Berita besar politik pada bulan Juli 2017 adalah ditetapkannya Ketua Umum Golkar, Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan secara resmi pada hari Senin (17/7/2017) telah memiliki bukti penetapan tersebut. “Kami bawa (Setya Novanto) ke penyidikan ini tidak serampangan. Kami punya dua alat bukti yang kuat. Kita akan gelar di pengadilan. Kita akan buka semua bukti di pengadilan, tegasnya. Menurut Agus, KPK akan membuktikan keterlibatan Setnov dalam persidangan.
Dalam kasus ini penulis bukan menganalisis masalah terkait Setnov, tetapi dari sudut pandang intelijen ada hal yang jauh lebih penting dipikirkan, yaitu bagaimana Partai Golkar sebaiknya segera memutuskan, mengambil sikap untuk menyelamatkan diri, disamping perlu diselamatkan. Dalam sistem politik bangsa Indonesia, penulis mendudukan Golkar sebagai angker (jangkar) politik Indonesia disamping PDIP. Apabila partai ini rusak atau dirusak karena kepentingan atau ambisi sesaat tokohnya sendiri, jelas sangat memprihatinkan dan merugikan Bangsa Indonesia.
Apakah dengan penetapan Setnov sebagai tersangka korupsi e-KTP, Golkar akan runtuh? Nah, inilah yang akan penulis coba bahas dari sisi intelijen komponen politik. Dari persepsi intelijen penulis selalu menggunakan data-data the past, the present serta prediksi masa mendatang.
Golkar Yang Besar dan Kuat Tapi Rapuh
Mengacu basic descriptive intelligence, pada tahun 2012, dua tahun menjelang pemilu 2014, penulis membuat analisis dengan judul Golkar Yang Besar dan Kuat Tapi Rapuh. Siapa saat itu yang tidak percaya Partai Golkar itu besar dan kuat? Partai ini pernah menjadi the rulling party (partai penguasa) selama 32 tahun saat jamannya pak Harto di era Orde Baru. Kemudian saat Pak Harto jatuh, banyak yang berfikir kalau Golkar akan mengecil, menciut, bahkan ada yang berfikir habislah partai beringin ini, tapi ternyata tidak. Golkar tetap eksis dan besar, mampu menunjukkan dirinya sebagai partai senior yang berisi politikus handal dan cerdik.
Golkar mampu menyesuaikan diri, beradaptasi dengan sikon (situasi dan kondisi) perkembangan politik di Indonesia, menurut terminologi Jawa dikatakan “ampuh.” Tetapi, sejak Pak Harto jatuh pada tahun 1998, Golkar yang tetap menjadi parpol papan atas tidak pernah sekalipun berhasil menjadikan kadernya sebagai presiden. Prestasi jabatan tertinggi hanya diraih oleh JK (Jusuf Kalla) sebagai kadernya menjadi wakil presiden. JK hanya mendampingi presiden SBY dari tahun 2004-2009. Itupun JK menjadi wapres bukan karena dicalonkan oleh Golkar yang mengusung calon sendiri. Pada era pemerintahan kedua Presiden SBY, posisi JK sebagai kader Golkar tergeser, digantikan oleh Bapak Budiono.
Pada 2004, kedudukan Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum demikian kuat, akan tetapi Golkar memilih konvensi, yang entah bagaimana terjadinya dimenangkan oleh Wiranto berpasangan dengan Gus Sholah yang gagal maju ke putaran kedua. Pada 2009, kembali Golkar salah posisi, keputusan di Rapimnas mendukung JK, tetapi survei menunjukan bahwa JK hanya lebih kuat sebagai wapres. Dengan pemaksaan kondisi ini, akhirnya pasangan JK-Wiranto dalam pilpres 2014 gagal, perolehan suaranya jauh dibawah pasangan SBY-Budiono dan juga dibawah Mega-Prabowo.
Menjelang pemilu dan pilpres 2014, Golkar yang nampak semakin besar dan kuat, mengalami keresahan internal, disebabkan muncul perbedaan pandangan antara Pengurus DPP dengan Dewan Pembina, dimana Faksi Pertama, mendukung Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) dengan juru bicara Idrus Marham (Sekjen). Sementara Faksi Kedua, yaitu kelompok Ketua Dewan Pembina, dimana Akbar Tanjung mengatakan pengajuan Ical sebagai Capres tanpa konvensi belum pernah dibicarakan dengan Dewan Pembina. Selain Akbar, mantan ketua umum Golkar Jusuf Kalla menyatakan Golkar belum pasti mengusung Aburizal Bakrie sebagai kandidat presiden.
Peristiwa yang sangat menonjol adalah pecahnya Partai Golkar, muncul dua faksi, pertama faksi Ketua Umum Golkar, ARB (Aburizal Bakrie), kedua faksi Waketum Golkar, Agung Laksono. Tidak main-main, dalam Munas kubu ARB didukung DPD lengkap dalam Munas di Bali antara 30 November-4 Desember 2014, pesertanya sekitar 2.000 orang. Secara aklamasi ARB dipilih kembali menjadi Ketua Umum Golkar hingga 2019.
ARB meminta Agung Laksono Cs untuk kembali bergabung ke Partai Golkar. Menyikapi hasil munas kubu ARB, Agung Laksono kemudian memajukan Munas tandingan dilaksanakan pada 6 Desember 2014 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta. Yorris Raweyai dipercaya sebagai Ketua Pelaksana. Yorrys mengklaim Munas di Ancol memenuhi syarat kuorum karena diikuti oleh 384 peserta pemegang suara sah.
Munaslub Partai Golkar tahun 2016 dilaksanakan di Nusa Dua, Bali, Selasa (17/5/2016). Dalam pemilihan calon Ketua Umum Golkar di Munaslub tersebut, pada sesi final, Ade Komarudin, menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan. Dengan mundurnya Ade, Setya Novanto ditetapkan sebagai Ketua Umum Golkar untuk periode 2014-2019.
Dari fakta parpol penguasa parlemen apabila dibandingkan antara pemilu 2004-2009-2014, bisa dibuat perbandingan perolehan suara masing-masing partai ; Partai Demokrat (7,45-20,85-10,19 persen), Partai Golkar (21,58-14,45-14,75 persen), PDIP (18,53-14,03-18,95 persen), PKS (7,34-7,9-6,79 persen), PPP (8,15-5,32-6,53 persen), PKB (10,57-4,94-9,04 persen), PAN (6,44-6,0-7,59 persen). Parpol yang baru ikut pemilu 2009 dan 2014 adalah Gerindra (4,46- 11,81 persen), dan Hanura, (3,77-5,26 persen), NasDem baru ikut pemilu 2014 (6,72 persen).
Kerawanan dari Golkar sebagai partai yang cerdas, tetapi nampaknya kurang cerdik. Cerdas, karena memang para petingginya orang hebat, bekas pejabat, menteri dan pengusaha sukses yang kaya. Tetapi penulis menilainya kurang cerdik, karena strateginya selalu tidak sesuai dengan kondisi yang berlaku. Dari beberapa fakta tersebut diatas, terlihat walaupun sebagai partai senior, berpengalaman, titik rawan Golkar berada pada ambisi para tokohnya sendiri. Kekuasaan memang merangsang politisi, karena dengan berkuasa otomatis aliran uang akan semakin lancar.
Oleh karena itu penulis menuliskan walaupun besar dan kuat, sebetulnya Golkar itu rapuh atau bahkan dirapuhkan oleh elitnya sendiri karena ambisi pribadi dan kelompoknya. Lebih ekstrem dapat dikatakan Golkar hanya menjadi kendaraan tunggangan orang-orang Golkar itu sendiri.
Partai Golkar Harus Menyelamatkan Diri dan Diselamatkan
Membangun sebuah negara seperti membangun sebuah mall besar, dibutuhkan dua atau lebih toko swalayan sebagai jangkar (angker), umumnya terletak di kedua ujung mall tersebut. Itulah kunci sebuah mall, sementara toko-toko lain merupakan pelengkap kebutuhan pengunjung. Tanpa toko besar (swalayan) sebuah mall akan sepi pengunjung. Nah, demikian juga, Indonesia dibangun dengan sebuah sistem politik melalui pemilu dan pilpres.
Menurut penulis, PDIP dan Partai Golkar adalah partai jangkar di Indonesia. Pada tiga pemilu terlihat keduanya memperoleh dua digit suara. Sementara Partai Demokrat dengan kepiawaian SBY memang berhasil menaikkan perolehan suara menjadi dua digit pada pemilu 2009 dan 2014, tetapi menurut penulis Demokrat belum dapat dikatakan sebagai partai jangkar, kepiawaian SBY yang menaikkannya.
Nah, dengan kondisi saat ini, Partai Golkar sebagai aset bangsa Indonesia sedang mengalami cobaan berat terkait kasus e-KTP. Ketua umumnya, Setya Novanto sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, mungkin tidak lama lagi Setnov bisa dipakaikan baju oranye dan di tahan. Nah, disinilah penulis menilai dari persepsi intelijen, bahwa Golkar harus menyelamatkan diri dan diselamatkan. Ada bayangan tergerusnya elektabilitas Golkar pada masa mendatang apabila para pentolan parpolnya masih mengedepankan ambisinya yang tidak pernah surut.
Bagaimana menyelamatkan partai jangkar ini? Ini pertanyaan mendasarnya. Golkar bisa diselamatkan kuncinya hanya dengan mencari pengganti Setnov dengan benar dan bijak. Sederhana tetapi sangat sulit. Posisi para petinggi Golkar akhir-akhir ini jelas mengejutkan. Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Dewan Kehormatan BJ Habibie, dan Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono mendukung Setnov yang sudah jadi tersangka. Setya Novanto mendapat dukungan penuh dari mantan Presiden BJ Habibie yang juga Ketua Dewan Kehormatan Golkar. Dukungan itu terlontar setelah Novanto dan sejumlah petinggi partai menyambangi kediaman Habibie di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta, Senin (24/7/2017).
Ketua Harian Golkar Nurdin Halid, seusai pertemuan, mengatakan Habibie ingin semua elemen partai membantu Novanto. “Beliau berpesan agar Pak Novanto jangan dibiarkan sendiri apalagi diisolasi,” ujarnya. Ia pun memastikan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung yang semula bersikap berseberangan kini telah berbalik mendukung Novanto. Sementara Ical saat bertemu dengan Setnov pada Selasa (25/7/2017) berpesan kepada pengurus DPP dan Fraksi Partai Golkar untuk kompak mendukung Setnov yang tengah tersangkut kasus hukum.
Dalam kondisi tersebut, para petinggi nampaknya lebih ingin menunjuk semacam plt apabila Setnov ditahan, kader yang mereka nilai paling menonjol adalah Menteri Perindustrian (Airlangga Hartarto). Tetapi kini nampaknya muncul gerakan lain yang menginginkan dilaksanakannya Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) untuk memilih ketua umum baru pengganti Setnov. Apabila dilaksanakan ini akan lebih baik sepertinya. Awal dimulainya tahapan pemilu dan pilpres 2019 adalah tanggal 1 Oktober 2017, saat itu Golkar harus sudah mempunyai Ketua Umum dan Sekjen definitif.
Golkar Butuh Pemimpin Dengan Integritas Tinggi
Dalam waktu tidak lama lagi bangsa Indonesia akan merayakan peringatan hari kemerdekaan yang ke-72 pada 17 Agustus 2017. Nah, bagaimana bangsa ini akan menapaki jalan menuju usia 73 dan seterusnya. Ada keinginan masyarakat untuk maju, sejahtera, ada keinginan para pengemban amanah adalah orang-orang yang bersih. Oleh karena itu Indonesia membutuhkan pemimpin dengan integritas yang tinggi. Terkait dengan topik Golkar, maka Golkar sebaiknya harus menyelamatklan dirinya selain perlu diselamatkan sebagai aset penting bangsa Indonesia.
Indonesia harus berhati-hati dalam mengatasi masalah korupsi yang semakin menggurita. Pada kasus e-KTP, uang negara yang dikorupsi sebesar Rp 2,3 Triliun, mengerikan. Penulis baru membaca artikel “Brazil’s Never-Ending Corruption Crisis, Brian Winter.” Disebutkan sejak enam dasa warsa yang lalu, Brasil terus tergulung dalam kasus-kasus korupsi. Terakhir bahkan Presiden Dilma Rousseff disingkirkan dari jabatannya, walaupun dia salah satu pemimpin paling dicintai dalam sejarah negara itu. Rousseff runtuh karena dikepung oleh skandal-skandalnya sendiri. Jelas kita bangsa Indonesia tidak menginginkan seperti ini apabila korupsi tidak segera diatasi dengan benar.
Pada era demokrasi dimana semua menjadi lebih mudah diakses, bahkan transparan, masyarakat makin yakin bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berintegritas. Presiden Jokowi kini bisa disebut sebagai presiden pertama dalam upayanya yang gigih untuk menegakkan hukum. Oleh karena itu terkait dengan penyelamatan Partai Golkar, penulis menyarankan untuk memilih pemimpin yang berintegritas.
Walaupun beberapa ada yang tersangkut masalah, penulis meyakini masih ada kader Golkar yang bersih dan tidak tercemar. Indonesia akan maju apabila sistem politik Indonesia bersih, dan ini harus dimulai dari partai-partai politik yang ada. Itulah kira-kira jalan keluarnya, semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net