“Jika Allah bisa merubah ahli maksiat menjadi seorang yang taat, bisakah Allah merubah seorang yang mulia menjadi hina?”
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Dikisahkan suatu ketika Syekh Abdul Qadir al-Jaelani bersama para muridnya sedang melakukan perjalanan menuju ke suatu tempat. Di tengah perjalanan, Syekh Abdul Qadir al-Jaelani bertemu dengan salah seorang pemabuk yang sedang mabuk berat.
Tak diduga, pemabuk tersebut menghentikan perjalanan rombongan Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, ia lalu mengutarakan tiga pertanyaan yang membuat Syekh Abdul Qadir al-Jaelani sendiri pun kaget.
“Wahai Syekh, apakah Allah mampu mengubah pemabuk sepertiku menjadi ahli taat?” tanya si Pemabuk.
“Tentu mampu, Allah Mahakuasa.” ujar Syekh Abdul Qadir al-Jalani menjawab.
Kemudian si pemabuk bertanya lagi, “Apakah Allah mampu mengubah ahli maksiat sepertiku menjadi ahli taat setingkat dirimu?”
Dengan penuh kasih sayang Syekh Abdul Qadir al-Jaelani menjawabnya, “Sangat Mampu, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Si pemabuk bertanya kembali, “Apakah Allah mampu mengubah dirimu menjadi ahli maksiat sepertiku?”
Mendengar pertanyaan ketiga, seketika itu Syekh Abdul Qadir al-Jaelani menangis tersungkur dan bersujud kepada Allah.
Murid-murid Syekh Abdul Qadir al-Jaelani pun penasaran dan kebingungan. Lalu mereka memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai Tuan Syekh, apa gerangan yang membuatmu menangis?”
Kemudian Syekh Abdul Qadir al-Jaelani menjawab pertanyaan muridnya dengan penuh perhatian dan hati tergetar, “Betul sekali si pemabuk itu. Pertanyaan terakhir yang menyebabkanku menangis karena takut kepada Allah. Kapan saja Allah mampu mengubah nasib seseorang termasuk diriku. Siapa yang bisa menjamin diriku bernasib baik, meninggal dalam keadaan husnul khãtimah. Pertanyaan itu pula yang mendorongku untuk bersujud dan berdoa kepada Allah agar tidak menjadikanku merasa aman terhadap rencana Allah. Semoga Allah memelihara kesehatanku dan menutupi aibku.”
Hikmah yang bisa diambil dari kisah di atas mengingatkan kita agar tidak mudah merasa aman dengan amal yang kita miliki, tidak tertipu dengan kedudukan dan jabatan kita, tidak jumawa dengan ilmu yang kita miliki, karena Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu yang Ia kehendaki termasuk mengubah seseorang kapanpun dan di mana pun Ia berkehendak.
Maka senantiasalah berdoa dalam sujud atau pada saat setelah membaca tahiyat akhir ketika shalat:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ وَعَلَى مَحَبَّتِكَ وَعَلَى مَحَبَّةِ رَسُوْلِكَ
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu, pada cinta-Mu dan pada cinta Rasul-Mu”.
Demikianlah kisah pertemuan Syekh Abdul Qadir dengan seorang pemabuk, sekelas beliau saja sangat khawatir dengan dirinya dan tidak pernah bangga dengan maqam kewaliannya. Bagaimana dengan kita yang belum jelas kedudukannya di sisi Allah? Wallãhu a’lam.
Sumber: sanadmedia.com