Home / Ensiklopedia / Analisis / Membaca Penembakan di New Zealand dari Perspektif Geopolitik

Membaca Penembakan di New Zealand dari Perspektif Geopolitik

Geopolitik modern mengisyaratkan bahwa tidak ada perang agama, atau tak ada konflik antarmazhab, perang suku, ras, dan lain-lain melainkan karena faktor geoekonomi. Perang agama, suku dan seterusnya hanya sebuah geostrategi dari si pemilik hajatan guna “memasuki” wilayah dan/atau negara target belaka. Kenapa? Biasanya bagi wilayah atau kawasan yang ditarget memiliki kepentingan entah implikasi maupun kontribusi terkait geoekonomi negeri pemilik hajatan, dan narasi geoekonomi tersebut kerap disebut “national interest” atau kepentingan nasional.

Selanjutnya terkait asumsi global “If you would understand world geopolitics today, follow the oil” (Deep Stoat), bila ingin paham geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak, kita coba memakai teori Deep Stoat sebagai salah satu pisau bedah untuk menguak kasus penembakan masjid di New Zealand (NZ) yang menelan korban tewas 40-an orang lebih.

Pertanyaan pertama, apakah NZ produsen minyak? Ternyata tidak. Tidak ada minyak di NZ, bahkan sejak 2000-an ia mencanangkan go north demi mencari minyak ke utara.

Pertanyaan kedua, apakah di NZ ada sejarah konflik ataupun teroris? Juga tidak. Bahkan menurut PBB di awal 2018, NZ termasuk 10 besar negara paling bahagia karena aspek destinasi, maskapai, dan brand terbaik, dan lain-lain di bawah Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, Belanda, dan Kanada, tetapi masih di atas Swedia dan Australia.

Kesimpulan awal, faktor minyak sesuai asumsi Stoat pun gugur, karena selain NZ bukan produsen minyak, juga tak ada sejarah konflik dan teroris di sana. Adanya dugaan bahwa para pelaku penembakan ialah teroris impor merupakan hal logis. Niscaya pelaku bukan warga negara NZ.

Pertanyaan berikutnya, lantas geoekonomi apa yang hendak diraih si pemilik hajatan melalui pintu masuk penembakan liar di masjid kuat diduga ada kepentingan asing di NZ? Ini yang hendak diurai.

Naik dahulu ke isu global. Tak dapat dipungkiri, memasuki Abad ke 21 ada dua isu aktual yang menggejala di dunia geopolitik. Isu dimaksud antara lain:

1) pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik. Entah akibat pertumbuhan ekonomi, atau faktor konsumsi, entah karena pasar yang potensial dan seterusnya. Yang jelas, ada geopolitical shift dan para adidaya berbondong-bondong ke Asia Pasifik. Kajian Jala Sutra —air yang paling halus— pergeseran tersebut merupakan ujud keseimbangan alam. Bila kemarin orang melihat Barat, wajar kini menengok ke Timur. Jika Barat adalah era ketenggelaman (matahari) sebab bergerak dari atas ke bawah, maka Timur adalah masa keterbitan (matahari), bergerak tumbuh dari bawah ke atas. Jadi cuma masalah keseimbangan belaka;

2) ada perubahan “power concept” dari militer ke power ekonomi. Power cöncept itu sendiri adalah politik kekuatan dalam dunia geopolitik dimana untuk memenuhi tujuan serta cita-cita dilandasi oleh power politik, militer dan power ekonomi. Agaknya tren yang berkembang kini adalah power ekonomi di depan ketimbang dua power (militer dan politik) lainnya. Maka frasa perang dagang lebih disukai daripada lobi politik dan invasi militer yang biaya tinggi serta perlu restu internasional,

Terkait topik di muka, pertanyaannya adalah, ada apa di negeri-negeri kepulauan (polinesia) di Pasifik terkait geopolitik?

Tak boleh dipungkiri, kawasan polinesia terutama negara-negara di Pasifik Selatan telah jatuh dalam debt trap (jebakan utang) Cina seperti Fiji, Vanuatu, Kaledonia Baru dan seterusnya. Metode debt trap ala invasi senyap Cina bermodus ekonomi melalui pembangunan infrastruktur relatif efektif terutama di lintasan One Belt One Road (OBOR) atau Jalur Sutra Abad ke 21.

Kelompok negara di lintasan OBOR termasuk negara polinesia digelontar utang dalam jumlah besar yang tak akan sanggup mereka bayar. The Sun melansir, beberapa negara yang menunggak utang dipaksa menyerahkan aset negara, harus mengizinkan Cina membuat pangkalan militer, hingga pemberlakuan mata uang Cina (Yuan) di negara tersebut, dan seterusnya. Salah satu negara di lintasan Jalur Sutra Baru adalah Sri Lanka. Ia menyerahkan pelabuhannya ke Cina dengan konsesi 99 tahun karena gagal bayar. Belum lagi Djibouti yang telah bercokol pangkalan militer Cina, ataupun Zimbabwe dan Angola yang telah memakai Yuan sebagai alat transaksi sehari-hari dan seterusnya.

Tampaknya geliat OBOR melalui invasi senyapmya telah mengusik hegemoni Barat di Pasifik Selatan karena kelompok negara polinesia mulai “jatuh” satu persatu dalam debt trap Cina. Hanya soal waktu saja (jatuh tempo) untuk mengakuisisinya.

Dalam pola asymmetric warfare (perang asimetris), usai ‘isu’ ditebar ke publik, akan digulirkan ‘tema atau agenda’ sebagai lanjutan isu, setelah itu akan ditancapkan ‘skema.’ Istilahnya ITS (Isu-Tema-Skema).

Pola yang kerap berulang, isu dan agenda bisa berubah-ubah menyesuaikan waktu dan ruang, tetapi skema hampir tak berubah sepanjang masa yakni mencaplok geoekonomi, atau frasa lainnya ialah mengamankan kepentingan nasional, atau dalam dunia geopolitik sering diistilahkan what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan.

Dari perspektif pola perang asimetris, peristiwa penembakan masjid di NZ, tatarannya hanya isu. Niscaya akan ada tema/agenda lanjutan, kemudian ditancapkan skema. Terpulang dari mens rea si pemilik hajatan. Jika isu dimaksud sebagai pola, niscaya bakal ada lanjutan agenda dan skema. Tetapi jika isu tersebut sebagai modus, maka sifatnya hanya test the water. Memancing reaksi publik. Melihat sikap, reaksi, kekuatan solidaritas dan seterusnya.

Tuduhan Sadam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal, contohnya, itu hanya isu belaka. Pintu masuk saja. Apa agendanya? Serbuan militer koalisi pimpinan Paman Sam. Lantas, setelah agenda sukses, apa skemanya? Ternyata kavling-kavling sumur-sumur minyak di Irak. Ini hanya contoh bekerjanya pola ITS, isu-tema-skema dalam perilaku geopolitik di tingkat global.

Harus diakui, dibanding para adidaya Barat yang terlebih dahulu menancapkan hegemoni di negara-negara polinesia, bahwa agresivitas Cina di Pasifik Selatan melalui silent invasion bermodus utang infrastruktur, sungguh tidak terbendung. Jangankan negara kecil di Lautan Pasifik, bahkan negara sekelas Australia sendiri hampir kebobolan dirembes dari sisi politik, budaya, real estate, pertanian bahkan sampai ke sekolah dasar oleh silent invasion. Invasi senyap ala Cina. Seandainya Sheri Yan —diduga mata-mata Cina— yang ditangkap oleh FBI di New York pada Oktober 2015 masih berkeliaran, kemungkinan Australia pun bisa “jatuh” di tangan Cina, sebab target silent invasion adalah elit-elit politik dan para pengambil kebijakan di Australia.

Dan hari ini, agaknya supremasi dan hegemoni Barat di Pasifik mulai meredup. Bukan karena geliat Cina, namun Jala Sutra mengisyaratkan, niscaya matahari akan kembali terbit dari Timur meski ia tengah mengurai dimana titik epicentrumnya. Tentang gerak laju Cina di lintasan OBOR, agaknya mulai ada geliat perlawanan dari bangsa-bangsa pada negara dimana invasi senyap Cina beroperasi di Jalur Sutra (baru) Abad ke 21. Ini poin pokok atas kondisi geopolitik di Asia Pasifik. Lantas, siapa pemilik hajatan atau pemilik skema di baik isu penembakan jamaah masjid pada Jumat, 15 Maret 2019 di NZ?

Ketika tulisan ini terbit, lanjutan agenda memang belum terlihat. Bacaan geopolitik masih gelap. Jika yang dimainkan adalah isu sebagai modus. Selesai sudah, karena sifatnya test the water. Tak ada kelanjutan agenda. Nah, catatan ini mengendus kondisi bahwa yang dimainkan ialah isu sebagai pola. Kendati masih gelap, ada dua kemungkinan siapa di balik isu dimaksud, antara lain:

Kemungkinan I adalah Barat. Apa mens rea dan motivasi Barat di belakang isu penembakan? Karakter perilaku geopolitik ala Barat cenderung membendung gerak siapapun yang berpotensi menggerus supremasi dan hegemoni. Makanya, apapun elemen penguat hegemoni harus dijamin keamanannya. Irak misalnya, ia digempur secara militer pimpinan Amerika Serikat (AS) karena Saddam Hussen berencana mengubah alat transaksi minyak dan cadangan devisa Irak dari US Dollar ke Euro. Demikian pula Libya. Tatkala Kadhafi hendak membuat uang emas/Dirham dan mewajibkan semua piutangnya dibayar dengan Dirham seketika Libya pun dibuat luluh lantak oleh Barat. Itulah skenario “utang dibayar bom” yang pernah berlangsung di Jalur Sutra.

Dan geliat Cina di lintasan OBOR terutama kawasan Pasifik Selatan bukan hanya mengganggu unsur-unsur supremasinya tetapi sudah menggerus hegemoni. Kenapa harus di NZ tidak di Fiji, atau bukan di Vanuatu? Sebagaimana diketahui bersama, bahwa NZ masuk dalam ANZUS, sebuah pakta pertahanan di Pasifik yang beranggotakan Australia, New Zealand dan AS. Menyentuh salah satu anggota identik menyentuh semuanya. Ada solidaritas dalam ANZUS. Maka jika “Kemungkinan I” yang tengah berlangsung, nanti akan ada pergeseran pasukan —entah dari Darwin, atau dari Kawasan Komando di sekitarnya— bergerak ke NZ dengan alasan keamanan kawasan. Itulah agenda lanjutan. Lantas, apa skemanya? Tak lain dan tak bukan guna membendung gerak laju Cina di Pasifik Selatan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan Kemungkinan II?

Ya, Kemungkinan II adalah Cina. Mengapa Cina, lantas apa motivasinya? Ada beberapa alasan, antara lain misalnya:

1) terungkapnya Sheri Yan —ratu sosialita Australia— yang kuat diduga adalah agen atau mata-mata Cina. Ia ditangkap oleh agen FBI pada Oktober 2015 di New York;

2) ditangkapnya Weng Wanzhou, FCO Huawei oleh otoritas Kanada atas order Paman Sam;

3) terbit dan beredarnya buku-buku yang mengurai model “silent invasion” ala Cina yang ditulis oleh Gart Alexander dan Clive Hamilton; dan

4) munculnya kesadaran serta penolakan rakyat di Vietnam dan seterusnya, selain akibat tsunami TKA Cina yang merebut lapangan kerja warga lokal, juga faktor jebakan utang dengan segala konsekuensi ketika jatuh tempo. Kedaulatan negara minimal berkurang akibat akuisisi aset-aset strategis dan seterusnya.

Hal-hal di atas, setidak-tidaknya menginspirasi beberapa negara ingin berlepas diri dari gelombang invasi senyap Cina yang bermodus utang infrastruktur, atau ingin mengungkap siapa “sosok boneka”-nya seperti halnya kasus di Thailand (Thaksin), atau di Australia (Sheri Yan) dan seterusnya.

Tampaknya top manajemen OBOR membaca atmosfer dan fenomena ini. Adakah operasi senyap telah bocor? Entahlah. Tetapi setidaknya sudah tercium muncul kesadaran bangsa-bangsa di Jalur Sutra Baru di satu sisi, sedang anak panah OBOR telah dilepas dari busurnya pada sisi lain. Selain sulit untuk ditarik kembali, OBOR tak bisa ditarik kembali. Artinya, tak mungkin OBOR dihentikan, namun kesadaran publik yang harus segera digerus atau dialihkan agar tidak menjadi kendala bagi kelanjutan program di kemudian hari. Memang terbaca meski samar, usai AS meninggalkan ruang konflik di Suriah, isu ISIS pun hambar. Kurang laku. Publik global perlu “permainan baru” agar kesadaran yang muncul kembali (tergerus) teralihkan.

All warfare is deception, kata Sun Tzu, semua peperangan adalah tipuan. Butuh strategi dan taktik ‘mengecoh langit menyeberangi lautan’. Persepsi dan logika publik perlu dikocok-kocok kembali. Contohnya, bila opini publik selama ini tergiring pada stigma bahwa terorisme identik dengan Islam (radikal), maka isu di NZ telah menimbulkan ruang diskusi baru, isu-isu baru, dialog dan asumsi-asumsi baru. Seperti isu bangkitnya supremasi ras putih, misalnya, atau dialog sentimen perang salib, radikalisme agama dan ras semodel Ku Klux Klan dan seterusnya. Kondisi semacam ini justru diharapkan oleh Cina terus menggelombang (snowball process). Sekali lagi, opini dan persepsi publik kembali diaduk-aduk, dikocok-kocok. Pelaku teror dipilih ras kulit putih (nonmainstream) menyerang jamaah masjid, ini merupakan kontra isu atas kelaziman subjek dan objek terorisme selama ini yakni “muslim menyerang gereja”.

Sampailah pada ujung catatan ini. Meski masih prematur namun dapat dijadikan simpul awal melihat kasus di NZ, yaitu:

Pertama, bila yang berlangsung adalah Kemungkinan I, niscaya agenda lanjutan usai isu ditebar adalah pergeseran pasukan ke NZ dengan skema kuno: “Membendung gerak laju Cina” di Pasifik Selatan; dan

Kedua, bila yang berlangsung adalah Kemungkinan II, maka agenda lanjutan ialah deception atau penyesatan, pengalihan secara terus menerus dan seterusnya sedang skemanya adalah: “OBOR berjalan sesuai tahapan”.

Barangkali, inilah bacaan sementara geopolitik atas isu penembakan di NZ. Kendati sentimen ras dan agama itu hidup serta berkembang di publik global, namun isu sentimen tidak menjadi bahasan utama, karena selain untuk menghindari trap geostrategi ala Barat yang selama ini bermain-main di ranah persepsi publik, juga bahasan sentimen nantinya malah bisa menyulut kegaduhan baru berbasis persepsi yang justru menjauhkan dari akurasi kajian.

Apa boleh buat. Tulisan ini cuma analisa, bukan text book. Artinya masih akan muncul kemungkinan-kemungkinan lain selain Kemungkinan I dan II di atas. Dan penulis sangat menyadari keterbatasan fakta, data serta informasi yang berkembang terutama keterbatasan kemampuan serta wawasan, sehingga analisa ini belumlah final. Karena minimnya data, analisa ini hanya berpijak pada pola-pola yang kerap terjadi di panggung geopolitik global.

Dan sesungguhnya kebenaran apapun sifatnya cuma nisbi, relatif dan bergerak sesuai tuntutan zaman. Tesis akan memunculkan antitesis, dan antitesis membidani sintesis dan seterusnya. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama pihak-pihak yang berkompeten dibidangnya. Hanya sharing pemikiran tentang apa yang telah terjadi berbasis kredo geopolitik guna mendekati kebenaran sejati, yakni kebenaran-Nya.

Terima kasih.

  • Oleh: M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Studi Kawasan dan Geopolitik Global Future Institute (GFI)
  • Source: The Global Review

 

 

 

 

About admin

Check Also

Kaitan Sejarah Walisongo dengan Sejarah Islam Aceh

“Sebelum masalah asal-usul Walisongo dari Aceh semakin gelap, alangkah baiknya digerakkan suatu upaya untuk menelusuri ...