Home / Agama / Kajian / Memahami Sunnatullah, Cara Kerja Allah

Memahami Sunnatullah, Cara Kerja Allah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saat dunia ini mengalami ketidakseimbangan, maka dengan sendirinya dunia akan mencari jalan untuk menyeimbangkan diri lagi. Hal ini terjadi karena sunnatullah, yang sudah bekerja seiring dengan proses penciptaan sejak dulu kala.

Sunnatullah adalah kebiasaan atau cara Allah dalam mengatur alam dunia. Di dalam Al-Quran surah Al-Rahman dikatakan, “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan).” (QS. Al-Rahman [55]: 7).

وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ ۞

Was-samâ`a rafa’ahâ wa wadha’al-mîzân

Meskipun tidak asing dengan istilah ini, sebagian umat Islam mungkin masih ragu terhadap istilah sunnatullah. Karena itu, sunnatullah perlu untuk dikaji dan dipahami lebih dalam lagi, bahwa sunnatullah merupakan kebiasaan atau cara kerja Allah dalam menyelenggarakan alam ini.

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan dari segi bahasa, bahwa sunnatullah terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah berarti kebiasaan, yaitu kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. (Tafsir Al-Misbah Vol.13. hlm. 205).

Secara istilah, kamus besar Indonesia juga mendefinisikan bahwa sunnatullah sebagai hukum-hukum Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para Rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam Al-Quran, dan hukum alam yang berjalan tetap dan otomatis.

Dalam Al-Quran kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau sunnatul awwalin terulang sebanyak 13 kali. Seluruh kata tersebut mengacu kepada hukum-hukum Allah yang berlaku kepada masyarakat. Seperti misalnya termaktub dalam ayat-ayat di abawah ini:

QS. Al-Ahzab [33]: 38 dan 62

مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللّٰهُ لَهُ ۖ سُنَّةَ اللّٰهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللّٰهِ قَدَرًا مَقْدُورًا ۞

Mâ kâna ‘alan-nabiyyi min ḥarajin fîmâ faradhallâhu lah, sunnatallâhi filladzîna khalau ming qabl, wa kâna amrullâhi qadaram maqdûrâ

“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,” (QS. Al-Ahzab [33]: 38)

سُنَّةَ اللّٰهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيلًا ۞

Sunnatallâhi filladzîna khalau ming qabl, wa lan tajida lisunnatillâhi tabdîlâ

“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 62)

QS. Fathir [35]; 43

اسْتِكْبَارًا فِي الْأَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ ۚ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ ۚ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ ۚ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَحْوِيلًا ۞

Istikbâran fil-ardhi wa makras-sayyi`, wa lâ yaḥîqul-makrus-sayyi`u illâ bi`ahlih, fa hal yandzurûna illâ sunnatal-awwalîn, fa lan tajida lisunnatillâhi tabdîlâ, wa lan tajida lisunnatillâhi taḥwîlâ

“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. (QS. Fathir [35]; 43)

QS. Ghafir [40]: 85.

فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا ۖ سُنَّتَ اللّٰهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ ۖ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ ۞

Fa lam yaku yanfa’uhum îmânuhum lammâ ra`au ba`sanâ, sunnatallâhillatî qad khalat fî ‘ibâdih, wa khasira hunâlikal-kâfirụn

“Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir”. (QS. Ghafir [40]: 85)

Di dalam Ensiklopedi Islam, sunatullah diartikan sebagai jalan, perilaku, watak, peraturan atau hukum, dan hadits. Sunatullah merupakan ketentuan-ketentuan, hukum-hukum, atau ketetapan-ketetapan Allah SWT yang berlaku di alam semesta. (Ensiklopedi Islam Jilid IV).

Sejak alam ini diciptakan, Allah SWT telah menentukan hukum-hukumnya, sehingga alam bertingkah laku sesuai dengan hukum yang ditetapkan-Nya tersebut. Tunduk dan patuhnya alam terhadap hukum yang ditetapkan Allah SWT tersebut diterangkan di dalam Al-Quran surah an-Nahl ayat 12:

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ ۞

Wa sakhkhara lakumul-laila wan-nahâra wasy-syamsa wal-qamar, wan-nujûmu musakhkharâtum bi`amrih, inna fî dzâlika la`âyâtil liqaumiy ya’qilûn

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).” (QS an-Nahl [16]: 12).

Kepatuhan alam semesta terhadap ketentuan Allah SWT bukan karena keterpaksaan, tetapi betul-betul suka rela seperti diterangkan Allah SWT dalam surah Fusshilat ayat 11:

ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ ۞

Tsummastawâ ilas-samâ`i wa hiya dukhânun fa qâla lahâ wa lil-ardhi`tiyâ thau’an au karhâ, qâlatâ atainâ thâ`i’în

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata keadanya dan kepada bumi:’Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa. ‘Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.” (QS Fusshilat [41]: 11).

Dengan tunduk dan patuhnya alam semesta pada aturan-aturan dan hukum Allah SWT, maka alam selalu bertingkah laku sesuai dengan aturan dan hukum tersebut. Selain itu, tingkah laku alam juga bersifat tetap, sebagaimana firman Allah SWT:

سُنَّةَ اللّٰهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيلًا ۞

Sunnatallâhillatî qad khalat ming qabl, wa lan tajida lisunnatillâhi tabdîlâ

Sebagai suatu sunatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu,” (QS. Al-Fath [48]: 23).

Mengenai persoalan sunatullah, Buya Hamka mengibaratkan bahwa keadaan sunnatulah tersebut sama dengan air hilir. Dia pasti menuruti aturan yang ditetapkan Allah SWT, yaitu mengalir ke tempat yang lebih rendah, mengisi tempat yang kosong yang didapatinya dalam aliran tersebut.

Dalam pemikiran barat, istilah sunnatullah seringkali disandingkan dengan istilah hukum alam atau bahkan dianggap sama oleh sebagian umat Islam. Padahal, di antara keduanya terdapat perbedaaan yang sangat mendasar.

Di dalam konsep barat, hukum kausalitas tersebut menafikan adanya kekuasaan dan kehendak Tuhan. Dalam arti lain, didasarkan atas potensi suatu benda atau usaha manusia saja. Sementara, dalam pandangan Islam, justru faktor di luar diri manusia dan benda itulah yang menentukan hasil akhir dari hukum kausalitas tersebut.

Dengan demikian, hukum sebab-akibat atau hukum kausalitas dalam Islam diyakini bahwa pada hakikatnya bukanlah sebab-sebab itu yang membawa akibat. Namun, akibat itu muncul karena Allah SWT yang menghendakinya.

Ketentuan Allah yang berlaku terhadap segala ciptaan-Nya di alam ini sudah ada sejak dulu sampai sekarang. Karena itu, umat Islam dituntut untuk selalu melakukan perjalanan dan penyelidikan di bumi, sehingga kita dapat sampai kepada suatu kesimpulan bahwa Allah dalam ketentuan-Nya telah mengikatkan antara sebab dengan musababnya.

Di dalam Al-Quran Allah berfirman,

قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ ۞

Qad khalat ming qablikum sunanun fa sîrû fil-ardhi fandzurû kaifa kâna ‘âqibatul-mukadzdzibîn

“Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan rasul-rasul.” (QS Ali Imran [3]: 137).

Source: Republika.Co.Id

About admin

Check Also

Saat Imam al-Ghazali Risau Terhadap Islam di Andalusia

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ ...