Home / Relaksasi / Renungan / Menembus Batas Ruang dan Waktu

Menembus Batas Ruang dan Waktu

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Ketakwaan itu lintas batas ruang dan waktu. Sebuah sikap yang secara aktual baik lahir maupun bathin harus tetap tegak di segala kondisi, tempat dan keadaan.

Suatu ketika Rasulullah SAW pernah berpesan,

اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ)

Bertakwalah kamu di mana pun kamu berada, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan dengan budi pekerti (akhlak) yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadits di atas menegaskan bahwa perintah takwa berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Takwa tidak dikhususkan pada waktu-waktu tertentu. Pun, takwa juga tidak dianjurkan hanya pada tempat-tempat tertentu. Dengan kalimat “di mana pun kamu berada”, artinya dalam kondisi apa pun, di tempat mana pun, takwa harus selalu menyertai kita.

Sebuah ironi yang sering tampak dalam kehidupan kita adalah, orang-orang, atau bahkan mungkin diri kita sendiri kelihatan begitu saleh ketika berada di masjid, musholla, majelis taklim, serta tempat-tempat ibadah dan majelis ilmu lainnya. Mereka atau kita tampak khusyuk menjalankan ibadah, serius mendengarkan ceramah, bahkan sering mengajukan pertanyaan seputar masalah keagamaan kepada para kyai dan ustadz. Seolah-olah mereka atau kita adalah para hamba Allah yang betul-betul tekun dan taat menjalankan ajaran agama.

Kenyataan tersebut seringkali berbanding terbalik 180 derajat ketika berada di luar masjid, musholla, majelis taklim atau tempat ibadah dan majelis ilmu lainnya. Perhatikan sikap dan perilaku mereka, perhatikan pula sikap dan perilaku kita sendiri ketika berada di kantor, di tempat kerja, di pasar, di rumah, di jalan. Apakah kita selalu menyertakan takwa dalam diri kita ketika berada di tempat-tempat tersebut? Ketika di kantor, misalnya, apakah kita akan tetap memelihara kejujuran, ketika diberi amanat memegang uang kas kantor dalam jumlah yang sangat besar, sementara kondisi ekonomi keluarga kita sedang karut marut?

Sebagai pedagang, misalnya, apakah kita akan tetap berlaku jujur kepada para pembeli dengan tidak mengurangi timbangan atau takaran, ata berbohong, untuk mendapatkan keuntungan?

Sebagai penegak hukum, misalnya, apakah kita akan berpegang teguh pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih dekat kepada nilai ketakwaan, ataukah kita akan buang nilai-nilai keadilan ke dalam tong sampah, karena diiming-imingi sejumlah uang yang sangat besar?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali kepada diri kita masing-masing.

Kenyataan yang sering kita jumpai adalah bahwa kesalehan ritual yang tampak ketika seseorang berada di tempat-tempat ibadah, seringkali hilang begitu saja segera setelah dia meninggalkan tempat-tempat tersebut.

Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Betapa banyak para pejabat, yang kelihatan rajin menjalankan perintah agama; shalat, puasa, zakat, bahkan haji berkali-kali, tetapi korupsi tetap dijalankan.

Para pedagang, demi mengeruk keuntungan berlipat, tidak jarang berbuat curang kepada para pembeli, yaitu dengan mengurangi timbangan atau takaran, menipu pembeli, bahkan mengatakan sumpah palsu atas nama Allah.

Para pebisnis dan politisi, bahkan rakyat jelata baik pada tataran ekonomi lemah maupun tataran ekonomi kelas kakap, tidak jarang menampilkan sikap ketakwaan hanya pada lingkup tempat-tempat ibadah dan pengajian. Bahkan kadangkala menjadikan tempat ibadah hanya sebagai trend dalam pergaulan semata.

Pertanyaannya, di manakah mereka meletakkan ketakwaan mereka? Tidakkah mereka ingat ancaman Allah dalam salah satu firman-Nya,

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰٓ أَفْوَٰهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ ۞

Al-yauma nakhtimu ‘alâ afwâhihim wa tukallimunâ aidîhim wa tasy-hadu arjuluhum bimâ kânû yaksibûn

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 65)

Tidakkah mereka perhatikan larangan Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ۞

Yâ ayyuhal-ladzîna âmanû lâ ta`kulû amwâlakum bainakum bil-bâthili illâ an takûna tijâratan ‘an tarâdhim mingkum, wa lâ taqtulû anfusakum, innallâha kâna bikum raḥîmâ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa [4]: 29)

Apakah mereka tidak takut dengan ancaman Allah,

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ ۞

Wailul lil-muthaffifîn

Celakalah bagi orang-orang yang curang.” (QS. Al-Muthaffifîn: 1)

Tampaknya, banyak di antara kita yang tidak menyertakan sikap takwa ketika berada di luar tempat-tempat ibadah. Banyak di antara kita yang menanggalkan dan meninggalkan sikap takwa dengan meletakkannya di masjid, musholla, atau majelis taklim. Seringkali takwa tidak pernah diikutkan ketika kita berada di tempat kerja, di kantor, di pasar, di jalan, bahkan di rumah.

Padahal, jelas seperti disebutkan dalam hadits di atas, bahwa sikap takwa harus selalu menyertai kita di mana pun kita berada.

Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar Ibn al-Khaththab berjalan sendirian menyusuri padang rumput. Dari kejauhan terlihat sekawanan kambing dengan seorang penggembala di dekatnya. Umar menghampiri penggembala tersebut dengan tujuan ingin menguji seberapa besar keimanan sang penggembala itu.

Beberapa saat kemudian, terjadilah dialog antara Umar dengan sang penggembala. “Wahai anak muda, bolehkah saya membeli seekor kambing yang sedang kau gembalakan ini?” tanya Umar.

“Maaf Tuan, kambing-kambing ini milik majikan saya. Silakan Tuan bertemu langsung dengan majikan saya jika ingin membeli kambing tersebut. Saya siap mengantar Tuan menemui majikan saya”, jawab si penggembala.

“Oh, tidak usah, saya ingin beli sekarang. Jumlah kambingnya kan cukup banyak. Bagaimana kalau saya beli satu sekor, terus uangnya buat kamu. Bilang saja sama majikan kamu kalau ada srigala yang memangsa seekor kambing miliknya. Lagian, majikan kamu kan tidak tahu”, bujuk Umar.

“Maaf Tuan, memang majikan saya tidak tahu, tapi di mana Allah? Apakah Dia tidak melihatnya. Saya takut berbuat dosa. Karena Allah Maha Melihat.” Jawab si penggembala dengan tegas.

Umar pun takjub dengan tingkat ketakwaan si penggembala tersebut.

Kisah ketakwaan si penggembala ini selayaknya menyadarkan kita. Tidak jarang kita merasa sudah hebat dalam beribadah. Rajin berjamaah di masjid, tidak pernah lepas menjalankan puasa sunnah, sering bersedekah, selalu bangun di tengah malam untuk qiyamul lail, predikat haji pun sudah di sandang. Tetapi ketika menjalani rutinitas duniawi, kita sering lupa dengan larangan Allah.

Kejahatan publik seperti korupsi, memakan hak orang lain, bertindak sewenang-wenang, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, seringkali menjadi hal yang biasa dan wajar-wajar saja.

Kita yang mungkin saat ini punya status sosial yang tinggi di tengah masyarakat, memiliki kekayaan yang lebih dari yang lain, pendidikan yang cukup baik, serta berasal dari keluarga baik-baik, seharusnya malu dengan ketakwaan yang ditunjukkan oleh si penggembala tadi.

Dia begitu teguh menjaga iman dan takwanya kepada Allah SWT. Dia selalu merasa diawasi oleh Allah. Dia tidak silau dengan iming-iming materi yang ditawarkan kepadanya. Dia jaga betul amanat yang diembankan kepadanya. Sikap iman dan takwanya mampu menghancurkan nafsu duniawi yang hadir di hadapannya.

Inilah sikap takwa yang sesungguhnya… Takwa dalam segala kondisi, takwa yang mampu menembus batas ruang dan waktu.

Source: Dinukil dari naskah buku “Berbahagialah; Pesan Al-Qur’an Menggapai Kebahagiaan Hakiki“, Syeikh Nurjati

About admin

Check Also

Kitab Rahasia-Rahasia Puasa

”Selama syahwat itu subur, maka hilir mudik setan pada diri manusia senantiasa ada. Selama pengaruh ...