“Apapun peranmu, apapun jabatanmu, dan apapun rutinitas hidupmu, bila dilakukan dengan baik serta disempurnakan agar bisa mensejahterakan umat, maka itulah pengabdian terbaik kepada Tuhanmu.”
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sahabatku yang dimuliakan Allah, dengan membaca risalah ini, in syã Allãh, kita semua akan memahami bahwa sebegitu simpel kita melakukan peribadatan. Bahkan ketika engkau memanjakan istrimu, bermain dengan anak-anakmu, kemudian menyempurnakannya dengan membahagiakan mereka, sesungguhnya engkau telah melakukan ibadah.
Demikian juga, ketika engkau menjadi pejabat di suatu instansi, apapun itu, baik Pangdam, Kapolda, Kajati, maupun staf biasa, bahkan seorang petani yang menggarap sawah, selama dilakukan untuk mensejahterakan umat di sekelilingnya, maka kita adalah kepanjangan tangan Allah yang menjalankan fungsiNya pada cara yang dimudahkan bagi kita semua.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ۞
“Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzãriyãt [51]: 56)
Hanya sayangnya, kata “ya’budu” di sana biasanya hanya diterjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan semacamnya. Tujuan penciptaan kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal (ibadah mahdhah).
Jika memahami makna kata “ya’budu” hanya seperti ini –yakni rutinitas ritual formal (ibdah mahdhah), maka pada akhirnya tujuan hidup manusia hanya dipahami sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja. Padahal, kata “ya’budu” di sana berasal dari kata kerja ‘abada–ya’budu yang subyek (isim fã’il)-nya adalah ‘ãbid, bermakna hamba, budak, atau seorang abdi (pengabdi).
Ya’budu adalah sebuah kata kerja, bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”. Itulah tujuan penciptaan kita: untuk melaksanakan sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.
Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rasulullah Muhammad SAW adalah melakukan apa saja yang diperintahkan dalam koridor syariat yang dibawa oleh Beliau. Kita melakukan shalat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang dimaksud “ya’budu” (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ibadah ritual formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang dilakukan seorang ‘ãbid, adalah melaksanakan perintah tuannya. Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘ãbid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu dilakukannya. Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya atas nama tuannya. Inilah inti dari menjadi seorang hamba: melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.
Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik, sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Allah, yang menjadi alasan penciptaannya. Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia diciptakan. Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—maka ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya—pelaksanaan pengabdian tersebut—akan Allah mudahkan baginya.
Dari Imran r.a., sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” (H.R. Bukhari no. 2026)
“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” (H.R. Bukhari no. 1777)
… فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ … ۞
“… dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan bagimu…” (QS. An-Nahl [16]: 69)
“Tiap-tiap diri”, sabda Rasulullah SAW. Spesifik. Setiap orang. Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ ۞
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nûr [24]: 41)
Inilah pengabdian hakiki seorang hamba pada Rabb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan “misi hidup’ atau “tugas kelahiran”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘ãbid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya—melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala. Ia menyampaikan khazanah Rabb-nya bagi alam semestanya.
Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: menjadi “perpanjangan tangan Allah” untuk memakmurkan alam semestanya sendiri. Inilah makna sesungguhnya dari kata “khalîfah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.
‘Ãrif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan amal tertinggi kita: untuk tugas dan peran apa kita diciptakan. ‘Ãrif terhadap nafs sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
Ku akhiri risalah singkat ini dengan do’a :
اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنِيْ رِزْقًا حَلاَلاً طَيِّباً، وَاسْتَعْمِلْنِيْ طَيِّباً، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ اَوْسَعَ رِزْقِكَ عَلَيَّ عِنْدَ كِبَرِ سِنِّيْ وَانْقِطَاعِ عُمْرِيْ، اَللّٰهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَاَغِْننِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ، اَللّٰهُمَّ اِنِّيْ اَسْأَلُكَ رِزْقًا وَاسِعًا نَافِعًا، اَللّٰهُمَّ اِنِّيْ اَسْأَلُكَ نَعِيْمًا مُقِيْمًا اَلَّذِيْ لاَ يَحُوْلُ وَلاَ يَزُوْلُ .
Allãhummarzuqnî rizqan halãlan thayyibã, wasta’milnî thayyibã. Allãhummaj’al ausa’a rizqika ‘alayya ‘inda kibari sinnî wanqithã’i ‘umrî. Allãhummakfinî bihalãlika ‘an harãmika, wa aghninî bifadhlika ‘amman siwãka. Allãhumma innî as-aluka rizqan wãsi’an nãfi’an. Allãhumma innî as-aluka na’îman muqîman, alladzî lã yahûlu wa lã yazûlu.
“Ya Allah, berilah padaku rezeki yang halal dan baik, serta pakaikanlah padaku segala perbuatan yang baik. Ya Tuhanku, jadikanlah olehMu rezekiku itu paling luas ketika tuaku dan ketika lemahku. Ya Allah, cukupkanlah bagiku segala rezki-Mu yang halal daripada yang haram dan kayakanlah aku dengan karunia-Mu dari yang lainnya. Ya Allah, aku mohonkan pada-Mu rezeki yang luas dan berguna. Ya Allah, aku mohonkan pada-Mu ni’mat yang kekal yang tidak putus-putus dan tidak akan hilang.”
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
__________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita