Home / Agama / Tafsir / Membedah Pemikiran Hermeneutika Abu Zayd Tentang Wahyu (2)

Membedah Pemikiran Hermeneutika Abu Zayd Tentang Wahyu (2)

“Hamid Abu Zayd menawarkan solusi penafsiran kembali khazanah agung Islam, yaitu Al-Quran dan sunah melalui hermeneutika yang diusungnya dan bagaimana menyesuaikannya dengan tuntutan zaman.”

Pandangan Abu Zayd tentang wahyu

Nasr Hamid Abu Zayd menjelaskan pandangannya tentang wahyu secara terperinci dalam satu kitab yang berjudul “Mafhum an Nash” dan juga menyinggungnya dalam beberapa karya yang lain, seperti “Naqdu al Khitab ad Dini” dan “Isykaliyyat al Qira’ah wa Aliyat at Ta’wil”. Di samping itu, dalam beberapa wawancara yang dilakukannya, beliau juga menyampaikan persepsinya tentang wahyu.

Hamid Abu Zayd menawarkan solusi penafsiran kembali khazanah agung Islam, yaitu Al-Quran dan sunah (hadis) melalui hermeneutika yang diusungnya dan bagaimana menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Pandangan hermeneutika yang digagasnya sedikit-banyak dipengaruhi oleh pakar-pakar hermeneutika semisal Gadamer dan ahli-ahli linguistik seperti Ferdinand de Saussure[5] dan Hersh serta khususnya Toshihiko Izutsu[6]. Hamid Abu Zayd melontarkan gagasan pemahaman struktural Al-Quran.

Pertama-tama, kami akan secara langsung menyebutkan pandangan Hamid Abu Zayd tentang wahyu dan selanjutnya kami akan menguraikan metode yang diikutinya dan pada saatnya kami akan menganalisa pandangan-pandangan beliau tersebut.

Hamid Abu Zayd berpandangan bahwa ayat 51 surah asy Syura, “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki,” adalah berkaitan dengan Kalam Ilahi, bukan bermakna wahyu dalam pandangan umum—sebagaimana yang telah kami uraikan di atas. Berdasarkan ayat ini, Kalam Ilahi ada tiga macam:

a-Wahyu yang bermakna ilham «…إِلَّا وَحْيًا…».

b-Berbicara di belakang hijab (tabir) «…أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ…» dimana hal ini hanya terjadi pada peristiwa Nabi Musa as.

c-Mengutus rasul (malaikat) yang dengan izin Allah ia mengilhamkan suatu pesan

«..أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ».

Bentuk ketiga ini adalah wahyu yang dijanjikan dimana Jibril mengilhamkan kalimat-kalimat kepada Nabi sebagai wahyu dan bukan menyampaikan qaul (ucapan) wahyu. Ayat:

«نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ»(شعرا /193،194).

“Al-Quran dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy Syu’ara: 193-194)

dan juga ayat:

« ..نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللّهِ..»(بقره/97)

“Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah.” (QS. Al Baqarah: 97)

mendukung dan sesuai dengan pandangan tersebut.

Ilham bukan berarti berbicara dengan suatu bahasa; Ilham berkaitan erat dengan ruang lingkup pemikiran dan gagasan, bukan bahasa. Karena itu, Al-Quran adalah kalam (pembicaraan) yang dilafalkan oleh Nabi Saw sendiri yang diwarnai dengan struktur bahasa Arab tetapi kita tidak mengetahui asal-muasal kalam ini dari model/bentuk apa. Al-Quran al Karim adalah penjelasan bahasa dan pribadi Nabi yang berasal dari pengalaman spiritual dan kenabiannya. Maka di sini, wahyu Islam pada tingkat tertentu menyerupai wahyu dalam agama Masehi.

Ayat 109 surah al Kahfi yang berbunyi:

«قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي…»

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku…,”

ingin mengatakan kepada kita bahwa Kalam Ilahi tidak hanya terbatas pada wahyu religius yang diterima para nabi. Maka dalam kondisi seperti ini, wahyu dan ilham memiliki makna yang umum. Allah mengilhamkan dan mewahyukan kepada setiap manusia dan bahkan seluruh maujud/makhluk, namun dalam hal ini Dia tida mengutus malaikat. Kalam Ilahi bagi seluruh manusia harus dianggap sebagai wahyu dan ilham. Jadi, Kalam Ilahi itu mencakup seluruh wujud. Dan setiap dari kita—tergantung pada potensi masing-masing—mendapatkan Kalam Ilahi tersebut. Pandangan demikian ini memperkuat hubungan manusia dengan seluruh alam wujud.

Hamid Abu Zayd memaparkan pembahasan tentang pluralistik dan perbedaan qiraat; Riwayat yang terkait dengan penulisan Al-Quran; Pandangan Asya’irah bahwa Kalamullah (Al-Quran) itu qadim (dahulu), sedangkan beliau berpandangan bahwa ia adalah hadits (baru); Pandangan Mu’tzailah yang menyatakan bahwa Al-Quran itu hadits (baru); Dan yang lebih penting dari semua itu, dialektika matn (teks) dan realitas sebagai pendukung gagasannya.

Pandangan dialektika teks dan realitas Abu Zayd diambil dari Roman Jakobson[7].

Beliau berpandangan bahwa bagaimana mungkin Tuhan yang di luar sejarah berbicara/berdialog, sementara proses belajar-mengajar itu memerlukan pembicara dan penerima (pendengar). Karena itu, harus ada alam dan makhluk dan teks tidak mampu memengaruhi budaya yang jauh setelahnya, kecuali bila memang ia (teks) dilahirkan di zaman budaya itu. Ketika mengirim wahyu, Allah memilih sistem bahasa khusus yang disampaikan kepada penerima pertama yang dipilih-Nya. Di samping itu, pembicaraan dan bahasa tidak mungkin berpisah dari budaya. Sebab, setiap teks berada dalam ruang lingkup sistem bahasa yang dianutnya. Hubungan teks dan budaya bersifat dialektis. Yakni, dari satu sisi teks terpengaruh oleh suatu budaya dan dari sisi lain ia yang memengaruhi.

Karena itu, Al-Quran berhubungan erat dengan budaya bangsa Arab di zaman itu dan sebagai produk dari budayanya, namun tentu saja budaya Al-Quran adalah budaya superior dimana ia memiliki kemampuan untuk mengubah budaya yang ada saat itu. Teks Al-Quran ini tidak hanya pasif dan sebagai budaya yang diam, sebab bila demikian halnya maka ketika budaya itu mati ia pun ikut mati, tetapi Al-Quran adalah budaya kita yang hidup dan bergerak.

Al-Quran demikian aktifnya; Yakni, pertama ia merekontruksi budaya dengan cara yang efektif; Unsur-unsur negatifnya dihilangkan dan unsur-unsur baru ditambahkan. Kedua, setelah teks ini dominan dan tampil sebagi pemenang di masyarakat maka ia memengaruhi secara kuat realitasnya sendiri.

Berkenaan dengan urgensi dan pentingnya metode yang diusulkannya, Hamid Abu Zayd berpandangan bahwa satu-satunya jalan untuk melakukan penelitian ilmiah adalah kita harus mengkaji Kalam Ilahi melalui kandungan-kandungannya dalam ruang lingkup sistem budaya yang ia tumbuh/berkembang di situ.

Studi Kritis Pandangan Hamid Abu Zayd

Pandangan Hamid Abu Zayd tentang esensi wahyu Al-Quran dan metode pemahamannya perlu diperdebatkan dan dikritisi. Meskipun Hamid Abu Zayd mengklaim bahwa pandangan religius yang diusungnya diklaimnya elegan, analisis dan berdasarkan penafsiran/hermeneutika orientik dan ilmiah, namun sayangnya ia tidak mampu menunjukkan dalil-dalil yang cukup untuk menunjukkan bahwa metodenya memang ilmiah.

Untuk menangkap makna dan maksud teks tidak cukup hanya mengandalkan penafsirnya, namun di samping penafsir, juga perlu diperhatikan maksud pembicara. Hamid Abu Zayd tidak menyampaikan dalil yang akurat saat mengabaikan aspek penting teks ini dan ia tidak boleh hanya karena pemuka-pemuka agama sering menegaskan tentang maksud pengarang dan pelbagai konsekuensinya lalu ia menyingkirkan salah satu aspek penting dalam memahami teks. Pandangan beliau ini pada akhirnya menyeretnya pada pluralisme tak tarbatas teks, tidak menunjukkan tolok ukur valid tidaknya pluralisme religius dan sudah barang tentu mengundang relativisme.

Pandangan Hamid Abu Zayd terkait dengan pemahaman teks diinspirasi oleh pandangan peleburan horizon teks dan penafsir Gadamer. Maka, seluruh kritikan ilmiah yang tertuju kepada Gadamer pun tertuju kepadanya, seperti menyebabkan pluralisme teks, tidak menunjukkan barometer kebenaran dan kebohongan, penafsiran tak terhingga teks, relativisme mutlak dll.

Dengan memperhatikan aspek i’jaz (mukjizat) dan tahaddi (tantangan) Al-Quran, penggunaan ungkapan seperti “qaul” (ucapan)[8], “qiraat” (bacaan)[9], “tilawat”[10], “tartil”[11] berkaitan dengan wahyu, Nabi tidak memiliki wewenang untuk mengubah Al-Quran[12], kepercayaan kepada Nabi dalam penjagaan dan perlindungan Al-Quran[13], perbedaan mencolok antara ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis nabawi serta bukti-bukti sejarah, berdasarkan semua fakta di atas maka lafal-lafal Al-Quran itu adalah wahyu, dan bukan bikinan Nabi.

Pandangan bahwa lafal-lafal Al-Quran itu bukan wahyu akan berdampak pada penafian kesucian lafal-lafal Al-Quran, juga penafian kemukjizatan Al-Quran (khususnya mukjizat penjelasan Al-Quran) serta pengabaian kedudukan Al-Quran sebagai rujukan dalam memahami agama.

Hamid Abu Zayd di satu sisi berpandangan bahwa agama dan pengetahuan/pemahaman agama itu tidak boleh disamakan atau disatukan. Sebab menurutnya, agama itu suci dan dari sisi sejarah pasti, sedangkan pengetahuan religius tidak lain hanya pemahaman manusia. Karena itu, ia (pemahaman religius) tidak boleh disucikan dan diterima mentah-mentah.

Namun di sisi lain, ia meyakini bahwa dasar teks sejak masa diturunkan, yakni wahyu Ilahi—melalui pemahaman Nabi—sejak diturunkan, telah berubah menjadi pemahaman manusia, sehingga karenanya tidak boleh ada asumsi yang menyatakan bahwa pemahaman Nabi terhadap Al-Quran saat ini pada hakikatnya teks (baca: wahyu) itu sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa menurut persepsi Abu Zayd, fenomena yang bernama agama yang suci dan diterima dengan sepenuh hati (tanpa perlu diragukan validitasnya) tidak ada pada manusia.

Kami juga menolak pandangan dialektika teks dan realitas Al-Quran serta keyakinan bahwa Al-Quran adalah produk budaya yang terpengaruh oleh budaya zamannya. Sebab, Al-Quran memang mengambil dari sastra dan bahasa kaum Arab, dan hal ini sangat wajar. Namun ini tidak menunjukkan bahwa Al-Quran terpengaruh oleh budaya tertentu. Dengan kata lain, Al-Quran adalah peninjau budaya zamannya, bukan terpengaruh olehnya. Bila Al-Quran berbicara tentang budaya Arab, maka pertama ini tidak berarti bahwa ia mendukung budaya tersebut. Kedua, Al-Quran bahkan banyak berhadap-hadapan dengan budaya tersebut

Allah Swt ingin menjaga level cakrawala pemikiran masyarakat Arab. Al-Quran dari 6336 ayat, hanya 460 ayat yang menyinggung masalah-masalah yang terkadang terbatas dengan sekat zaman dan geografis, tetapi ajaran-ajarannya bersifat universal, global dan luas. Sayangnya Abu Zayd tidak menunjukkan barometer terpengaruhnya Al-Quran dengan budaya zaman dan realitas sosialnya.

Kesimpulan

Pandangan Hamid Abu Zayd tentang peleburan cakrawala teks dan mufasir yang banyak dipengaruhi oleh Gadamer adalah tertolak karena berakibat pada pluralistik tak terhingga teks, tidak adanya tolok ukur benar dan bohong serta pada akhirnya mengundang relativisme mutlak. Metode yang digunakannya berkaitan dengan pemahaman Al-Quran berlandaskan pandangan linguis dan hermeneutika pun tidak dapat diterima. Begitu juga pandangan Hamid Abu Zayd bahwa lafal-lafal Al-Quran itu bukan wahyu justru bertentangan dengan pandangan wahyu dalam Al-Quran dimana konsekuensi dari pandangannya berakibat pada hilangnya kesucian lafal-lafal Al-Quran, penafian mukjizat Al-Quran, pengabaian kedudukan Al-Quran sebagai poros/rujukan dalam agama serta pluralisme religius.

Hamid Abu Zayd memandang bahwa wahyu adalah ilham dan eksperimen religius dan model pandangan seperti ini dapat ditelusuri pada pandangan popular terkait dengan wahyu dalam ajaran Masehi dengan kekhasan sosial, politik dan budayanya dimana tentu saja sangat kontradiksi dengan pandangan wahyu dalam Al-Quran.

Ide sekularnya bahwa setiap aktifitas otak dianggap wahyu dan semua kita adalah nabi dan bahkan wahyu diberikan kepada seluruh maujud adalah tidak benar. Abu Zayd mencampur aduk antara makna kata wahyu yang berarti “menyampaikan sesuatu secara tersembunyi dan cepat” dan makna teologisnya, yaitu wahyu tasyri’i.

Daftar Pustaka:

  • Ulumul Quran, M. Baqir Hakim, penerbit al Huda, Jakarta, Maret 2006
  • Al Mizan, Allamah Thabathaba’i, Qom, Iran
  • Naqdu al Khitab ad Dini, Nasr Hamid Abu Zayd, file Pdf
  • http:.wikipedia.org
  • http://abuthalib.wordpress.com

___________________________________

Catatan Kaki :

[5] Lahir di Jenewa, 26 November 1857 – meninggal di Vufflens-le-Château, 22 Februari 1913 pada umur 55 tahun). Linguis Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika. Karya utamanya, Cours de linguistique générale diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun setelah kematiannya, oleh dua orang mantan muridnya, Charles Bally and Albert Sechehaye, berdasarkan catatan-catatan dari kuliah Saussure di Paris. Konsepnya yang paling terkenal adalah pembedaan tanda bahasa menjadi dua aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie (yang dimaknai). Dalam semiologi, Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai “suatu sistem tanda yang mewujudkan ide” dapat dibagi menjadi dua unsur: langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran), realisasi individual atas sistem bahasa. (http:.wikipedia.org).

[6] Toshihiko Izutsu (4 mei 1914-1 Juli 1993) adalah seorang profesor universitas dan penulis banyak buku tentang Islam dan agama-agama lain. Dia mengajar di Institut Studi Budaya dan Bahasa di Universitas Kairo di Tokyo, Iran Imperial Academy of Philosophy di Teheran, dan McGill University di Montreal. (http://en.wikipedia.org)

[7] Roman Jakobson (lahir 11 Oktober 1896, Moskow- 18 Juli 1982, Boston) adalah seorang ahli bahasa Rusia dan teori sastra. Sebagai pelopor analisis struktural bahasa, yang menjadi tren dominan abad kedua puluh linguistik, Jakobson merupakan salah satu ahli bahasa yang paling berpengaruh abad ini. (http://en.wikipedia.org).

[8] Surah ath Thariq: 3)

[9] QS. An Nahl: 98.

[10] QS. Al ‘Imran: 58.

[11] QS. Al Muzammil: 4.

[12] QS. Yunus: 15.

[13] QS. Al Qiyamah: 16.

Oleh: Muhammad Alcaff

About admin

Check Also

Menakar Ulang Sya’ban sebagai Bulan Turunnya Ayat Shalawat

“Ayat shalawat, dimana terdapat perintah bershalawat kepada Nabi SAW (QS. Al-Ahzab [33]: 56), apakah turun ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *