اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهٖ وَصَحْبِهٖ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ
Assalãmu ‘alaikum wa rahmatu ‘l-Lãhi wa barakãtuh
Bismillãhi ‘r-Rahmãni ‘r-Rahîm. Al-hamdu lillãhi Rabbi ‘l-‘Ãlamîn. Allãhumma shalli wa sallim ‘alã Sayyidinã Muhammadin wa ‘alã ãlihî wa shahbihî ajma’în. Ammã ba’du.
Beruntunglah Raden Kusumo Tanoyo telah menyalin Wirid Ma’lumat Jati dari aksara Jawa Krama ke aksara latin sehingga kita bisa belajar dari Pujangga Karaton Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ronggowarsito. Ia mengurai manusia dalam tujuh lapis, dari yang paling dalam hingga yang terluar.
Namun, tujuh lapis yang terdiri atas Hayyu, Nur, Sirr, Ruh, Nafsu, Akal, dan Jasad itu tak menyebut Qalbu atau Hati. Mengapa justru akal menjadi lapis luar nafsu, sedangkan nafsu sebegitu dekat dengan ruh? Bisakah ruh dipengaruhi nafsu? Di mana letak hati dan apa perannya dalam diri manusia?
Allah berfirman dalam Q.S. Al Hajj (22) : 46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا ۞
Afalam yasîrû fi ‘l-ardhli fatakûna lahum qulûbuy ya’qilûna bihã?
“Maka tidakkah mereka berjalan di muka bumi ini, lalu mereka mempunyai hati yang dengan hati itu mereka berakal (berpikir)?”
Ternyata hati adalah penggerak akal untuk bekerja, berpikir. Dari sini dapat ditengarai bahwa hati tidak berjauhan dengan akal. Tapi, bukankah akal di kepala, sedangkan hati bersemayam di dada? Apa penghubung antara kepala dan dada, dan bagaimana akal dan hati saling berhubungan?
Pintu-pintu penginderaan manusia di kepala tidak hanya mudah dibuka-tutup, tapi mudah pula dipengaruhi oleh yang diinderainya itu, yang oleh karena itulah akal meresponnya. Seperti peribahasa “dari mata turun ke hati”, begitu pulalah nafsu bekerja. Penginderaan oleh mata, diterima akal, ditransfer ke hati.
Manakala hati tidak dijaga dengan iman, saat itulah nafsu yang telah masuk melalui celah penginderaan niscaya mudah dipengaruhi bisikan setan di dada manusia, yuwaswisu fî shudûri ‘n-nãs, sebagaimana termaktub di dalam Q.S. An-Nãs (114) : 5. Bahkan setan telah mulai membisik sejak lapis terluar hati.
Abu ‘Abdullah ibn ‘Ali ibn al-Hasan ibn Basyar al-Hakim al-Tarmidzi menguraikan Maqamat al-Qalb atau tingkatan-tingkatan batin dalam dalam empat lapis, yaitu:
1. Shadr, lapis terluar, permukaan hati, wadah bagi hidayah keislaman.
2. Qalb, lapis dalam hati, wadah bagi hidayah keimanan.
3. Fu’ad, lapis hati yang lebih dalam, wadah bagi kemakrifatan.
4. Lubb, inti hati paling dalam, wadah bagi ketauhidan.
Bila panca indera digunakan tanpa bersandar pada syariat, hingga akal mudah digerakkan oleh pengaruh buruk, hingga Shadr tergoda oleh bisikan setan, bagaimana Qalb akan menempuh thariqat? Bukankah kita berharap Fu’ad mendapatkan tajalli, kasyaf, dan mengalami ma’rifat? Hanya dengan demikian kita dapat berharap disingkapkan rahasia haqiqat.
Perjalanan masih jauh menuju pemahaman hal-hal mengenai ruh. Dalam uraian Raden Ngabehi Ronggowarsito, ada penghalang di antara akal dan ruh, yaitu nafsu. Sepertinya Beliau sengaja tidak menerangkan di mana letak hati. Barangkali supaya kita bertanya,” Mengapa aku tak mengenal diriku sendiri?”
Sakitnya tuh di sini. Di hati.
Tapi, di mana gerangan letak hati?
Wallãhu a’lam bish-shawãb.
وَاللهُ الْمُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْقِ
Wa ‘l-Lãhu al-muwaffiq ilã aqwami ‘t-tharîq.
Wassalãmu ‘alaikum warahmatu ‘l-Lãhi wabarakãtuh
______________
Ditulis pada Jum’at malam Sabtu Wage, 8 Sura Tahun Ehe 1956 atau 8 Muharam 1444 Hijriyah yang bertepatan dengan 5 Agustus 2022.
Oleh: K.P.H.A. Panembahan Pakoenegoro | R.M. Hartawan Candra Malik