Home / Agama / Kajian / Membedah Insan Kamil Syaikh Abdul Karim Al-Jilli

Membedah Insan Kamil Syaikh Abdul Karim Al-Jilli

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Syaikh Abdul Karim al-Jili (w. 1424 M) adalah sufi besar asal Baghdad yang memiliki pengaruh cukup luas di nusantara (lebih-lebih lagi di Aceh), terutama dalam bentangan waktu antara abad ke-17 hingga awal akhir abad ke-19. Pengaruh penting sosok ini terletak pada ajarannya yang amat penting tentang “manusia sempurna” (al-Insan al-Kamil). Catatan: ajaran ini sama sekali beda secara mendasar dengan ide Übermensch-nya Nietzsche.

Gagasan ini mendapat sambutan yang lumayan antusias di kalangan para keluarga kerajaan di kawasan nusantara. Dalam tarekat Syattariyah, misalnya, dikenal ajaran mengenai hirarki wujud hingga tujuh tingkat, dan karena itu disebut ajaran martabat tujuh. Wujud ketujuh disebut “insan kamil”. Tarekat Syattariyah, kita tahu, amat populer di kalangan keluarga raja-raja Islam nusantara: Banten, Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta. Konon, bahkan Pangeran Diponegoro amat menggemari dan mendalami ajaran ini.

Di Indonesia, ajaran tentang martabat tujuh dan insan kamil ini dipopulerkan oleh para ulama seperti Abdurrauf Singkel (w. 1693) dari Aceh, Muhammad Nafis (w. 1812) dari Banjar, dan Abdul Muhyi (w. 1730). Amat disayangkan bahwa pengaruh ajaran ini, belakangan, meredup di tengah-tengah masyarakat Muslim, kecuali di kalangan terbatas yang berminat pada ajaran-ajaran Ibn Arabi. Teori martabat tujuh ini memang berasal dari ajaran pokok Ibn Arabi mengenai “wahdatul wujûd” (“manunggaling kahanan”).

Kembali kepada Abdul Karim al-Jili. Dalam kitabnya yang amat masyhur, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awa’il, ia mencoba mengungkapkan sari-pati dari seluruh pengalaman rohaninya. Al-Jili sadar, tidak semua orang bisa menerima ilmu yang ia tulis dalam kitab itu. Pengalaman-pengalaman rohani yang lahir dari “perjumpaan” seorang salik dengan Tuhan memang kerap “misterius.” Mengungkapkannya kadang tidak bisa dengan bahasa yang terus-terang. Harus melalui bahasa “sanepa,” isyarat.

Karena itu, dalam pembukaan kitab ini, al-Jili menegaskan sebuah kaidah rohani yang, menurut saya, amat penting. Ia mengatakan:

فَمِنَ الْمَعَانِى مَا لَا يُفْهَمُ إِلَّا لُغْزًا أَوْ إِشَارَةً

Fa min al-ma’ânî mâ lâ yufhamu illâ lughzan aw isyâratan

Ada sejumlah hal yang tidak bisa dikemukakan dan dipahami kecuali melalui teka-teki (sanepa) dan isyarat“.

Dan persis di sinilah masalah muncul. Tak semua orang paham bahasa isyarat. Kadang, isyaratpun belum tentu tepat mengungkapkan maksud hati seseorang. Ada isyarat yang gagal. Contoh sederhana: ada pengendara motor yang menghidupkan lampu riting (dari bahasa Belanda “richting,” arah) kanan, eh, ternyata dia belok kiri. Atau sebaliknya.

Karena rumitnya bahasa isyarat ini, al-Jili kemudian mengemukakan “kaidah rohani” kedua: Jika engkau, entah karena keterbatasan pengetahuanmu atau yang lain, tidak memahami bahasa isyarat dan teka-teka spiritual yang ditulis oleh para sufi, engkau jangan buru-buru menyanggah, mengkritik, dan menolaknya. Diamlah sebentar, dan renungkan.

Dengan tegas, al-Jili mengemukakan bahwa semua yang tulis dalam kitabnya itu, tak satupun yang melenceng dari, dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Beliau mengatakan: “Jika ada kata-kataku yang seolah-olah berlawanan dengan Qur’an dan sunnah, itu hanyalah pada permukaan “mafhum”-nya saja. Namun jika diselidiki lebih dalam, “murad” atau makna rahasia yang ada di balik “mafhum” itu, sejatinya tidak bertentangan.”

Saya kira, kaidah ini bisa kita berlakukan dalam konteks yang lebih luas lagi. Kaidah al-Jilli ini tentu saja, pertama-tama, berlaku untuk ajaran-ajaran sufi yang tampak “kontroversial” pada lapisan permukaan. Ia menganjurkan, jika seseorang berhadapan dengan hal semacam ini, sebaiknya ia diam, merenung. Ia tidak boleh buru-buru “kebakaran jenggot,” lalu menolaknya, bahkan menyesatkannya. Jika ini yang terjadi, ia justru akan terhalang dari kesempatan untuk memperoleh hikmah yang tersembunyi di balik ajaran-ajaran para sufi itu.

Jika diperluas konteksnya, ajaran al-Jilli ini juga mengajarkan kita bersikap hati-hati saat berjumpa dengan sebuah gagasan. Ide yang di permukaan tampak “aneh” dan “sesat,” boleh jadi, jika ditelaah lebih dalam, mengandung hikmah yang amat kaya.

Seorang salik dan sufi bukanlah manusia yang “gumunan,” gampang kagetan, atau reaksioner. Ia akan memandang segala sesuatu dengan permenungan. Ia tidak grusa-grusu.

Al-Jilli mengenalkan konsep insân kâmil menjadi dua pengertian: pertama, dalam pengertian konsep pengetahuan terhadap manusia sempurna. Kedua, tentang jati diri yang mengidealkan kesatuan nama dan sifat-sifat Allah dalam hakikat atau esensi dirinya.

Pada hakikatnya, terdapat dua corak keagamaan yang mempengaruhi al-Jilli, yakni corak tasawuf falsafi dan corak agama sunni. Keadaan inilah yang mempengaruhi pola pemikiran al-Jilli, terlebih lagi tentang konsep insan kamilnya. Uraian al-Jilli tentang insan kamil secara metodologis memang bercorak falsafi, sementara konklusi atau hasil yang diperoleh bercorak teologis (sunni). Corak pemikiran al-Jilli bisa diasumsikan sebagai penela’ahan tasawuf falsafi yang dilatarbelakangi pemikiran sunni.

Abdul Karim al-Jilli mengutarakan bahwa manusia berpotensi menjadi sejati atau unggul dan sempurna melalui cara memaksimalkan potensi ruhhiyah atau spiritualnya. Untuk mengetengahkan konsepsi itu, Al-Jilli menyinggung teks suci al-Quran ; QS. Al-Hijr (15): 29 dan QS. At-Tin (96) : 4.

Al-Jilli memandang insan kamil tidak jauh berbeda dengan Ibn ‘Arabi yaitu sebagai wujud tajalli Tuhan. Pemikirannya tersebut didasari dengan asumsi bahwa segenap wujud yang ada ini hanya mempunyai satu realitas, dan realitas tersebut merupakan Wujud Mutlak.

Dalam persepektifnya, manusia merupakan makhluk sempurna disebabkan oleh fisiknya tercipta dalam bentuk yang paling indah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Sementara itu, kesempurnaan manusia lantaran potensi ruhiyyah-Nya. Perpaduan jasad dan rohani tersebut yang menempatkan manusia sebagai miniatur Tuhan di muka bumi.

Menurutnya pula, manusia dapat menggapai kesempurnaan insaniahnya melalui latihan rohani dan pendakian mistik. Latihan ini diawali dengan kontemplasi tentang nama dan sifat-sifat Allah. Kemudian masuk kedalam sifat-sifat Allah di mana ia mulai melangkah menjadi bagian dari sifat-sifat tersebut dan memperoleh kekuasaan yang luar biasa.

Berikutnya, ia melintasi daerah nama serta sifat Allah, masuk kedalam hakikat mutlak menjadi manusia Allah atau insan kamil. Ketika itulah, matanya akan menjadi mata Allah, kata-katanya adalah kata-kata Allah, dan hidupnya menjadi hidup Allah. Kesemuanya ini didasari pada asumsi bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas, esensi murni yaitu wujud mutlak yang tak tergambar dan tergapai hakikatnya dengan segala pemikiran manusia yang fana.

Wujud mutlak tersebut lantas bertajalli secara sempurna menjadi alam semesta. Jadi, baginya, alam ini tercipta dari ketiadaan (creation ex nihilo) dalam ilmu Allah. Ketika dalam kesendirian-Nya, yang ada hanya Dzat Allah satu-satunya (bandingkan dengan pemikiran kaum filsuf). Dalam tajalli ini, manusia ideal merupakan sintesis dari makrokosmos yang permanen sekaligus aktual, cermin citra Allah secara paripurna.

Untuk mencapai tingkat ini, seseorang harus bisa melewati tahapan pendakian spiritual (taraqqi) dimulai dari pengamalan dan pemahaman syari’at (rukun Islam) secara baik. Hal ini tentu dengan keyakinan pada rukun iman yang kokoh.

Dengan keduanya, seorang sufi lantas dapat memasuki tingkat kesalehan (al-salih) dimana terdapat kontinuitas dalam menunaikan ibadah kepada Allah atas dasar khauf dan raja’. Dari al-salih, seseorang meneruskan pada tingkat al-ihsan (kebajikan) yang terdiri dari tujuh maqam : taubat, inabah, zuhud, tawakkal, ridha, tafwidh, dan ikhlas. Pada tingkatan ini seseorang mulai disinari oleh perbuatan-perbuatan Allah.

Beranjak dari tahapan ihsan, seorang sufi dapat naik ke tingkatan penyaksian (al-syahâdah) yaitu hati dipupuk kemauan dan cintanya pada Allah Swt. dengan senantiasa mengingat-Nya dan melawan segala bentuk hawa nafsu. Puncaknya, seorang sufi akan memasuki tingkat kebenaran (al-shiddîqiyah) atau ma’rifat yang memiliki tiga bentuk, yakni : ilmu al-yaqin (seorang sufi akan disinari asma Allah), ‘ayn al-yaqîn (seorang sufi akan disinari sifat-sifat Allah) dan haqq al-yaqin (seorang sufi akan disinari zat Allah). Dengan begitu, diri sufi akan fana di dalam asma, sifat dan zat Allah. Setelah ma’rifat, seorang sufi dapat meneruskan ke maqam qurbah, yakni merangkak sedekat mungkin dengan Allah hingga sampai pada derajat insan kamil.

Source: Dikutif dari berbagai sumber

 

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...