Kwan Yu (di Indonesia lebih populer dipanggil: Kwan Kong) adalah salah satu pahlawan abadi yang sangat berpengaruh dalam sejarah Tiongkok, selain dikenal dalam masyarakat Tionghoa, Jepang dan Korea juga sangat respek terhadap ketenaran namanya. Orang Tionghoa di luar daratan Tiongkok sangat menghormati spirit loyalitasnya, itu sebabnya banyak sekali komunitas Tionghoa di New York, AS hingga kini masih mempunyai kebiasaan memuja Kwan Kong.
Ilmu seni bela diri Kwan Kong sangat hebat, dalam tempo singkat ia berhasil memenggal jenderal lawan tangguhnya, Hoa Xiong, memancung Jenderal Yan Liang dan menewaskan Wen Chou hanya dalam beberapa jurus saja. Keberaniannya luar biasa, menunggang kuda seorang diri menerobos lima lintasan dengan memenggal enam jenderal penjaga 5 lintasan.
Selain penguasaan ilmu silatnya sangat tinggi, ia sangat mahir dalam strategi militer dan juga ahli dalam siasat sekaligus bernyali besar. Ketika berhadapan dengan Pasukan Wei (Cao Cao) di Fancheng, memanfaatkan hujan lebat menenggelamkan seluruh Pasukan Wei, menangkap Jenderal Yu Jin dan mengeksekusi Jenderal Pang De, namanya menggetarkan seluruh negeri Tiongkok di zamannya.
Ada lagi cerita tentang Kwan Kong yang senantiasa asyik dibicarakan orang Tionghoa, seperti kisah Kwan Kong berbekal sebilah golok ngluruk tanpa bala menghadiri pesta musuh, karena Negara Shu tidak mau mengembalikan Kota Jinzhou. Negara Dong Wu menyiasati dengan menggelar pesta untuk mengundangnya, lalu menghabisi Kwan Kong di dalam pesta. Kwan Kong datang menghadiri pesta itu dengan sebuah perahu kecil beserta puluhan pengikutnya, ia memandang para menteri dan jenderal Negeri Dong Wu bagai anak kecil, dengan kharisma luar biasa ia berhasil kembali ke markas dengan selamat.
Kisah lainnya tentang perawatan luka dengan menyekrap tulang. Tatkala itu, ia berperang melawan pasukan Negara Wei, Kwan Kong terluka oleh panah beracun. Tabib Hua Tuo menyembuhkan luka beracun Kwan Kong dengan cara menyekrap tulang. Hua Tuo menggunakan pisau untuk menyekrap racun yang sudah merasuk ke tulang, hingga mengeluarkan bunyi. Kwan Kong bergeming makan dan minum sambil bermain catur dengan muka senyum, sama sekali tidak tersirat wajah menahan sakit. Tabib sakti Hua Tuo memuji Kwan Kong dengan berkata: “Jenderal benar-benar seorang Dewa langit.”
Namun bagaimanapun “Orang pandai tidak luput dari kesalahan”, walau ia seorang pahlawan yang tak tertandingi, pada akhirnya justru kalah saat melewati Kota Maicheng, berperang melawan Negara Dong Wu. Karena lengah, ia kehilangan wilayah Jinzhou. Ia tak mampu mengalahkan Jenderal Xu Huang secara militer, kalah taktik oleh Jenderal Lu Meng, akhirnya diluar dugaan tertawan oleh jenderal keroco Negara Wu yang bernama Ma Zhong yang dalam segala bidang berada jauh di bawahnya. Mengapa Kwan Kong sampai kalah di Maicheng?
Penulis beranggapan, selain Kwan Kong saat itu terlalu percaya diri, di saat krusial ia mengabaikan nasehat dari kepala stafnya yang bernama Wang Fu, selain itu eksis faktor takdir jagad raya yang bermakna sangat mendalam. Kekalahan pasukan Kwan Kong dan jatuhnya wilayah Jinzhou, memberikan kontribusi terbentuknya pola Tiga Negara (Samkok), di samping itu telah mengukuhkan spirit kesetiaan Kwan Kong yang tersebar luas dan dikenang untuk selamanya.
Remehkan musuh melecehkan Sun Quan (raja Negara Wu), menolak nasihat karena terlalu percaya diri sehingga kalah
Dari analisa faktor-faktor objektif kekalahan Kwan Kong di Maicheng, meremehkan musuh dan menolak nasehat karena sombong adalah faktor luar yang menyebabkan kekalahannya, hal tersebut bisa mudah kita ketahui dari percakapan Kwan Kong dengan Zhuge Liang (perdana menteri merangkap panglima tertinggi Negara Shu) dan kepala staf Wang Fu.
Sejak awal ketika Zhuge Liang menyerahkan wilayah Jinzhou kepada Kwan Kong untuk dipertahankan, ia berpesan berulang kali: “Menangkal Cao Cao di Utara, Mengharmonisasi Sun Quan di Timur” adalah resep strategi yang paling pokok untuk mempertahankan Jinzhou. Walaupun di saat itu Kwan Kong segera menyatakan: “Kata-kata panglima militer, pasti saya camkan dalam hati.” Tetapi kemudian nampak dari perilaku Kwan Kong, sebenarnya kata-kata Zhuge Liang itu tidak ia masukkan dalam hati.
Raja dari Dong Wu berinisiatif mengutus Zhuge Jin kakak dari Zhuge Liang untuk menjadi mak comblang berbesanan dengan Kwan Kong, ingin mempersunting putrinya. Bagaimanapun Sun Quan adalah seorang raja, kalau dipikir secara logis pasti tidak bermaksud merendahkan derajat putri Kwan Kong, tetapi di luar dugaan Kwan Kong ternyata marah besar: “Putri harimau saya bagaimana bisa dinikahkan dengan anak anjing!?”
Tindakan Kwan Kong ini, sama sekali bertolak belakang dengan strategi Zhuge Liang yakni “Mengharmonisasi Sun Quan di Timur”, dengan demikian aliansi militer antara Negara Wu dan Shu sejak saat itu menjadi berantakan. Setelah Sun Quan mendengarkan laporan dari Zhuge Jin langsung sangat murka dan berniat melakukan peperangan penghabisan dengan Kwan Kong.
Kwan Kong terlalu mengandalkan ketenaran dan keunggulannya dalam ilmu bela diri, lalu merasa sombong, setelah jenderal tangguh Ma Chao menyerah kepada Liu Bei (penguasa Negara Shu), Kwan Kong tahu bahwa ilmu silat Ma Chao sangat hebat, ia lalu hendak menemuinya di daerah Sichuan (Negara Shu) untuk mengadu ilmu. Zhuge Liang menulis surat memuji Kwan Kong, serta menasihatinya agar mementingkan penjagaan wilayah Jinzhou, barulah Kwan Kong mengurungkan niatnya untuk berduel dengan Ma Chao.
Ketika menghadiri pesta undangan Negara Wu seorang diri, banyak orang yang menasehatinya jangan pergi, Kwan Kong malah berkata: “Aku tidak gentar berada dalam ayunan ribuan tombak dan golok serta dihujani peluru batu dan saling serang, malang melintang seorang diri menunggang kuda, bagai masuk ke dalam wilayah tanpa manusia, bagaimana mungkin mengkhawatirkan gerombolan tikus dari Negara Wu!”
Perkataan ini sangat meremehkan para ksatria Dong Wu dan terlalu percaya diri. Kemudian karena pribadi Lu Su (ahli strategi dan panglima negeri Wu) yang sangat bermurah hati, beruntung bisa terlepas dari bencana (rencana pembunuhan oleh beberapa jenderal Wu) ini, tetapi pada akhir hayatnya ia toh dikalahkan juga oleh Negara Dong Wu.
Jika dikatakan kesombongan Kwan Kong yang meremehkan musuh menyebabkan kekalahannya, di saat yang paling krusial ia pun menolak nasihat yang diberikan oleh penasihatnya kepala staf Wang Fu dan tidak mau mengganti surat penunjukan sehingga kehilangan kesempatan terakhir untuk memperbaiki kesalahan. Ia menunjuk pejabat menengah Pan Jun menjaga Jinzhou, Walikota Mi Fang menjaga Nanjun, Jenderal Fu Shiren menjaga Gongan.
Untuk itu Wang Fu pernah dengan sabar memberikan nasehat kepada Kwan Kong: “Mi Fang dan Fu Shiren menjaga dua sela gunung yang sempit, ditakutkan tidak mampu,” dan “selamanya karakter Pan Jun dengki dan mata duitan, tidak boleh dipakai, bisa digantikan oleh Zhao Lei yang menjabat sebagai kapten urusan konsumsi. Kepribadian Zhao Lei setia, tulus dan jujur. Jika menggunakan orang ini pasti aman.”
Kwan Kong tidak mendengarkan nasehat ini dan berkata: “Saya sangat mengenal perangai Pan Jun. Sekarang saya sudah memutuskan dan tidak perlu diganti.” Dengan demikian, akhirnya yang dipercaya untuk menjaga Jinzhou adalah Mi Fang yang mendendam Kwan Kong, dan Fu Shiren serta Pan Jun yang dengki dan mata duitan. Di satu sisi kendor dalam hal penjagaan, di sisi lain setiap menemui peperangan mereka lantas menyerah, bagaimana Jinzhou bisa selamat?
Sebagian dari generasi sekarang ada yang menganggap kekalahan Kwan Kong lantaran Zhuge Liang tidak mau menolong dan ada udang di balik batu. Penulis beranggapan, kesimpulan itu terlalu dipaksakan dan dibuat-buat, sama sekali tidak masuk akal.
Jika Zhuge Liang benar-benar berniat menyingkirkan Kwan Kong, ia tidak bakal merencanakan strategi bagi Kwan Kong, yakni menangkal Cao Cao di Utara, berdamai dengan Sun Quan di Timur. Dari sini nampak Zhuge Liang benar-benar berharap Kwan Kong bisa menjaga Jinzhou dan memberikan kontribusi bagi persatuan tanah air. Selain itu, Liu Bei, raja Negara Shu, merupakan kakak angkat Kwan Kong dan jalinan persaudaraan mereka sangat erat.
Padahal Liu Feng adalah anak angkat Liu Bei. Lantaran tidak mau mengirim pasukan bala bantuan kepada Kwan Kong maka dihukum mati, sedangkan Meng Da yang bersama Liu Feng menjaga wilayah Shang Yong berbalik memberontak karena takut dimintai pertanggung-jawaban.
Secara permukaan faktor kekalahan Kwan Kong terletak pada kesombongan, tapi faktor lebih mendalam terletak pada takdir di tengah misteri kehidupan. Karena dari sisi spiritualitas, tingkatan Kwan Kong berada jauh di atas Xu Huang dan Lu Meng, dan dalam ilmu kesusasteraan maupun strategi militer Kwan Kong jelas di atas musuh-musuhnya. Namun, peribahasa mengatakan: “Semua usaha manusia ditentukan oleh Tuhan.” Betapapun hebatnya Zhuge Liang, yang nyaris dapat memprediksi segala sesuatu dengan tepat, pada akhirnya pun tidak berhasil mempersatukan tanah air.
Kehendak Tuhan dalamnya tak terukur, manusia selamanya tidak dapat berebut keunggulan dengan Tuhan. Jika dikatakan konfigurasi Tiga Negara adalah suatu pengaturan Tuhan yang tidak bisa dikacaukan, maka kecerdasan Zhuge Liang dan keberanian Kwan Kong juga tidak mampu menandingi takdir Tuhan.
Dalam kisah Sam Kok pada bab 103, dikisahkan berkat Zhuge Liang memeras otak dan merancang dengan cermat dan berhasil memancing Sima Yi (panglima Negara Wei) beserta anaknya masuk ke dalam lembah Shangfang, serta menutup mulut lembah dengan kayu bakar kering yang kemudian dihujani dengan panah api ditambah ranjau. Pasukan Wei dan Sima Yi berserta anaknya terjebak dan mereka menghadapi bencana terbakar hangus.
Kebetulan saat itu terjadi angin ribut dan turun hujan lebat, api besar di seluruh lembah dipadamkan oleh air hujan lebat tersebut. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sima Yi dan anaknya untuk meloloskan diri dari kepungan, setelah kejadian Zhuge Liang hanya bisa menengadah ke langit, menghela nafas panjang dan berkata: “Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. Tidak boleh dipaksakan!”
Kehidupan bagai sandiwara, benar-salah sukses-gagal dalam sekejap menjadi hampa
Karena Kwan Kong adalah jenderal tangguh yang mengagumkan, setia dan gagah berani, maka buku sejarah dari zaman dulu hingga kini menilainya dengan sangat tinggi. “Monumen Kuil Raja Kwan” yang dibuat oleh Fang Xiaoru (cendekiawan, sastrawan, eseis, filsuf dan pejabat tinggi dari Dinasti Ming) menyebutkan: “Kematian Kwan Kong hingga kini sudah ribuan tahun berlalu, penduduk di tempat terpencil, orang tua hingga anak-anak pun tahu dan respek terhadapnya, segan akan kewibawaannya, selalu terkenang kehebatannya.”
Dipandang dari masa sejarah yang sangat panjang, kehidupan manusia bagaikan sandiwara, sandiwara bagaikan kehidupan manusia. Tidak peduli bagaimana manusia mengejar ketenaran dan kekayaan, setelah mati, semua hanyalah kosong belaka, pahlawan sebesar apapun juga sangat sulit meninggalkan sesuatu. Keberhasilan atau kegagalan di mata dunia setelah digelontor oleh sang waktu, akhirnya semua itu hanyalah ‘kehampaan’.
Sebuah syair kecil yang ditulis di depan pembukaan cerita Sam Kok oleh pengarang Luo Guanzhong, adalah syair Lin Jiang Xian (Dihadapan Dewa Sungai) karya Yang Shen sebagai berikut:
Air Sungai Yangtse bergulung berlalu menuju timur, buih ombak mendulang habis para pahlawan.
Benar dan salah, berhasil maupun gagal, dalam sekejap menjadi hampa.
Gunung hijau bergeming, mentari senja merah tak pernah berubah.
Nelayan beruban di atas delta, sudah terbiasa menyaksikan rembulan musim gugur dan angin musim semi.
Satu teko arak keruh bersukaria atas perjumpaan kembali.
Berapa banyak masalah dari zaman kuno hingga kini, dibahas tuntas dalam canda dan tawa.
Ada berapa banyak pendekar, ksatria dan orang termasyur yang memiliki pahala dan jasa amat besar dalam sejarah, dihadapan materi dan pemandangan abadi, semuanya nampak singkat, sementara dan hampa. Tak salah jika Su Dongpo (dibaca: su tung bou 1037–1101 M, sastrawan, penyair, pelukis, kaligrafi zaman Dinasti Song) berkata: “Sungai besar mengalir ke timur, ombak menyaring tuntas para tokoh besar abadi.” Li Bai (dibaca: li pai, 701-762 M, penyair dari zaman Dinasti Tang) berdendang: “Sejak dahulu orang arif bijaksana selalu kesepian, hanya penikmat arak yang bisa meninggalkan nama.”
Malahan si nelayan tua di atas sungai yang leluasa berpikir terbuka dan bebas, bahkan bisa mencapai taraf “ada berapa banyak masalah dari zaman kuno hingga kini, semuanya dibahas tuntas dalam canda dan tawa”. Dimasa lalu para jenderal menunggang kuda, berperang dan menumpahkan darah, tapi ia malah bisa minum satu teko arak keruh dengan santai, usai makan dan minum berbicara kesana-kemari tentang zaman dahulu hingga kini.
Hanya dengan memahami secara gamblang makna sebenarnya kehidupan “benar dan salah, berhasil maupun gagal dalam sekejap menjadi hampa”, baru bisa melepas rasa bersaing yang memperebutkan nama dan kekayaan. Baru bisa dengan hati yang benar-benar tenang menengadahkan kepala melihat langit, memandang awan dan mendengarkan hujan, dengan wajah tersenyum menyambut rembulan musim gugur dan angin di musim semi. Baru bisa mencapai taraf spirit berpikiran terbuka dan bebas, seperti nelayan tua yang berada di atas sungai itu, “ada berapa banyak masalah dari dahulu hingga sekarang, semuanya dijadikan bahan cerita dengan santai”.
Sumber: mikeportal.blogspot.com