Home / Agama / Kajian / Memuji Belum Tentu Terpuji

Memuji Belum Tentu Terpuji

“Seringkali orang ketika dipuji menjadikannya lemah dari berbuat kebaikan dan merasa puas dengan diri sendiri akhirnya tergiring bersikap sombong. Orang sombong melemahkan kesungguhan dalam beramal”.

Oleh: Tgk Alizar Usman*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Pujian biasanya diberikan sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan yang tulus atas sesuatu yang dianggap baik, yang telah dilakukan seseorang. Tidak dapat dipungkiri, manusia pasti memiliki keinginan untuk dipuji oleh orang lain atas kebaikan yang dilakukan atau keberhasilan yang telah diraih.

Selain itu, manusia juga kerap memuji kebaikan atau keberhasilan orang lain. Biasanya, pujian dapat memberikan dampak yang positif bagi si penerima. Namun, terkadang memuji orang lain justru bisa menjadi suatu sikap tercela yang tidak baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Oleh karena itu, pujian dapat diibaratkan seperti madu dan racun, karena terasa manis di mulut ketika diucapkan tetapi mengandung racun yang dapat membuat orang yang dipuji menjadi binasa.

Dalam membahas tentang memuji orang lain ini, Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar membaginya dalam dua golongan, yaitu (1) memuji orang lain di hadapannya; dan (2) memuji orang lain tanpa kehadirannya atau tidak di hadapannya. Imam al-Nawawi mengatakan,

اِعْلَمْ أنَّ مَدْحَ الْإِنْسَانِ وَالثّنَاءَ عَلَيْهِ بِجَمِيْلِ صِفَاتِهِ قَدْ يَكُوْنُ فِي وَجْهِ الْمَمْدُوْحِ، وَقَدْ يَكُوْنُ بِغَيْرِ حُضُوْرِهِ، فَأَمَّا الَّذِيْ فِي غَيْرِ حُضُوْرِهِ فَلَا مَنْعَ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يُجَازِفَ الْمَادِحُ وَيَدْخُلُ فِي الْكَذِبِ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ بِسَبَبِ الْكَذِبِ لَا لِكَوْنِهِ مَدْحًا، وَيُسْتَحَبُّ هَذَا الْمَدْحُ الَّذِيْ لَا كَذْبَ فِيْهِ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ مَصْلَحَةٌ وَلَمْ يَجُرُّ إِلَى مَفْسَدَةٍ بِأَنَّ يَبْلُغَ الْمَمْدُوْحَ فَيُفْتَتَنُ بِهِ، أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ

Ketahuilah, sesungguhnya pujian manusia dan sanjungan atasnya dengan menyebut kebaikan sifat-sifatnya, kadang-kadang di hadapannya dan kadang tanpa kehadirannya. Adapun pujian tanpa kehadirannya, maka tidak ada larangan kecuali yang memuji secara serampangan dan dapat masuk dalam kategori berdusta. Maka haram atasnya dengan sebab kedustaannya, bukan dengan sebab memuji. Dianjurkan memuji seperti ini yang tidak ada unsur dusta apabila datang kemaslahatan padanya dan tidak akan terjadi mafsadah (kerusakan), yaitu sampai berita pujian tersebut kepada orang yang dipuji, lalu muncullah fitnah dengan sebabnya atau lainnya. (Al-Adzkar: 433)

Sebagaimana penjelasan Imam al-Nawawi di atas, bahwa tidak ada larangan memuji orang lain apabila memujinya itu tidak di hadapannya atau tanpa kehadirannya. Namun demikian, apabila memujinya ini ada unsur dusta, maka ini menjadi haram. Adapun keharamannya itu bukan karena memuji, tetapi karena unsur dusta. Bahkan memuji orang lain tanpa ada unsur dusta menjadi suatu yang dianjurkan apabila ada kemaslahatan dengan pujiannya itu dan tidak mengakibatkan suatu yang tidak baik. Misalnya seorang ayah memuji pekerjaan anaknya, di mana dengan pujiannya itu diharapkan dapat menambah motivasi dia bekerja. Ini tentu suatu yang dianjurkan dan baik.

Kemudian Imam al-Nawawi melanjutkan,

وَأَمَّا الْمَدْحُ فِي وَجْهِ الْمَمْدُوْحِ فَقَدْ جَاءَتْ فِيْهِ أَحَادِيْثُ تَقْتَضِي إِبَاحَتَهُ أَوْ اِسْتِحْبَابَهُ، وَأَحَادِيْثُ تَقْتَضِي الْمَنْعَ مِنْهُ، قَالَ الْعُلَمَاءُ وَطَرِيْقُ الْجَمْعِ بَيْنَ الْأَحَادِيْثِ أَنْ يُقَالَ: إِنْ كَانَ الْمَمْدُوْحُ عِنْدَهُ كَمَالُ إِيْمَانٍ وَحُسْنُ يَقِيْنٍ وَرِيَاضَةُ نَفْسٍ وَمَعْرِفَةٌ تَامَّةٌ بِحَيْثُ لَا يُفْتَتَنُ وَلَا يُغْتَرُّ بِذَلِكَ وَلَا تُلْعَبُ بِهِ نَفْسُهُ فَلَيْسَ بِحَرَامٍ وَلَا مَكْرُوْهٍ، وَإِنْ خِيْفَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمُوْرِ كُرِهَ مَدْحُهُ كَرَاهَةً شَدِيْدَةً

Adapun  memuji orang yang berada di hadapan kita ada beberapa hadits yang memberi petunjuk membolehkannya atau menganjurkannya dan ada pula hadits-hadits yang melarangnya. Para ulama berkata, cara mengkompromikan beberapa hadits tersebut adalah bila orang yang dipuji sempurna keimanannya, keyakinannya bagus, terlatih jiwanya dan pengetahuannya sempurna, sekira-kira tidak ada fitnah dan lalai bila dipuji dan hatinya juga tidak goyah, maka memuji tidak haram dan tidak pula makruh. Kalau dikhawatirkan hal-hal seperti itu akan terjadi, sangat dimakruhkan memujinya. (Al-Adzkar: 433-435)

Adapun hadits-hadits yang disebut oleh Imam al-Nawawi dalam Kitab al-Adzkar antara lain:

1. Hadits yang melarang memuji orang lain

Nabi SAW bersabda;

إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِيْنَ فَاحْثُوْا فِي وُجُوْهِهِمْ التُّرَابَ

“Apabila kalian melihat orang yang memuji, maka taburlah debu di wajahnya.” (H.R. Muslim)

Dari Abu Musa al-Asy’ariy r.a, beliau berkata;

سَمِعَ النَّبِيُّ صلعم رَجُلًا يُثْنِيْ عَلَى رَجُلٍ وَيُطْرِيْهِ فِي الْمِدْحَةِ، فَقَالَ أَهْلَكْتُمْ أوْ قَطَعْتُمْ ظَهْرَ الرَّجُلِ

“Nabi SAW pernah mendengar seseorang menyanjung temannya yang lain, dia berlebihan memujinya. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kalian telah binasa” atau “Kamu telah memotong punggung laki-laki itu”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dari riwayat Abu Bakrah r.a. menceritakan;

أَنَّ رَجُلًا ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صلعم فَأَثْنَى عَلَيْهِ رَجُلٌ خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلعم وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ ـ يَقُوْلُ لَهُ مِرَارًا ـ إنْ كَانَ أحَدُكُمْ مَادِحًا لَا مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أحْسِبُ كَذَا وَكَذَا إنْ كَانََ يَرَى أَنَّهُ كَذَلِكَ وَحَسِيْبُهُ اللّٰهُ وَلَا يُزَكِّي عَلَى اللّٰهِ أَحَدًا

Ada seseorang di hadapan Nabi SAW menyanjung kebaikan orang lain, maka Nabi SAW bersabda “Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian harus memuji, maka ucapkanlah, “Saya kira si fulan demikian kondisinya”. Jika dia menganggapnya demikian. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah. (Muttafaqun ‘Alaihi)

2.  Hadits yang mengisyaratkan kebolehan memuji orang lain

Rasulullah SAW pernah bersabda;

يَا أَبَا بَكْرٍ لا تَبْكِ، إنَّ أمَنَّ النَّاسِ عَليَّ في صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أبُو بَكْرٍ، وَلَوْ كُنتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلًا

“Wahai Abu Bakar, jangalah kamu menangis. Sesungguhnya manusia yang paling terpercaya di hadapanku dalam persahabatannya dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengambil kekasih dari ummatku, tentulah Abu Bakar orangnya.” (H.R. Bukhari)

Rasulullah SAW bersabda;

دَخَلْتُ الجَنَّةَ فَرأيْتُ قَصْرًا، فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا؟ قالُوا: لِعُمَرَ، فأرَدْتُ أنْ أدْخُلَهُ فَذَكَرْتُ غَيْرَتَكَ فَقَالَ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: بِأَبِيْ وَأُمِّيْ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، أَعَلَيْكَ أَغَارُ؟

“Aku masuk ke dalam surga, aku melihat di dalamnya istana, maka aku berkata: Milik siapakah ini? Mereka berkata: itu milik Umar. Aku pun hendak memasukinya. Kemudian aku ingat kecemburuanmu, maka Umar pun menangis dan berkata: wahai Rasulullah, apakah terhadap anda pantas untuk dicemburui?”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Sebagaimana sudah dijelaskan Imam al-Nawawi di atas, kandungan makna dua kelompok hadits ini dapat dikompromikan sebagai berikut :

  1. Memuji orang lain di hadapannya apabila diduga pujian tersebut tidak membahayakan keimanan dan ketaqwaan orang yang dipuji, misalnya keadaan orang yang dipuji tersebut keimanannya kuat, keyakinannya bagus, terlatih jiwanya dan sempurna pengetahuannya, sehingga diduga tidak akan memunculkan penyakit hati seperti ‘ujub, takabbur dan tidak memunculkan fitnah serta tidak goyang hatinya dengan sebab pujian, maka pujian tersebut tidak haram dan tidak juga makruh.
  2. Kalau ada kekuatiran hal-hal seperti itu akan terjadi, maka sangat dimakruhkan memujinya.

Dampak negatif pujian

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali membagi dampak negatif pujian dalam dua kelompok, yaitu dampak negatif dari sisi orang yang memuji dan dampak negatif dari sisi orang yang dipuji.

Adapun dampak negatif dari sisi orang yang memuji adalah sebagai berikut :

  1. Pujian itu kadang-kadang dilakukan berlebihan sehingga sampai dalam kategori berdusta dengan pujiannya itu.
  2. Kadang-kadang dalam pujiannya itu masuk unsur ria. Karena terkadang yang memuji melahirkan rasa kasih sayang yang tidak sesuai dengan yang dia sembunyikan dalam hatinya. Maka jadilah dia orang yang ria dan bersikaf munafiq.
  3. Kadang yang dikatakannya itu suatu yang tidak diselidiki kebenarannya dan tidak ada jalan baginya untuk mengetahuinya. Diriwayatkan seseorang memuji orang lain di hadapan Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bersabda:

وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ لَوْ سَمِعَهَا مَا أَفْلَحَ ثُمَّ قَالَ إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ لَابُدَّ مَادِحًا أَخَاهُ فَلْيَقُلْ أَحْسَبُ فُلَانًا وَلَا أُزَكِّي عَلَى اللّٰهِ أَحَدٌ حَسِيْبُهُ اللّٰهُ إِنْ كَانَ يَرَى أَنَّهُ كَذَلِكَ

“Celaka kamu, telah kamu potong leher temanmu. Kalaulah dia mendengarnya, sungguh dia tidak mendapat kemenangan. Kemudian Nabi SAW melanjutkan, kalau ada seseorang di antara kamu harus memuji, maka hendaknya mengatakan, “Aku menduga si fulan begitu dan aku tidak mensucikan seseorang di hadapan Allah. Maka cukuplah Allah baginya seandainya Allah mengetahuinya seperti itu”. (H.R. Ibnu al-Dun’ya)

  1. Kadang-kadang dengan sebab pujiannya menjadikan kegembiraan bagi orang yang dipujinya, padahal yang dipujinya itu adalah orang dzhalim dan fasik. Nabi SAW bersabda :

إِنَّ اللّٰهَ تَعَالَى يَغْضَبُ إِذَا مُدِحَ الْفَاسِقُ

“Sesungguhnya Allah akan marah apabila orang fasik dipuji.” (H.R. al-Baihaqi dan Ibnu Abi Dun’ya)

Adapun dampak negatif dari sisi orang yang dipuji adalah sebagai berikut:

  1. Pujian berpotensi mendatangkan kesombongan dan kebanggaan, sedangkan keduanya ini merupakan sikap yang dapat membinasakan seseorang.
  2. Terkadang orang apabila dipuji dengan suatu kebaikan, dia akan merasa gembira dan lemah dari berbuat kebaikan serta merasa puas dengan diri sendiri. Orang yang menyombong dirinya, maka sedikitlah kesungguhan amalnya. Sesungguhnya orang yang rajin beramal adalah orang yang melihat dirinya serba kekurangan. Adapun apabila sudah lancar lisan orang memujinya, maka dia menyangka sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi.

(Ihya ‘Ulumuddin : III/159-160)

About admin

Check Also

Meraih Rahmat dengan Fitnah

“Setiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain, perlu dimaknai sebagai ...