Home / Agama / Kajian / Mbah Shaleh Darat, Tafsir Sufistik Surat Al-Fatihah (6)
Ilustrasi Kitab Kuno

Mbah Shaleh Darat, Tafsir Sufistik Surat Al-Fatihah (6)

“Tiga Macam Hidayah Allah: Tiga Macam Petunjuk Allah kepada Hambanya.”

Oleh: Farhanah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Tafsiran Mbah Shaleh Darat terhadap ayat:

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ۞

“Utawi hidayah iku telung duman: hidãyah al-‘ãm, hidãyah al-khãṣ, hidãyah al-akhaṣ. Anapun Hidãyah al‘ãm: maka gawe ulihe anuduhaken Allah SWT marang sekabehane hayawan marang amrih manfaat lan nolak madlarat. Qãla ta’ãlã “rabbanã al- lażî a’ṭã kulla syai’in ṡumma hadã.”

Anapun Hidãyah al-Khãs: maka iku hidayah al-mu’minin marang dedalan kang nekaaken marang suwargo. Qãla Ta’ala “yahdîhim rabbuhum bi’îmãnihim” al-ayah.

Anapun Hidãyah al-Akhas: maka iku hidayah al-ḥaqîqah lan iyo iku hidayah sangking Allah ta’ãlã ngaku marang Allah kelawan Allah.

Qul inna hudallãhi huwa al-hudã. Qãla innî dzãhibun ilã rabbî sayahdîn. Utawi iki hidayah dadi ngaku maring Allah. Wus ngendiko kanjeng Nabi SAW. Wallahu laulã allahu mahtadainã hãżihi al-hidãyati billãhi. Demi Allah lamun ora kelawan Allah yekti ora oleh pituduh ingsun kelawan iki pituduh kelawan Allah. Angendiko maleh SAW “araftu rabbî birabbî walaulã faḍlu rabbî mã ‘araftu rabbî.” Weruh ingsun ing pengeran ingsun kelawan pengeran ingsun lamun ora kelawan fadlale pengeran ingsun moko yekti ora weruh ingsun ing pengeran ingsun.”[1]Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Faiḍ ar-Raḥmãn Fî Tarjamãt Tafsîr Kalãm al-Malik ad-Dayyãn, Jilid I, h. 19.

Terjemahan Bahasa Indonesia:

“Hidayah dibagi menjadi tiga macam: Ada hidayah al-‘ãm, hidayah al- khãsh, hidayah al-akhash. Adapun hidayah al-‘am, seperti halnya Allah SWT menunjukkan kepada semua hayawân memberikan manfaat dan menolak madlarat, Qâla ta’ãlã “rabbana al-lażî a’ṭã kulla syai’in ṡumma hadã.” Adapun hidayah al-khãsh, maka itu hidayah al-mukminîn kepada jalan yang mendatangkan surga. Qâla ta’âlâ “yahdîhim rabbuhum bi’îmãnihim al- ayah.

Adapun hidayah al-Akhãsh, maka itu hidayah al-haqîqah yaitu hidayah dari Allah ta’ãlã mengaku kepada Allah dengan Allah. Qul inna hudallãhi huwa al-hudã.” Qãla “innî żãhibun ilã rabbî sayahdîn.” Hidayah ini mengakui kepada Allah. Nabi SAW bersabda Wallahu laulã allahu mahtadainã hãżihî al-hidãyati billãhi. Demi Allah apabila tidak karena Allah tentu kita tidak mendapat petunjuk dengan petunjuk ini dari Allah. Bersabda lagi Nabi SAW “araftu rabbî birabbî walaulã faḍlu rabbî mã ‘araftu rabbî.” Saya tahu Tuhan saya karena Tuhan saya, apabila tidak dengan anugerah Tuhan saya maka tentu saya tidak tahu Tuhan saya.”

Wahbah az-Zuhailî berpendapat bahwa Allah SWT memberikan lima macam hidayah kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan, yaitu:

Pertama,  Hidãyah  al-ilhãm al-fiṭrî (hidayah ilham yang bersifat fitri). Hidayah ini diberikan kepada anak sejak kelahirannya. Anak merasa butuh untuk makan dan minum. Jika orang tuanya lupa memberikannya, ia menangis minta makan atau minum.

Kedua, Hidãyah al-ḥawãs (hidayah indera). Ini untuk melengkapi hidayah pertama. Kedua hidayah ini dimiliki baik oleh manusia maupun binatang. Bahkan yang ada pada binatang telah sempurna hanya beberapa saat setelah kelahirannya, sedang pada manusia menjadi sempurna secara bertahap.

Ketiga, Hidãyah al-‘aql (hidayah intelektual). Hidayah ini tingkatannya lebih tinggi dari dua hidayah yang sudah disebut sebelumnya. Manusia diciptakan secara alami sebagai makluk sosial yang hidup bersama orang lain.

Dalam hidup bermasyarakat tidak cukup hanya berbekal indera lahir, namun diperlukan kemampuan intelektual yang berfungsi untuk mengarahkannya kepada kehidupan. Menjaganya dari kesalahan dan penyimpangan, membetulkan kesalahan-kesalahan inderanya dan menyelamatkan dari hawa nafsu.

Keempat, Hidãyah ad-dîn (hidayah agama). Inilah hidayah yang tidak mungkin keliru dan sesat. Manusia terkadang terpengaruh oleh hawa nafsu, maka ia perlu dibantu dengan hidayah agama guna membimbing ke jalan yang lurus. Hidayah ini menjadi penjaga dari perbuatan buruk dan menjadi senjata untuk selalu berbuat kebajikaan.

Kelima, Hidãyah al-ma’ûnah wa at-taufîq (hidayah pertolongan untuk menempuh jalan kebajikan dan keselamatan). Hidayah ini lebih spesifik dari hidayah agama. Hidayah ini khusus hanya milik Allah SWT, tidak diberikan kepada seorangpun dari makhluknya, bahkan Dia nafikan juga dari Nabi Muḥammad SAW.

Dari beberapa macam hidayah diatas dapat disimpulkan, bahwa hidayah dalam al-Qur’an ada 2 macam:

1. Hidãyah ‘ammah (hidayah umum)

Petunjuk pada kemaslahatan-kemaslahatan para hamba di tempat kembalinya (kelak). Ini mencakup hidayah pertama hingga keempat.

2. Hidãyah khãṣṣah (hidayah khusus)

Pertolongan dan bimbingan untuk menempuh jalan kebajikan dan keselamatan, yang menyertai (hidayah) petunjuk diatas. Inilah hidayah kelima.[2]Wahbah Az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dãr al-Fikr, 2009), h. 59-60.

Dalam buku Al-Qaḍa’ wa Al-Qadr karangan M. Mutawalli asy- Sya’rawî yang di kutip oleh Muchotob Hamzah dkk, menjelaskan bahwa hidayah dalam al-Qur’an mempunyai dua arti:

Pertama, berarti sebagai petunjuk (ad-dalãlah) dan ini diberikan  kepada makhluk Allah secara umum, kafir ataupun muslim, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Fuṣṣilat: 17. Kata hadainãhum dalam ayat ini tidak bisa diartikan membimbing mereka untuk menerima hidayah, tetapi bermakna Kami menunjukkan mereka jalan menuju kebenaraan. Apakah mereka mau menempuhnya atau tidak, diserahkan pada mereka. Ternyata mereka, kaum Ṡamût, tidak mau mengikuti petunjuk tersebut.[3]Muchotob Hamzah, Tafsir Maudhu’i al-Muntaha, h. 195.

Menurut Quraish Shihab, hidayah dalãlah adalah penjelasan-penjelasan oleh para Nabi dan pengikutnya menyangkut ajaran-ajaran agama, menyangkut baik dan buruk, benar dan salah, wajib dan sunnah, serta masalah-masalah agama lainnya. Hidayah inilah yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. Seperti dijelaskan dalam QS. As-Syûrã [42] ayat 52:

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗمَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِيْمَانُ وَلٰكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَا ۗوَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ ۞

“Demikianlah Kami mewahyukan kepadamu (Nabi Muhammad) rūh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami menjadikannya (Al-Qur’an) cahaya yang dengannya Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Sesungguhnya engkau benar-benar membimbing (manusia) ke jalan yang lurus,”

Pengertian صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ adalah meliputi hal-hal yang bisa mengantarkan manusia kepada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat yang terdiri dari akidah hukum, syari’ah agama. Misalnya, ilmu yang membenarkan Allah, ilmu tentang kenabian Nabi Muḥammad SAW, ilmu tentang alam semesta, dan lain-lain. Pengertian ini disebut dengan ṣirãṭ al- mustaqîm, karena diumpamakan dengan jalan yang bisa diindra, dimana diantara keduanya mempunyai ciri yang sama yaitu menyampaikan kepada tujuan, jalan yang diindrera dapat mengantarkan kepada tujuannya begitu pula dengan jalan dalam maknawi juga dapat mengantarkan kepada tujuan yang dimaksud.[4]Ahmad Musṭafã Al-Marãghî, Tafsir Al-Marãghî Juz I (Baerut: Dãr Al-Fikr, tt.), h. 36.

Kedua, sebagai pertolongan (ma’ûnah) dan bimbingan (taufîq) kepada kebajikan, dan ini hanya diberikan kepada orang-orang yang menyambut baik seruan Allah, terima kepada-Nya, percaya pada tuntunan-Nya, dan patuh pada perintah-Nya.[5]Muchotob Hamzah, Tafsir Maudhu’i al-Muntaha (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2004), h. 195.

Ibnu Taimiyah menggunakan istilah yang berbeda namun maksudnya sama dengan kedua pendapat diatas, membagi hidayah menjadi dua: hudã mujmal (hidayah yang bersifat umum), dan hudã mufaṣṣal (hidayah yang terperinci).

Berdasarkan ketiga pendapat ulama di atas, dapat diketahui bahwa, antara Wahbah az-Zuhailî, asy-Sya’rawî dan Ibnu Taimiyah tidak ada perbedaan kecuali pada penggunaan istilah saja.

Pendapat Wahbah az-Zuhailî yang pertama sampai ke-empat masuk pada pendapat asy-Sya’rawî yang pertama, yaitu petunjuk (ad-dalãlah) dan ini diberikan kepada makhluk Allah secara umum, kafir ataupun muslim, dan masuk pada pendapat Ibnu Taimiyah yaitu hudã mujmal (hidayah yang bersifat umum). Kemudian, pendapat Wahbah az-Zuhailî yang ke-lima masuk pada pendapat asy-Sya’rawî yang ke-dua yaitu pertolongan (ma’ûnah) dan bimbingan (taufîq) kepada kebajikan, dan ini hanya diberikan kepada orang- orang yang menyambut baik seruan Allah, dan masuk pada pendapat Ibnu Taimiyah yaitu hudã mufaṣṣal (hidayah yang terperinci).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hidayah umum itu diberikan Allah kepada siapa saja, mukmin ataupun kafir. Melalui al-Qur’an dan Rasul-Nya, Allah telah menjelaskan mana jalan kebajikaan dan jalan keburukan. Memberitahu akibat, balasan, dan terminal akhir masing-masing jalan. Mana jalan yang akan dipilih mereka adalah pilihan mereka. Jika mau memilih beriman dan menjadi Islam, maka dia berpeluang untuk memperoleh hidayah khusus (terperinci) yang hanya dimiliki oleh Allah dan hanya diberikan kepada mereka yang taat dan senantiasa memohon kepada-Nya.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Penyandang Gelar Kebesaran Islam (Bagian 2)

“Gelar kebesaran dalam Islam (Ulama, Imam, Syekh, Kiai dan Ustadz) seringkali diklaim sendiri oleh seseorang ...