“Insãn adalah kumpulnya empat perkara: Nafsu, Qalbu, Rûh, Sirr.”
Oleh: Farhanah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Penafsiran ayat:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ ۞
Mbah Shaleh Darat menafsirkan bahwa manusia itu adalah terkumpulnya empat perkara, yaitu Nafsu, Qalbu, Rûh dan Sirr. Berikut penjelasan beliau:
“Kang aran insãn iku kumpule patang perkoro, nafsun wa qalbun wa rûhun wa sirrun. Moko utawi an-nafsu iku bongso dunyo moko nyembah nafsun ing hawane kang bangsa dunyo. Qãla ta’ãlã “afara’aita man at-takhaża ilãhahû hawãhu.” Moko utawi anapun lamun moko bangso akhirat moko nyembah qalbun ing surgane. Qãla ta’ãlã “wanaha an-nafsa an al-hawã fainna al-jannata hiya al- ma’wã.”
Moko utawi anapun rûh moko iku rûh bongso qurbah anyembah ing qurbah lan ‘inãyah. Qãla ta’ãlã “fî maq’adi ṣidqin ‘inda mãlikin muqtadir.”
Moko utawi anapun sir, moko iku bongso ḥuḍûr nyembah kelawan haq tabãrak wa ta’ãlã. Qãla SAW, Qãla ta’ãlã “al-ikhlãṣu sirrun bainî wa baina ‘abdî lã yasma’uhû fîhi malikun muqarrabun walã nabiyyun mursalîn.”
Moko nalikane paring Subhãnahû wata’ãlã ing kaulane diparingi nikmat aṣ-Ṣalãh moko dadi padang mencorong langite ati lan ‘arsy rûh lan mencorong maleh kursine sir bi nûrîhã tegese fa asyraqati al- arḍu bi nûri rabbihã. Kelawan nûre pengerane moko podo ngimanaken kabeh nafsun, qalbun, rûh, sir kelawan Allah SWT lan podo nyembah ing pengeran kelawan pantulan podo kufûr maring beraholone kabeh lan iyo iku dunyo suargo neroko qurbah lan dadi nafsun, qalbun, rûh, sir kabeh podo ngucap iyyãka na’budu wa iyyãka nasta’în.”[1]Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Faiḍ ar-Raḥmãn Fî Tarjamãt Tafsîr Kalãm al-Malik ad-Dayyãn, Jilid I, h. 17-18.
Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Yang dinamakan manusia itu kumpulnya empat perkara: nafsun, qalbun, rûh, dan sir. Adapun nafsun itu perkara dunia, maka menyembah nafsun kepada hawa nafsunya perkara dunia. Qãla ta’ãlã “afara’aita man al-takhaża ilãhahû hawãhu.” Adapun perkara akhirat, maka menyembah qalbun pada surga. Qãla ta’ãlã “wanaha an-nafsa ‘an al-hawã fainna al-jannata hiya al-ma’wã.”
Adapun rûh, maka rûh itu perkara qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), menyembah kepada qurbah dan ‘inayah (menyembah untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan meminta pertolongan Allah). Qãla ta’ãlã “fî maq’adi ṣidqin ‘inda mãlikin muqtadir.” Adapun sir adalah perkara ḥuḍûr menyembah dengan haq tabãrak. Qãla SAW: Qãla ta’ãlã “al-ikhlãṣu sirrun bainî wa baina ‘abdî lã yasma’uhû fîhi malikun muqarrabun walã nabiyyun mursalîn..” Ketika Allah SWT memberikan nikmat shalat kepada hambanya, maka menjadi terang benderang buminya nafsun, bersinar langitnya hati dan ‘arsy rûh, dan bersinar kursinya sirr bi nûrîhã artinya fa asyraqati al- arḍu bi nûri rabbihã. Dengan nur dari Tuhannya, maka semua pada mengimankan nafsun, qalbun, rûh, sir kepada Allah SWT, semua menyembah Tuhannya dengan pantulan kufûr pada berhala semua, yaitu dunia, surga, neraka, qurbah, dan menjadi nafsun, qalbu, rûh, sir, semua berkata iyyãka na’budu wa iyyãka nasta’în..”
Tingkatan dan perkembangan spritual manusia menduduki posisi yang vital dalam seluruh tradisi mistitisme religius. Di dalam kerangka tasawuf, pertumbuhan spiritual itu ditandai dengan naiknya kehidupan dari tingkat spritual rendah ke tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Tingkatan yang demikian sering juga disebut al-maqãmãt yang secara umum bisa diklasifikasikan secara hirarkis sebagai berikut:
- Maqãm an-nafs atau tingkatan nafsu
- Maqãm al-qalb atau tingkatan hati
- Maqãm ar-rûh atau tingakatan ruh murni (pure spirit)
- Maqãm as-sirr atau tingkatan rahasia ilahi
- Maqãm al-qurb atau tingkatan kedekatan kepada Allah SWT
- Maqãm al-wiṣãl atau tingkatan terhubung dengan Allah[2]Syamsul Bakri, Mukjizat Tasawuf Reiki Sehat Jasmani Ruhani dengan Energi Ilahi, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2006), h. 207-208.
Perjalanan spiritual menapaki jenjang al-maqãmãt al-rûhãniyah (tingkatan-tingkatan spiritual) inilah yang disebut sulûk (perjalan menuju Tuhan). Seorang sãlik (pelaku suluk) dalam melakukan perjalanan senantiasa diiringi dengan kesetiaan dan kepatuhan total pada Allah SWT dan mampu membelokkan seluruh keinginan dan kesadaran fisiknya. Para sãlikîn (penempuh laku spiritual) akan menempuh perjalanan panjang guna melakukan evolusi spiritual menuju kesadaran spiritual sebagai bagian paling esensial dalam kerangka eksistensinya.[3]Ibid., h. 208.
Menurut al-Ghazãlî, qalb mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama adalah hati jasmani (al-qalb al-jasmãnî) atau daging sanubari (al-lahm as-sanubari), yaitu daging yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri yang berisi darah hitam kental. al-Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak menyangkut masalah agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb seperti ini. Sedangkan qalb dalam arti yang kedua adalah sebagai lûṭ rabbãnî rûhî (bersifat spiritual), al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu.[4]Abu Hamid al-Ghazãlî, Iḥyã’ Ulûm ad-Dîn, jilid 4, terj. Ibnu Ibrãhîm Ba’adillãh (Jakarta: Republika, 2012), h. 4.
Masih menurut al-Ghazãlî, hati (qalb) memang perlu disucikan karena ia adalah media untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.[5]Abu Hamid al-Ghazãlî, Al-Munqiz Min aḍ-Ḍalãl (Beirut: Maktabah Asy-Sya’biyah, t.th., h. 76. Hati memiliki dua pintu, salah satunya mengahadap ke luar, dan yang lainnya mengahadap ke dalam. Pintu yang menghadap ke dunia luar dapat menangkap pengetahuan melalui panca indera. Sementara pintu yang menghadap ke dalam akan menangkap pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari alam ghaib.[6]Abu Hamid Al-Ghazãlî, Iḥyã’ Ulûm al-Dîn, Juz 3 (Mesir: Dar Asy-Sya’bi, 1974), h. 5. Pengetahuan dari alam ghaib berupa nur Ilahi. Hati yang seperti itu, apabila berhasil disucikan dari kotoran duniawi mampu menangkap cahaya Ilahi sehingga di dalam hatinya sendiri sadar akan bayang-bayang Tuhan. Atas`dasar inilah al-Ghazãlî mengemukakan: man ‘arafa qalbah faqad ‘arafa nafsah wa man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah.[7]Ibid., h. 5.
Seseorang dapat melihat sesuatu sesuai kenyataannya (hakikatnya) dengan hati. Ada beberapa orang yang dibukakan hatinya oleh Allah dengan beberapa ragam pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Berikut adalah pendapat Abu Abdillãh ibn Ãlî al-Ḥakim at-Tirmîżi yang dikutip oleh Nasirudin. Di antaranya adalah:
- Pengetahuan tentang ketercelaan dunia, kedahsyatan tipuan dunia. Seseorang dapat menyaksikan dunia sebagaimana kondisi dan sifat yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan, banyak manusia melihat dunia hanya dari sisi lahiriyahnya saja, mereka tidak mampu mengetahui kondisi dan sifat dunia yang sebenarnya.
- Pengetahuan tentang rekadaya dan jenis gangguan setan.
- Pengetahuan tentang tingkatan ahl at-taqwã, derajat ahl al-ilmi, kemuliaan akhlak, kebaikan pergaulan dengan sesama makhluk, perlawanan terhadap hawa nafsu, senantiasa mengikuti rasul dan berpegang teguh pada al-sunnah (tradisi nabi). Pada kenyataannya, banyak orang mukmin yang tidak suka mengikuti sunnah. Yang sunnah dinilai bid’ah dan yang bid’ah dinilai dinilai sunnah. Hal ini disebabkan seseorang telah tertutup sebagian hatinya untuk melihat sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
- Pengetahuan tentang kebesaran nikmat-nikmat Allah, keluasan pemberian- Nya, ampunan-Nya, dan keluasan rahmat-Nya.
- Penyaksian terhadap af’ãl rubûbiyah (perbuatan-perbuatan Allah) seperti menyaksikan bukti kekuasaan Allah dalam segala hal dan keindahan ciptaan-Nya.
- Pengetahuan tentang betapa keagungan Allah dan betapa kehinaan kekuasaan makhluk dihadapan Allah. Karena pengetahuannya, seseorang benar-benar mengagungkan Allah bukan
- Kesadaran akan taufîq (pertolongan) Allah untuk beribadah, indahnya ma’rifat dan mahabbah serta kesadaran akan penjagaan Allah dari kesesatan dan kekufuran.
- Menyaksikan keesaan Allah, sehingga ia tidak melihat selain Allah, ia melihat keqidaman, kesempurnaan dan kekekalan Allah serta barunya dan sirnanya makhluq.[8]Mohammad Nasirudin, Pendidikan Tasawuf (Semarang: Rasail Media Grup, 2010), hal. 46-48.
Al-Ghazãlî menjelaskan dalam buku yang berjudul Keluar Dari Kemelut (al-Munqîẓ min aḍ-Ḍalãl) tentang indra, akal, dan hati. Ada fase dalam hidupnya ketika al-Ghazãlî memandang indrawilah yang paling meyakinkan. Betapa saya akan ragu terhadap keberadaaan pena yang saya gunakan untuk menulis coretan ini? Tetapi ketika memperhatikan bayang-bayang rumahnya, ia menyadari betapa indra telah menipunya. Karena, walaupun mata kita tidak bisa mendeteksi dan melacak pergeseran bayang- bayang (karena lambatnya), namun kenyataannya pada waktu sore hari bayangan telah berpindah ke tempat yang berlawanan. Dengan begitu al- Ghazãlî menyadari betapa indra telah mengkhianati kita. Dan karena itu tidak dapat dipercaya sepenuhnya.[9]Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h.106-107.
Setelah itu, al-Ghazãlî mencoba akal, dalam bukunya Misykãt al- Anwãr, al-Ghazãlî mengatakan bahwa akal lebih patut disebut cahaya dari pada indra, sebab akal lebih lengkap menjelaskan keadaan sebuah objek dibanding dengan indra. Misalnya, mata tidak pernah bisa melihat bulan secara utuh. Tetapi akal kita bisa melihat bulan secara utuh.[10]Ibid., h. 108.
Setelah agak lama al-Ghazãlî ditenangkan oleh penemuan ini, al- Ghazãlî masih ragu. Ketika ia mulai merenungkan berbagai sistem filsafat yang berkembang dengan penyelidikan akal, al-Ghazãlî merasa bingung mengapa sistem-sistem filosofis bisa berbeda satu sama lain, padahal mereka sama-sama didasarkan pada akal. Kalau akal memang dapat mencapai kebenaran sejati, maka mestinya sistem-sistem filsafat ini akan sampai kepada kebenaan yang sama Tetapi nyatanya mereka berbeda satu sama lain. Hal ini, bagi al-Ghazãlî merupakan petunjuk bahwa akal tidak bisa mencapai kebenaran yang sejati. Dengan demikian untuk kedua kalinya al-Ghazãlî dikecewakan oleh kenyataan bahwa indra, akal tidak dapat dipercaya.[11]Ibid., h. 108-109.
Kemudian, al-Ghazãlî menyadari betapa akal dan indra mempunyai kekurangan yang mendalam. Tak lama setelah itu, al-Ghazãlî menemukan bahwa hatilah yang betul-betul dapat diandalkan untuk bisa menerima kebenaran secara lebih sempurna. Manusia yang telah membersihkan hatinya sehingga bagaikan kaca yang transparan, sehingga menerima cahaya ilahi saat cahaya itu membersit diatas hatinya dengan sangat jelas. Pelimpahan cahaya ilahi keatas hati manusia yang telah siap menerimanya itulah yang disebut para sufi sebagai mukãsyafah (penyingkapan) atau musyãhadah (penyaksian). Dalam peristiwa ini, manusia diperlihatkan Tuhan segala realitas dengan langsung dan gamblang, sehingga tidak menimbulkan sedikitpun keraguan didalam hatinya.[12]Ibid., h 109-200.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan rûh. Menurut al- Qusyairi, rûh adalah jism yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan akhlak terpuji. Dengan demikian, rûh berbeda dengan nafs dari sisi positif dan negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak terpuji. Ruh juga sebagai tempat mahabbah pada Allah.[13]Mohammad Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, h. 51-52.
Ruh adalah esensi dalam kehidupan. Ruh bukanlah badan fisik bukan akal. Bukan juga pemikiran atau memori. Ruh merupakan eksistensi yang jelas dalam dirinya sendiri yang berasal dari Tuhan sebagai pembeda dengan badan jasmani yang berasal dari anisir-anisir bawah (bumi) seperti air, udara, api, tanah. Manusia memiliki kecenderungan untuk mengembangkan aspek ruhani yaitu dengan cara mujãhadah, yaitu sebuah jihãd (perjuangan) spiritual menaiki jenjang spiritual (al-maqãm) yang lebih tinggi. Mujãhadah menjadi bagian terpenting dalam olah spirtual dan akan sangat menentukan apakah manusia akan mengalami perkembangan spiritual atau tidak.[14]Syamsul Bakri, Mukjizat Tasawuf Reiki Sehat Jasmani Ruhani Dengan Energi Ilahi, h. 210.
Perkembangan ruhani manusia tersebut diawali dengan perkembangan pada maqãm an-nafs (nafsu, emosi alami) yang hanya memberikan perhatian pada nafsu-nafsu dan keinginan badaniah. Dari kehidupan nafsu, manusia beranjak naik ke kehidupan hati (al-qalb). Pada kehidupan hati, manusia mulai menemukan dasar-dasar kebenaran dan kebijakan serta kejernihan pemikiran dan pertimbangan. Pada maqãm ini pula perasaan tentang dirinya, Tuhan, dan seluruh wujud-wujud di alam semesta mulai disadari secara baik. Untuk itu, diperlukan pendidikan moral yang mencukupi agar transformasi dari tingkatan nafs ke tingkatan qalb tidak berjalan prematur.[15]Ibid., h. 211.
Kehidupan hati merupakan tahapan penting dalam perjalanan spiritual manusia, karena hati merupakan titik tolak dalam menempuh perjalanan yang lebih tinggi dan ilahi. Tahapan selanjutnya adalah tahapan ruh. Kehidupan ini harus dilandasi oleh kebersihan hati. Hati adalah simbol ruhani remaja, sedangkan ruh dapat disimbolkan sebagai ruhani dewasa. Dari kehidupan ruh seorang spiritualis akan menaiki jenjang spiritual menuju kehidupan sirr (rahasia), qurb (kedekatan), wiṣãl (terhubung dengan Allah). Terhubung dengan Allah artinya seluruh gerak dinamis ruhaninya sudah berkesadaran ilahi. Sebagian sufi menganggap bahwa kesadaran ilahi tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah fana’ (hilangnya kesadaran individu), ada juga yang menganggap al-maḥabbah (percintaan), sedangkan yang lain ada yang menyebutnya al-ma’rifah (mengetahui secara langsung). Abu Yazîd al- Busṭãmi menyebutnya dengan al-ittiḥãd (persatuan). Sedangkan al-Ḥallãj menamainya al-Hulûl (incarnation). Apapun para sufi menyebutnya, yang jelas adalah bahwa kesadaran yang ingin dicapai adalah kesadaran spiritual yang sifatnya ilahi.[16]Ibid., h. 212.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb