Coba ada berita tentang seorang selebriti yang melahirkan, atau tentang sepak bola, tentang seorang pemimpin yang tidak waras atau ulah seorang teroris. Media kita langsung memberi respons.
Tidak kali ini. Kali ini media kita sama sekali tidak memberi respons. Lucu, aneh….. Apakah kebahagiaan masih penting bagi Manusia Indonesia? Apakah kita pun mencarinya sebagaimana orang-orang di Barat dan belahan dunia lainnya, barangkali di Asia juga, mendambakannya?
Jangan-jangan kita tidak memahami makna kebahagiaan. Atau, barangkali kita memang belum membutuhkannya. Mungkin kita masih mengejar kenyamanan. Ya, kenyamanan. Dan, kenyamanan itu kita anggap sudah cukup untuk membahagiakan. Barangkali kenyamanan itu kita anggap kebahagiaan.
Media di luar yang mengangkat perkara kebahagiaan ini tidak tanggung-tanggung. Termasuk diantaranya BBC dan NEWSWEEK. Beberapa data yang mereka berikan sungguh menarik:
• Polling yang diadakan di Inggeris pada tahun 1957 menyatakan bahwa 52% diantara para responden merasa sudah cukup bahagia. Tahun ini, hanyalah 36% yang merasa bahagia. Padahal dalam 50 tahun terakhir penghasilan Manusia Inggeris telah meningkat hingga 3 kali lipat.
Trend menurunnya tingkat kebahagiaan ini, sebagaimana diberitakan oleh BBC, tercatat pula di Amerika Serikat. Berarti, bertambahnya kekayaan, harta, dan tabungan tidak menjamin kebahagiaan. Bahkan, membuat manusia lebih sengsara. Aneh kan!
Hasil Survei menunjukkan bahwa skala kebahagiaan manusia Inggeris dan Amerika Serikat menurun drastis sekitar tahun 1970 – dari 50% menjadi 30%. Setelah itu terjadilah penurunan teratur sebesar 2-3% setiap dekade.
Padahal dekade 1970-an adalah dekade kemajuan tekonologi dan sains. Sarana Hiburan bertambah. Dan, kita memasuki Era Komunikasi Global sebagaimana tak terbayangkan sebelumnya.
• Penurunan drastis tingkat kebahagiaan ini mendorong beberapa organisasi swasta maupun pemerintah untuk mengadakan penelitiaan lebih lanjut. BBC kembali mengadakan polling: Apa yang semestinya menjadi Tujuan Utama pemerintah? Kekayaan Materi bagi Rakyat, atau Kebahagiaan Sejati – 81% Responden menjawab bahwa semestinya Kebahagiaan menjadi agenda utama pemerintah. Hanyalah 13% yang masih mendukung Kekayaan Materi sebagai Agenda Utama.
Tidak berarti “uang tidak penting”. Uang tetap penting, tetapi uang bukanlah segalanya. Bila uang dapat membahagiakan maka semestinya orang kaya tidak pernah menderita, walaupun sakit. Ternyata tidak demikian. Orang sakit, tak peduli kaya atau miskin, tetap saja menderita.
Ketika seseorang jatuh sakit, harta seberapapun jua tidak dapat membahagiakannya. Saat itu, adalah kesehatan yang dibutuhkannya. Dan, Kesehatan tidak dapat dibeli dengan uang. Uang hanya dapat membeli obat-obatan. Uang dapat memastikan bahwa si kaya memperoleh bantuan medis yang terbaik. Namun, semuanya itu tetap tidak menjamin pemulihan kesehatan.
Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat dibeli dengan uang. Adakah kita mengajarkan hal ini kepada anak-anak kita? Seorang anak yang ingin menjadi dokter ditanya “kenapa”? Dengan enteng ia menjawab, “Supaya bisa beli mobil besar, jadi kaya.”
Idolanya adalah dokter keluarga yang memang memiliki mobil besar, rumah besar, sekaligus kepala besar!
Idola anak-anak kita adalah para selebriti, bintang film dan sinetron yang serba wuaah. Idola mereka adalah para politisi dan pejabat, bukan karena mereka adalah pelayan dan pengabdi masyrakat, tetapi karena mereka memiliki uang banyak.
Adakah yang salah dengan sistem pendidikan kita?
• Para responden di Inggeris menjawab “Ya”. Dan, lebih dari 50% mengharapkan bahwa sistem pendidikan haruslah berorientasi pada Kebahagiaan, tidak pada Kekayaan.
Berarti, sejak usia dini anak-anak kita sudah harus diperhatikan supaya tidak keluar dari jalur. Supaya tidak menempatkan kekayaan, uang, dan harta diatas segalanya. Orientasi sistem pendidikan kita sudah saatnya dirubah.
Seorang teman pernah mengomentari saya: “Lha, di negeri kita kan orientasinya sudah tepat. Untuk menciptakan manusia yang bertakwa…..”
Ya, tetapi takwa itu pun dikaitkan dengan pahala di surga – surga yang lagi-lagi penuh dengan kenikmatan “mirip” duniawi. Dan, persis disinilah letak persoalan kita. Kita masih belum dapat membedakan Kebahagiaan Sejati atau yang disebut Bliss dalam bahasa Inggeris dan Aananda dalam bahasa Sanskrit dan Jawa Kuno dari Kenikmatan Indera dan Kenyamanan Jasmani.
Kenikmatan indera membutuhkan pemicu di luar. Telinga membutuhkan suara-suara yang disenanginya. Hidung membutuhkan aroma pilihan. Mata ingin melihat tayangan yang mengasyikkan. Lidah ingin mencecapi sesuatu yang enak. Dan, kulit kita ingin diraba, dielus-elus. Dan, untuk semuanya itu materi memang dibutuhkan.
Pun kenyamanan jasmani membutuhkan materi. Jangankan ranjang yang empuk, untuk ranjang biasa saja kita membutuhkan fulus.
Lalu, apakah kenikmatan indera dan kenyamanan jasmani itu tidak penting? Penting juga, asal kita sadar bahwa semuanya itu “tidak dapat” membahagiakan. Silakan memanjakan diri dengan segala macam sarana yang dapat menyamankan tubuh dan memberi kenikmatan kepada indera. Tidak ada yang salah dengan semuanya itu, asal kita ingat bahwa sarana-sarana itu tidak langgeng, tidak kekal, tidak abadi – maka tidak dapat membahagiakan manusia untuk selamanya.
Ketika hal ini tidak disadari manusia, maka ia pun mencari kebahagiaan dari benda-benda dan sarana-sarana di luar diri. Ia menyalahartikan kenikmatan indera dan kenyamanan tubuh sebagai kebahagiaan. Kemudian, ketika indera tidak mampu menikmati lagi, ketika tubuh sudah tidak bisa nyaman lagi – maka seluruh sarana dan benda-benda yang telah kita kumpulkan selama ini kehilangan arti. Saat itu, kita menjadi frustrasi. Kita mengalami depresi. Kita tidak tahu harus apa lagi.
Maka, saya sungguh salut pada responden di Inggeris yang mengharapkan agar seluruh sistem pendidikan berorientasi pada nilai-nilai yang membahagiakan manusia. Bukan pada kenikmatan dan kenyamanan sesaat yang dapat diperoleh dari materi.
Itu di Inggeris. Itu di Barat, yang selama ini kita anggap sangat materialis. Jangan-jangan bandulan sudah berpindah arah. Jangan-jangan, saat ini justru Barat-lah yang spiritual. Dan, kita, Orang Timur malah menjadi materialis.
Minggu depan kita akan melanjutkan pembahasan ini…….
Radar Bali, 7 Juni 2007