Konflik politik dan perebutan kekuasaan kerap kita jumpai dalam catatan peradaban manusia. Tidak terkecuali dalam sejarah peradaban Islam.
Bahkan, gejala semacam itu sudah ada sejak era para sahabat yang merupakan generasi terbaik sepanjang perjalanan dunia Islam.
Perseteruan politik antara Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sufyan pada pengujung periode pemerintahan Khulafa Rasyidun menimbulkan sejumlah perang saudara. Di antaranya yang paling terkenal adalah Pertempuran Shiffin yang terjadi pada 37 Hijriah atau hanya berselang 25 tahun pascawafatnya Rasulullah SAW.
Catatan tersebut menunjukkan, konflik berdarah yang melibatkan sesama Muslim sudah ditemukan pada masa-masa permulaan Islam. Benih-benih perpecahan di kalangan umat Islam pada era sahabat semakin berkembang sejak terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan RA di tangan kaum pemberontak pada 17 Juni 656 (18 Dzulhijjah 35 H).
Ali yang kemudian dipilih menjadi khalifah pengganti Utsman, menghadapi situasi negara yang tidak stabil lantaran adanya perlawanan dari beberapa kelompok, termasuk dari Muawiyah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Syam (Suriah).
Muawiyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Utsman, menginginkan supaya pembunuh Utsman diadili. Namun, Muawiyah menganggap Ali tidak memiliki niat untuk melakukan hal tersebut, sehingga gubernur Suriah itu pun memberontak terhadap sang khalifah.
Menanggapi pemberontakan Muawiyah, langkah pertama yang diambil Ali adalah mencoba menyelesaikan masalah secara damai, yakni dengan mengirimkan utusannya ke Suriah.
“Proses negosiasi tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga Ali pun memutuskan untuk memadamkan pemberontakan Muawiyah lewat jalan perang,” tulis pengamat sejarah Islam asal India, Akramulla Syed, dalam artikelnya, The Battle of Islam at Siffin.
Untuk menghadapi Muawiyah, Khalifah Ali mengirim pasukan sebanyak 90 ribu tentara ke Syam yang dibagi menjadi tujuh unit. Sementara, Muawiyah yang didukung oleh 120 ribu prajurit juga membagi pasukannya menjadi tujuh kelompok.
Ketika pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di wilayah Shiffin, kedua pihak langsung mengambil posisi siaga. Namun, sebelum berperang, kedua kubu terlebih dulu mengirim utusannya masing-masing untuk melakukan perundingan, dengan harapan pertempuran bisa dihindari.
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan, Abu Muslim al-Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan mengatakan, “Apakah engkau menentang Ali?”
Muawiyah lantas menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah daripada aku. Akan tetapi, seperti yang kalian ketahui Utsman terbunuh dalam keadaan terzalimi, sedangkan aku adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepada Ali, serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya.”
Namun, Ali tetap tidak mau mengabulkan permintaan Muawiyah tersebut atas pertimbangan kemaslahatan.
Negosiasi kembali menemui jalan buntu, sehingga perang pun tak terelakkan lagi. Kontak senjata yang paling sengit antara kubu Ali dan Muawiyah berlangsung di tebing Sungai Furat selama tiga hari, yakni dari 26-28 Juli 657 (9-11 Safar 37 H).
Pertempuran inilah yang di kemudian hari dikenal dengan Perang Shiffin.Sejumlah sahabat yang memimpin pasukan di pihak Ali antara lain adalah Malik al-Ashtar, Abdullah Ibnu Abbas, Ammar bin Yasir, dan Khuzaimah bin Tsabit. Sementara, pasukan Muawiyah diperkuat oleh Amr bin Ash dan Walid bin Uqbah.
Pertempuran sengit yang berkecamuk sepanjang hari menyebabkan banyaknya korban yang berjatuhan di kedua belah pihak, terutama di kubu Muawiyah.
Kendati demikian, Ali juga kehilangan beberapa sahabat terkemuka Rasulullah SAW yang ikut mendukungnya dalam perang tersebut.
Di antara mereka adalah Hasyim bin Utba dan Ammar Yasir. Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain.
Kendati demikian, sejarawan klasik asal Inggris, Gibbon Edward dalam bukunya The History of the Decline and Fall of the Roman Empire menuturkan, jumlah tentara yang tewas di kubu Ali diperkirakan sebanyak 25 ribu orang, sedangkan di pihak Muawiyah mencapai 45 ribu orang.
Terbunuhnya Ammar bin Yasir membuat kubu Ali dan Muawiyah merasa terguncang, sehingga keduanya pun sepakat untuk berdamai. Mereka juga mengkhawatirkan wilayah perbatasan yang sedang lemah dan bisa diserang kapan saja oleh pasukan Persia dan Romawi Timur (Byzantium).
Pertempuran Shiffin berakhir imbang. Perjanjian damai antara Ali dan Muawiyah dibuat berdasarkan Alquran dan Sunnah. Adapun juru runding dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari, sedangkan dari kubu Muawiyah adalah Amr bin Ash.
Selang beberapa tahun setelah perundingan tersebut, kelompok yang merasa tidak puas dengan Ali merencanakan pembunuhan terhadap sang khalifah. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW itu akhirnya wafat pada 21 Ramadhan 40 H setelah diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman ibn Muljam.
Air mata Muawiyah untuk Ali Muhammad Asy-Syallabi dalam bukunya Muawiyah bin Abu Sufyan mengisahkan, saat mendengar kabar tentang kematian Ali, Muawiyah pun menangis.
Istrinya lantas menanyakan mengapa pendiri Dinasti Umayyah itu menagisi orang yang dulu pernah memeranginya.
Muawiyah menjawab, “Kamu sebaiknya diam saja. Kamu tidak mengetahui berapa banyak manusia kehilangan keutamaan, fikih, dan ilmu karena kematiannya (Ali).” Setelah kematian Ali bin Abi Thalib, kekuasaan kekhalifahan diberikan kepada putra tertua Ali yaitu Hasan.
Namun, perseteruan antara keluarga Muawiyah dan Ali ternyata kembali berlanjut. Hasan hanya memerintah beberapa bulan sebelum akhirnya dia membuat perjanjian damai dan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah pada 661.
Sejak itulah Bani Umayyah resmi menguasai peradaban Islam.
Source: Republika
____________________________
Analisis Konflik
Ada banyak ajaran radikalisme dalam buku Sejarah Peradaban Islam di sekolah negeri dan swasta Indonesia. Diantarnya adalah kisah konflik kekuasaan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah ini.
1. Khilafah yang Tertukar
Diceritakan dalam Sejarah Kebudayaan Islam; Muawiyah sebagai gubernur Syam menolak untuk mem-baiat sayyidina Ali sebagai khalifah pengganti Utsman bin Affan yang syahid terbunuh di kota Madinah, sebelum para pemberontak itu ditangkap dan diadili.
Bahkan, Muawiyah mengancam akan mengangkat senjata melawan menantu Nabi Muhammad ﷺ tersebut jika tuntutannya tidak segera dikabulkan serta menuduh Ali adalah dalang dibalik peristiwa berdarah itu.
Karena permintaan “darah dibalas dengan darah” tersebut tidak dikabulkan, pecahlah perang antara 2 sahabat Rasul itu dengan hasil panjang yang melelahkan. Akhirnya tercetuslah ide untuk menurunkan keduanya dari singgasan kekuasaan oleh Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari.
Karena Abu Musa dianggap lebih tua, ia dipersilakan naik ke mimbar terlebih dahulu untuk mengatakan, “Saya mencopot Ali dari jabatan Khalifah”. Begitu juga yang semestinya dikatakan Amr terhadap Muawiyah.
Amr bin Ash pun naik, sebaliknya dia berkata, “Saya juga mencopot Ali sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Musa al-Asy’ari, setelah itu saya tetapkan Muawiyah sebagai khalifah.”
Dari peristiwa inilah muncul kelompok yang dianggap pejuang pembela kebenaran, karena mereka berusaha memadamkan api pertikaian dan perang dengan jihad membunuh 4 tokoh di atas. Mereka dikenal dengan julukan Khawarij.
2. Kepentingan Ahli Sejarah
Coba lihat setelah membaca kisah fiktif yang dikira fakta, apa yang terbesit dalam otak para pelajar? Apalagi cerita ini disampaikan oleh para guru dan ustadz yang juga sudah terkontaminasi.
Mereka akan berfikir;
- para sahabat Rasul –alaihisshalatu wassalam– adalah orang-orang yang jahat.
- Ali adalah orang lemah yang tidak mampu menangkap pemberontak dan tidak dapat membuktikan dirinya tidak bersalah,
- Muawiyah tukang dendam,
- Amr orang yang licik,
- sahabat lain sama saja,
- pengikut mereka bodoh,
- yang benar adalah Khawarij.
Setelah mencerna semua ini, para siswa yang polos akan mulai meragukan agama Islam dan ajarannya yang lembut. Bahkan mereka akan mimilih jalan teroris Khawarij.
3. Fakta
Kisah yang benar adalah sebagaimana yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh.
Abu Musa al-Asy’ari berkata kepada Amr bin Ash saat terjadi tahkim, “Bagaimana engkau melihat perkara ini?”
Abu Musa menjawab, “Saya memandangnya termasuk orang yang diridhai Rasulullah saat wafat.” –yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib.
Amr bin Ash berkata, “Kalau begitu dimana engkau menempatkan saya dan Muawiyah?”
Abu Musa menjawab, “Jika Ali meminta bantuan kepada kalian berdua, maka kalian harus membantunya. Namun, jika dia tidak butuh kalian berdua, maka telah sekian lama urusan Allah tidak butuh pada bantuan kalian berdua”.
Setelah itu selesailah konflik dengan keputusan seperti di atas, kemudian Amr bin Ash kembali ke Gubernur Muawiyah dengan membawa kabar ini dan Abu Musa pun kembali ke Khalifah Ali dengan membawa kabar dan keputusan yang sama.
Sementara riwayat yang masyhur dalam poin pertama tadi tidak diragukan lagi kepalsuannya dengan bukti terdapatnya sanad Abu Mikhnaf yang dhaif karena ia dinyatakan sebagai pembohong setelah diadakan penelian oleh para ulama.
4. Pemerintahan yang Paripurna
Khalifah umat Islam tidak mungkin dicopot begitu mudahnya oleh Abu Musa al-Asy’ari dan tidak pula oleh orang lain, apalagi hanya dengan angkat suara di atas mimbar.
Yang benar adalah keduanya sepakat untuk menetapkan Ali tetap menjadi Khalifah amirul mu’minin dan mempertahankan Muawiyah sebagai gubernur di Syam.
Setelah peristiwa itu Ali bin Abi Thalib tetap memimpin kekhilafahan selama 4 tahun hingga akhirnya dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam yang tidak puas dengan keadilan dan ijtihad Ali.
Kemudian kaum muslimin secara aklamasi mengangkat al-Hasan sebagai khalifah setelah Ali bin Abi Thalib. Sementara itu, Muawiyah tetap mengembat amanat sebagai gubernur untuk provinsi yang terdiri dari Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon.
Selang 6 bulan memimpin umat Islam, sayyidina Hasan melihat masih ada peluang-peluang konflik politik, akhirnya beliau mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkan amanat berat itu kepada Muawiyah bin Abu Sufyan.
Tahun itu dijuluki oleh kaum muslimin dengan Amul Jamaah (tahun persatuan). Kaum Muslimin bergembira dengan adanya persatuan ini setelah mengalamin konflik panjang, 6 tahun di masa Utsman dan 4 tahun di masa Ali.
Kejadian ini juga menjadi bukti kebenaran sabda Rasulullah ﷺ,
إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ المُسْلِمِينَ
“Cucuku ini (Hasan bin Ali bin Abi Thalib) sungguh akan menyatukan dua kelompok besar kaum Muslimin”. (al-Bukhari)
Kelompok kaum muslimin di bawah komando sahabat mulia ar rasyid Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dan kelompok kaum muslimin di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu anhuma. Dua kelompok besar ini bersatu berkat jasa Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma.
Setelah itu kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan menaklukkan negeri-negeri. Mereka hidup di bawah keadilan sang pemimpin.
Sampai-sampai ada ulama yang mengatakan, “Ini adalah Al-Mahdi” mungkin beliau menyamakannya dengan keadilan yang memenuhi bumi yang akan dibawa oleh Imam Mahdi di akhir zaman.
5. Kejadian Unik Surat Romawi
Setelah Khalifah Utsman syahid, Khalifah Ali diminta mengisi kekosongan untuk mencegah huru-hara yang lebih besar. Sebagaimana kita ketahui betapa berbahayanya vacuum of power.
Tapi Muawiyah menolak membaiatnya sebelum pembunuh Utsman mendapat hukuman qishas. Cuma sebatas itu. Sungguh Muawiyah tidak ingin merebut kekuasaan, ia hanya meminta haknya. Bahkan Muawiyah tidak mengirim pasukannya ke Madinah.
Tidak lama, sengketa antara Ali dan Muawiyah itu terdengar hingga Romawi. Melihat perhelatan khilafah islamiyah yang begitu hebat dan pesat serta membahayakan kekuasaanya, Kaisar Romawi pun merasa inilah kesempatan untuk merobohkan pemerintahan yang dibangung berdasarkan kurikulum Nabi.
Ia pun mengirim surat pada Muawiyah yang isi diantarnya, “Jika kau mau, aku bisa bawa kepala Ali kehadapanmu”.
Dengan tegas Muawiyah membalas surat itu, “Apa urusanmu dengan dua saudara yang sedang bertengkar. Aku dapat mengirim pasukan yang ujung paling belakangnya di depan masjidku dan ujung paling depannya di depan istanamu. Jika engkau mau aku bisa bawakan kepalamu kehadapan Ali.”
Ketahuilah, mereka semua bersaudara dengan iman. Mereka adalah sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang telah mendapat ridha dan rahmat Allah sebagaimana terkmaktub dalam al-Quran:
وَالسَّابِقُوْنَ اْلأَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Orang-orang terdahulu lagi berislam diawal dakwah Rasulullah, yakni orang-orang muhajirin dan Ansar serta mereka yang mengikuti setelahnya dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (َQS. at-Taubah: 100)
Bahkan Rasul –shallallahu alaihi wa sallam– telah menjamin dan memberikan garansi kualitas para sahabatnya.
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya” (al-Bukhari, Muslim).
Melihat betapa mulia mereka di hadapan Allah dan Rasul-Nya, tidak mungkin mereka bertikai karena nafsu, menipu dan memperebutkan dunia. Kecuali, kita meragukan kebenaran firman Allah dan sabda Rasul.
Al-Qadhi Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim, “Muawiyah termasuk sahabat utama dan shalih. Adapun perangan yang terjadi antara dirinya dengan Ali, sebabnya adalah takwil dan ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat dan benar”.
Sudah saatnya kita mengubah pemahaman keliru kita dalam buku sejarah Islam yang lama. Akhirnya saya tutup ulasan ini dengan statement Hasan bin Ali sebagai pemimpin pemudan surga ketika ditanya oleh orang-orang Muslim, “Mengapa anda serahkan kepemimpinan kepada Muawiyah?”
Beliau menjawab,
“Dulu, saat ayahku, Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah berhadapan, yang ada di hadapan mata mereka masing-masing adalah akhirat. Tetapi, hari ini ketika kita saling berhadapan dengan Muslim lainnya, di mata kita adalah dunia, bukan akhirat.”
Source: Openulis