreng sekujur putihnya. Sungguh benar apabila Kangjeng Nabi pun mengingatkan dengan sangat keras dalam sebuah Hadits Riwayat Muslim dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
”Tidak akan masuk surga, orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di hatinya.”
Betapa kuat, hati menerima karunia iman dari Allah. Namun, betapa ringkih pula diserang penyakit. Lebih-lebih, berhadapan dengan kesombongan, kita menyangka berhadapan dengan orang lain, padahal sejatinya kita berhadapan dengan diri sendiri. Allah telah menyediakan jalan yang lurus, tapi kita tidak menempuhnya. Adakah yang lebih sombong dari orang yang merasa tidak butuh arahan dan petunjuk? Bagaimana takkan tersesat?
Dalam Q.S. Al Hujurat (49) : 7, Allah berfirman:
وَلَٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ ۞
“.. tetapi Allah menjadikan kalian mencintai keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian, serta menjadikan kalian membenci kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Merekalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”
Pertanyaannya, bagaimana menemukan dan menempuh jalan yang lurus menuju hati kita sendiri? Sedangkan kita bahkan tidak sadar, apakah hati kita bersih (Qalbun Salim) atau dalam keadaan sakit (Qalbun Maridh) atau bahkan telah mati (Qalbun Mayyit), na’udzu bi ‘l-Laahi min dzalik.
Kami berba’iat Thariqat As-Syathariah pada tiga Mursyid yang mulia; yakni mendiang Kiai Muna’am di Sukowono, Sukasari, Jember, Jawa Timur; Kangjeng Pangeran Kiai Ja’far Anom Sidakarsa di Bogangin, Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah; dan Kangjeng Pangeran Haryo Haji Derajat Hadiningrat di Cibunar, Cibatu, Garut, Jawa Barat. Beliau seluruhnya mengajarkan dan mengingatkan untuk menetapkan hati terhadap Allah.
“Harus istiqamah karena Allah akan melekat pada hati yang melekat kepadaNya,” pesan Kangjeng Pangeran Haryo Haji Derajat Hadiningrat. “Sebaik-baik ibadah dan amal kebaikan adalah yang ikhlas dan istiqamah,” dhawuh Kangjeng Pangeran Kiai Ja’far Anom Sidakarsa. Mendiang Kiai Muna’am berseru bahwa seseorang takkan pernah sampai ke tujuan jika ia tidak berbekal kesadaran dan kesabaran, eling lan waspada, seperti yang diajarkan Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Dalam Pupuh 7 Serat Kalatidha, Pujangga Karaton Surakarta Hadiningrat itu berwasiat:
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada
Terjemah bebas:
Mengalami zaman gila
sulit menentukan pilihan
ikut menggila tidak sanggup
tapi jika tak ikut menggila
maka takkan kebagian
kekuranganlah akhirnya
Atas Kehendak Allah
seberuntung apa pun (orang) yang lupa
lebih beruntung yang sadar dan waspada
Seindah apa pun persimpangan menawari berbelok, ia menjauhkan pejalan dari tujuan. Bila Syariat ialah Jalan, Thariqat ialah Cara Berjalan, Haqiqat ialah Alamat Tujuan, dan Ma’rifat ialah Jumpa Sang Empu Alamat, bukankah tiap pejalan memerlukan petunjuk dan penunjuk arah? Murid, yang bermakna ia yang berkehendak mencapai tujuan, butuh Mursyid, yang bermakna pemberi petunjuk.
Waliyullah Mulia, yang memuliakan dan dimuliakan makhluk-makhlukNya di bumi dan langit, Syekh Ahmad Shohibil Wafa Tajul Arifin, al ‘Arif bi ‘l-Laah Abah Anom, yang semasa hayat mengasuh Pesantren Suryalaya, Tanjungkerta, Pagerageung, Tasikmalaya, Jawa Barat, menunjukkan pada kami yang tidak tahu-menahu letak hati kami sendiri. Di bawah lingkar dada kiri, sejarak dua jari, sedikit ke kiri, sentuhlah.
Wallãhu a’lam bish-shawãb.
وَاللهُ الْمُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْقِ
Wa ‘l-Lãhu al-muwaffiq ilã aqwami ‘t-tharîq.
Wassalãmu ‘alaikum warahmatu ‘l-Lãhi wabarakãtuh
___________________
Ditulis pada Senin malam Selasa Pahing, 11 Sura Tahun Ehe 1956 atau 11 Muharam 1444 Hijriyah yang bertepatan dengan 8 Agustus 2022.
Oleh: K.P.H.A. Panembahan Pakoenegoro | R.M. Hartawan Candra Malik