Home / Agama / Kajian / Mbah Shaleh Darat, Tafsir Sufistik Surat Al-Fatihah (1)

Mbah Shaleh Darat, Tafsir Sufistik Surat Al-Fatihah (1)

“Shalat Dã’im: Allah sebagai Pusat Tujuan Hidup”

Oleh: Farhanah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Kitab Tafsir Faiḍ ar-Raḥmãn merupakan karya dari KH. Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarãni yang dikenal dengan laqab Mbah Shaleh Darat. Beliau adalah seorang ulama Nusantara yang sangat luas ilmunya. Keluasan ilmunya itu dapat dilihat dari begitu banyak karya yang dia munculkan dari berbagai bidang keilmuan, seperti fikih, tauhid, tafsir, dan tasawuf.

Mbah Shaleh Darat terkenal sebagai ulama, penulis dan penerjemah kitab-kitab kuning berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab Pegon. Untuk mendapatkan uraian lebih lengkap tentang sejarah beliau, silahkan diklik pada artikel yang berjudul, “Biografi KH. Sholeh Darat” atau berjudul, “Mengenal Lebih Dekat KH. Sholeh Darat“.

Pemahaman terhadap ayat al-Qur’an melalui penafsiran, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan dan kemunduran umat. Karena, penafsiran dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Sebagaimana corak sufi yang ada dalam tafsir Faiḍ ar-Raḥmãn, juga memberikan pengaruh yang besar dalam keberagamaan umat, khususnya dalam hal tasawuf.

Dalam kajian Surat al-Fātiḥah yang dilakukan oleh penulis, banyak ditemukan warna-warna tasawuf dalam penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh Mbah Shaleh Darat.

Surat al- Fātiḥah ayat 1,

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ۞

Mbah Shaleh Darat memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut dengan Bahasa Jawa sebagai berikut:

“Tegese shalat ingsun kelawan asmane dzate Allah SWT kang persifatan jalãl sertane qahhãr lan iyo iku madlûle ar-Raḥmãn lan dzat kang persifatan jamãl sertane kamãl lan iyo iku madlûle sifat ar-Raḥîm. Moko utawi iki ono iku dadi patang martabat. Suwijine martabat asmã, kapindo martabate dzat lan iyo lafadz Allah, lan kaping telu martabat jalãl, tegese morbowaseso, lan kaping papat martabate jamãl tegese sampurno moko iku isyarah marang martabat papat. Al-ulûhiyah, wa ar-rûḥãniyah, wa jasmãniyah, wa al-ḥayawãniyah.”[1]Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Faiḍ ar-Raḥmān fī Tarjamāt Tafsīr Kalām Malik ad-Dayyān, jilid I (Singapura: Haji Muhammad Amin, 1898), h. 5-6.

Terjemahan Bahasa Indonesia:

“Artinya aku shalat dengan menyebut nama Dzat Allah SWT yang bersifat Jalãl serta Qahhãr yaitu madlûl-nya ar-Raḥmãn dan dzat yang bersifat Jamãl juga Kamãl yaitu madlûl-nya sifat ar-Raḥîm. Maka menjadi empat martabat. Pertama martabat Asmã’, kedua martabat Dzat yaitu lafadz Allah, dan ketiga martabat Jalãl, artinya mengatur, dan yang keempat martabat Jamãl artinya sempurna, maka itu isyarat pada martabat empat; Al-ulûhiyyah, wa ar-rûḥãniyyah, wa jasmãniyyah, wa al-ḥayawãniyyah.”

Penjelasan yang dikemukakan oleh Mbah Shaleh Darat, bahwa manusia mempunyai martabat empat, yaitu ulûhiyyah, rûḥãniyyah, jasmãniyyah, dan ḥayawãniyyah. Tentang martabat empat itu, beliau memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Moko ono haqiqate maknane bismillãh ar-Raḥmãn ar-Raḥîm iku setuhune wujude Allah iku kelawan dzate dewe lan sifate Allah kabeh iku ono kalane sangking arah jalãl lan ono kalane arah jamãl. Moko ngendiko Allah SWT moko kelawan dzat ingsun jumeneng kabeh lan barang kang liyo ingsun iku kabeh nama kang maujud kelawan wujud ingsun lan jumeneng kelawan jumeneng ingsun. “Fasubḥãn al-lażî biyadihî malakûtu kuli syaiin wa ilaihi turja’ûn.”

Utawi ba’e bismillãh iku bitaḍammun arane tegese ngawiti ingsun kelawan asmo ingsun lan haqqah ingsun kabeh lan utawi ingsun iku Allah al-Raḥmãn al-Raḥîm. Lan kelawan ingsun dadi maujud kabeh mumkin lan kelawan ingsun dadi ẓãhir sakabehane maujûdãt lan mertikelaken ingsun ing asbãbe pengupo jiwane makhluk kabeh kelawan sifat Raḥmãn ingsun lan ngunggahaken ingsun ing derajate wong kang ahli qurabât wa ahli al- kuramãt kelawan sifat wa Ḥamîd ingsun. Moko dadi ono isayarahe yoiku ono sekabehane maujûdãt moko iyo ikulah dzahire jalãl jamãl Allah SWT. Moko kenuruhan setuhune sifat ar-Raḥmãn lan ar-Raḥîm iku podo qadîm azãlî lan Allah SWT fi al-azalî wus persifatan ar-Raḥmãn ar-Raḥîm. Wus anuturaken imam Abû Ḥãmid al-Ghazãlî setuhune kanjeng Nabi Rasulullah SAW iku ngendiko “takhallaqû bi akhlãqillãh” podo nganggoho siro kabeh kelawan kelakuhane Allah SWT. Moko sayogyo setuhune wong mukmin arep anduweni sifat welas asih marang sak pepadane moko wajibe melasi lan ngasihi. Iku awake dewe disik. Ora wenang melasi wong liyane yen ora welasi awake dewe. Utawi anapun melasi awake iku arep welas rong perkoro suwijine arep welas asih rûḥãnihe lan kapindu arep welas asih jasmãnihe.

Utawi artine welas asih rûḥãnihe iku arep sampurno olehe ngerekso huqûqu al-rubûbiyah. Lan artine welas asih jasmãnihe iku arep sampurno olehe ngerekso ‘ubûdiyah. Moko dadi ono sampurnane menuso iku kamâ al-‘ubûdiyah. Lan kamãl ri’ãyah huqûqu al-rubûbiyah. Moko menuso kang mengkono iku arane insãn kãmil. Moko ono dzahire ba’ bismillãh iku ing dalem insãn.”[2]Ibid., h. 6

Terjemahan Bahasa Indonesia:

“Maka hakikatnya maknanya bismillãh ar-Raḥmãn ar-Raḥîm sesungguhnya wujudnya Allah itu dengan dzatnya sendiri dan semua sifat Allah itu ada kalanya dari arah jalãl dan adakalanya dari arah jamãl. Maka Allah SWT berfirman dengan dzatku berdiri semua dan barang selain aku nama yang wujud dengan wujudnya aku dan berdiri dengan berdirinya aku. “Fasubḥãn al-lażî biyadihî malakûtu kuli syai’in wa ilaihi turja’ûn.”

Adapun ba’-nya bismillãh itu mengandung artinya aku memulai dengan nama aku dan haqqah aku semua, adapun aku itu bismillãh ar-Raḥmãn ar-Raḥîm. Dan akulah yang mewujudkan semua yang mungkin, dan akulah yang menjadikan ẓãhir semua yang wujud, dan akulah yang memperlihatkan karena sebab yang dicari semua makhluk hidup adalah sifat Raḥmãn aku dan mengangkat aku kepada derajatnya orang ahli al- qurabãt wa ahli al-kuramãt dengan sifat wa ḥamîd aku. Maka menjadi ada isyaratnya yaitu kepada semua yang wujud, maka itulah dzahirnya jalãl jamãl Allah SWT. Maka sesungguhnya sifat ar-Raḥmãn dan ar-Raḥîm itu sama qadîm azãlî dan Allah SWT fi al-azãlî sudah bersifat ar-Raḥmãn ar-Raḥîm. Sudah berkata Imãm Abû Hãmid al-Ghazãlî “Sesungguhnya Nabi Rasulullah SAW bersabda “takhallaqû bi akhlãqillãh” berbuatlah kalian semua seperti perbuatan Allah SWT. Maka sebaiknya orang mukmin ingin mempunyai sifat kasih sayang kepada sesamanya maka wajib mengasihi dan menyayangi kepada diri sendiri terlebih dahulu. Tidak boleh mengasihi kepada lainnya apabila tidak mengasihi diri sendiri. Adapun mengasihi diri sendiri itu akan mengasihi dua perkara, pertama kasih sayang rûhãni-nya dan kedua kasih sayang jasmãni-nya.

Adapun kasih sayang rûhãni-nya itu akan sempurna menjaga huqûq al-rubûbiyah. Dan artinya kasih sayang jasmãni-nya itu akan sempurna menjaga ‘ubûdiyah. Maka manusia menjadi sempurna itu kamãl al-‘ubûdiyah. Dan kamãl ri’ãyah (menjaga) huqûq al-rubûbiyah. Maka manusia yang seperti itulah dinamakan insãn al-kãmil. Maka ada dzahirnya ba’ bismillãh itu di dalam insãn.”

Begitulah Mbah Shaleh Darat memberikan penjelasan bismillãh ar-Raḥmãn ar-Raḥîm, sebagai ayat pertama Surat al-Fãtihah dengan nuansa sufistiknya begitu kental.

Shalat Dã’im: Allah sebagai Pusat Tujuan Hidup

Dalam tafsir Faiḍ ar-Raḥmãn, yang dimaksud shalat dã’im adalah lã maujûda illallãh, lã ma’bûda illallãh, lã maqṣûda illallãh. Maksud dari pengertian tersebut adalah proses penyembahan seorang hamba terhadap Allah dalam ayat atau lafadz iyyãka na’budu.[3]Ibid., h. 15.

Mbah Shaleh Darat menafsirkan:

“Utawi maknane ibadah ing Allah iku nauhidaken ing Allah lan nyuwijeaken peningale maring Allah beloko, sekiro-kiro ora ono engkang den pandang anging Allah beloko, moko mengkono iku haqiqate shalat dã’im, lan iyo iku nyatane pengucap lã ilãha illallãh.”[4]Ibid., h. 11.

Terjemahan Bahasa Indonesia:

“Adapun artinya ibadah kepada Allah itu men-tauhidkan kepada Allah dan meng-Esakan penglihatan hanya kepada Allah, kiranya tidak ada yang dilihat kecuali hanya kepada Allah. Maka itulah hakikat shalat dã’im dan itulah nyatanya ucapan lã ilãha illãh.

Ṣalãtan berasal dari bahasa Arab yang berarti: sembahyang atau shalat. Dã’im berasal dari kata dãma yang juga berasal dari bahasa Arab yang artinya: Yang tetap selalu. Jadi artinya shalat dã’im adalah shalat yang tetap atau shalat yang terus menerus yang tidak pernah lupa.[5]Wahyu H.R, Ngelmu Kejawen: Shalat Daim Mulat Salira, Rahasia Perjalanan Roh, Ilmu Kanuragan, Hingga Ilmu Makrifat, h. 41.

Kitab suluk kebatinan Islam menyatakan, mengerjakan shalat dã’im itu setiap hari, mulai bangun tidur pagi hari sampai malam ketika tertidur pula. Di dalam hatinya terus menerus mengucapkan zikir Allah, Allah atau Hu-Allah. Hu-Allah menurut irama keluar masuknya napas, hatinya berdzikir Allah, dan saat menghirup napas hatinya berdzikir Hu berganti-ganti tanpa pernah berhenti, meskipun sedang melakukan pekerjaan sekalipun.[6]Ibid., h. 43.

Pada awal perkembangan Islam agama Islam di Jawa, shalat dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu shalat syari’at, shalat tarekat, shalat hakikat, dan shalat makrifat. Istilah-istilah ini tidak dijumpai di dalam al-Qur’an. Bahkan gabungan shalat dan khusyuk, atau shalat dan dã’im pun tidak disebut secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Pembagian ini tidak menimbulkan istilah bid’ah pada waktu itu, karena para ulama’ yang mengajarkan agama Islam sangat paham dengan esensi ajaran Islam.[7]Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar Makrifat Kasunyatan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), h. 303.

Shalat syari’at adalah shalat yang dilakukan berdasarkan gerak ragawi, yang bersuci dengan menggunakan air. Inilah tahap paling awal untuk mengenal Allah. Jadi, gerakan jasmani secara teratur dan ajeg adalah pegangan kita sebelum melangkah dan berlari. Jika shalat syari’at ini dilakukan secara benar dan berjama’ah, pasti akan membangun interaksi sosial yang baik dan rukun.[8]Ibid.

Shalat tarekat adalah sembah cipta. Cara bersucinya tidak menggunakan air tetapi memerangi hawa nafsu. Pada tahap inilah seorang pelaku shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Shalat tarekat ini berupa zikir yang dilakukan secara teratur, tertib dan dipraktekkan dengan pikiran tenang. Hasilnya adalah pikiran jernih, sehingga akhirnya dapat tercapai keadaan sadar dalam segala keadaan, dan waspada.[9]Ibid., h. 304.

Ketiga adalah shalat hakikat adalah tahap yang lebih tinggi. Cara bersucinya dengan 4 hal, yaitu heneng, hawas, hening, dan heling (diam, hening, awas, dan waspada). Oleh karena itu, shalat hakikat disebut juga sebagai sembah jiwa atau sembah sukma.[10]Ibid., h. 305. Pada tahap awal, seseorang harus mengalahkan hawa nafsunya sendiri. Belajar sabar, berbuat baik kepada siapapun, memperbanyak amal kebaikan, mengurangi kesenangan duniawi dengan laku puasa ilmu dan tarikat. Menyisihkan atau membuang jauh-jauh sifat dan perilaku nanding salira dan ngukur salira, untuk kemudian belajar tepa salira dan mulat salira. Belajar menghilangkan rasa ego individu untuk mengganti dengan rasa “aku” universal.[11]Wahyu H.R, Ngelmu Kejawen: Shalat Dai Mulat Salira, Rahasia Perjalanan Roh, Ilmu Kanuragan, Hingga Ilmu Makrifat (Yogyakarta: Cakrawala, 2013), h. 173.

Shalat makrifat adalah sembah rasa. Cara bersucinya dengan zuhud (jawa: wairagya), yaitu melepaskan diri dari berbagai keinginan raga dan jiwa. Inilah tahap itstibatul yaqîn. Ini pula tahap manunggaling kawula gusti yang sebenarnya. Si kawula berbuat bukan karena keinginan maupun kehendak dirinya, tetapi oleh Gustinya. Shalat makrifat itulah yang bisa disebut sebagai semedi (Sanskerta, samadhi), yang juga disebut shalat khusyuk alias shalat dã’im.[12]Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar Makrifat Kasunyatan, h. 307.

Shaleh Darat menjelaskan bahwa, dalam shalat dã’im tercakup konsep keyakinan lã maujûda illã Allah, lã ma’bûda illã Allah, lã maqṣûda illã Allah.

Lã maujûda illã Allah, dipahami bahwa tiada yang wujud kecuali Allah. Kemudian, konsep lã ma’bûda illã Allah dipahami dengan tidak ada yang berhak disembah kecuali hanya Allah, dan konsep lã maqṣûda illã Allah dipahami dengan tiada yang menjadi tujuan kecuali Allah. Dengan tiga konsep itu, maka Shaleh Darat dalam konsep tasawufnya, diajarkan ajaran tauhid yang meyakini bahwa tiada yang wujud, yang berhak disembah dan dijadikan tujuan ibadah hanya kecuali Allah SWT.

Para ulama menjelaskan adanya tiga macam tauhid, yaitu Tauhid ulûhiyyah, Tauhid rubûbiyyah, dan Tauhid asma’ wa aṣ-ṣifat. Menurut Muhammad ibn Jamil Zainu, Tauhid ulûhiyyah yaitu bahwa Allah adalah Tuhan dan pencipta alam semesta ini. Sedangkan, Tauhid rubûbiyyah, adalah menunjukkan kepada Allah semata segala bentuk ibadah, seperti berdoa, meminta pertolongan, thawaf, menyembelih kurban, bernadzar, dan lain-lain. Tauhid asma’ wa aṣ-ṣifat, adalah mengimani semua informasi di dalam al- Qur’an dan hadis ṣahih berkenaan dengan sifat-sifat Allah yang disebutkan oleh Allah sendiri maupun rasul-Nya.[13]Muhammad ibn Jamil Zainu, al-Firqohun Najiyah: Jalan Hidup Golongan yang Selamat, terj. Abu Shafiya, cetakan 1 (Yogyakarta: Media Hidayah, 2003), h. 31-32. Menurut Yunahar Ilyas, Tauhid ulûhiyyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya ma’bud (yang disembah).[14]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, cetakan 5 (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2009), h. 28.

Konsep diatas diperkuat dengan ayat yang lain dari surat al-Fãtiḥah ayat 5,

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ ۞

“Tegese ing tuan nyembah kulo lan ing tuan nyuwun pitulung kulo ingatase ibadah kulo lan liya-liyane ibadah.”[15]Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Faiḍ ar-Raḥmãn fî Tarjamãt Tafsîr Kalãm Malik ad-Dayyãn, jilid I, h. 15.

Terjemahan Bahasa Indonesia:

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan pada ibadah dan lainnya ibadah”.

Berkaitan tentang ibadah, sebagaimana tersurat dalam ayat 5 surat al- Fãtiḥah ini, dijelaskan oleh Shaleh Darat sebagai berikut:

“Maknane ibadah iku ibadah anekani sekabehane perintah, lan ngadohi sekabehane cegah sertane kelawan angagungaken marang engkang perintah mahu ngelakoni perintah beloko ora ono gharadl liyane. Maka utawi ibadah engkang mengkono iku den dum telung perkoro, kang dingin ora nyembah ing Allah kerana kepengen suwargo lan belayu sangking neraka. Yen maka mengkono-mengkono derajat kang ashor derajate wong awam. Kerono ma’bûde ing dalem haqiqate iku suargo lan neroko lan pengeran ginawe lantaran olehe arep amrih surgo lan melayu saking neroko. Kerono qã’idahe wong ahli ma’rifat utawi saben-saben maḥbûb iku maqṣûd, lan saben-saben maqṣûd iku ma’bûd, lan saben-saben ma’bûd iku Ilãh. Moko dadi ono al-Ilãhi iku jannah lan nãr.

Lan kapindoni arep nyembah ing Allah kerono arah amrih kemulyaan mungguh ing Allah kelawan sebab ibadahe. Moko utawi iki iyo luweh utomo tinimbang derajat kang awal. Lan kurang bagus tinimbang derajat kang kaping telu. Kerono iki derajat engkang den maksud ora maring Allah beloko moko namane ora tauhid.

Lan derajat engkang kaping telu arep nyembah ing Allah kerono arah setuhune Allah iku bendarane lan dewe’e kawulane mesti miturut perintah lan ngedohi cegah ora kerono arah suarga lan arah neroko balik kerono arah bendarane lan dewe’e kaulane. Moko ikulah artine pengucap muṣallî uṣallî lillãh ta’ãlã. Moko ikilah den arani ubûdiyah sampurno tauhide kerono mulyane maqame menuso iku amung loro, suwiji ma’rîfah li rubûbiyah, kapindo ma’rîfah al-ubûdiyah, lan nalikane kumpul karone moko hasil perjanjian kang kasebut ing dalem ayat wa aufû bi’ahdî ûfi bi’ahdikum. Anapun kamale ar-rubûbiyah moko kasebut ing dalem pengucap al-ḥamdulillãhi rabb al-‘ãlamîn, ar- Raḥmãn ar-Raḥîm, mãliki yaum ad-dîn. Anapun kawitane ‘ubûdiyah kasebut ing dalem pengucap iyyãka na’budu. Kamale ‘ubûdiyah iku kasebut ing dalem iyyãka nasta’în.

Tegese nyembah kulo ing tuan keranten tuan kang damel kulo, nyuwun tulung kulo ing tuan keranten tuan kang kulo maksud, lan nyuwun tulung kulo ing tuan keranten tuan kang kulo maṭlûb lan tuan maḥbûb. Nyembah kulo ing tuan kranten tuan mãlik, lan nyuwun tulung kulo ing tuan keranten liyo tuan mãlik anyembah kulo ing tuan keranten tuan sampun paring ni’mat ing kulo, lan nyuwun tulung kulo ing tuan ingatase ma’rifat kulo ing tuan. Anyembah kulo ing tuan keranten tuan sampun dawuh kaleyan kulo “yã ‘ibãdî” lan nyuwun tulung kulo ing tuan keranten tuan sampun nuduhaken ing kulo dumateng ing tuan moko nuli ngucap kulo arah nyuwun ing bendarane kelawan ndepe-ndepe lan ngawulo.[16]Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Faiḍ ar-Raḥmãn fî Tarjamãt Tafsîr Kalãm Malik ad-Dayyãn, Jilid I, h. 16-18.

Terjemahan Bahasa Indonesia:

“Maknanya ibadah adalah ibadah melaksanakan semua perintah dan menjauhi segela larangan Allah, serta mengagungkan kepada dzat yang memerintah (Allah), hanya mengerjakan perintah saja tanpa ada tujuan lainnya. Maka ibadah yang seperti itu dibagi menjadi tiga bagian. Yang pertama, tidak menyembah kepada Allah karena menginginkan surga dan lari dari neraka. Maka itulah derajat yang rendah  bagi  orang awam. Karena pada dasarnya ma’bûd yang terdapat dalam maqam haqîqat adalah surga dan neraka. Tuhan menciptakannya karena mengharapkan surga dan menjauhi neraka. Kaidah yang dijadikan pegangan oleh ahli ma’rifat adalah segala maḥbûb (yang dicintai) adalah maqṣûd (yang dituju), segala maqṣûd adalah ma’bûd (yang disembah), dan segala ma’bûd adalah ilãh (Allah). Oleh karena itu, adanya Allah terciptalah surga dan neraka.

Tingkatan yang kedua adalah menyembah Allah dengan harapan memperoleh kemuliaan di sisi Allah lantaran ibadahnya. Tingkatan kedua ini lebih utama daripada tingkatan yang pertama dan kurang baik daripada tingkatan ketiga. Pada tingkatan ini yang dituju bukanlah kepada Allah semata, maka hal ini tidak dinamakan tauhid.

Tingkatan yang ketiga yaitu menyembah Allah dengan keyakinan bahwa Allah adalah Tuan dan yang menyembah adalah seorang hamba yang harus tunduk dan patuh terhadap segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, bukan karena mengharap surga ataupun neraka, tetapi karena Tuannya dan dia hamba-Nya. Maka itulah artinya pengucapan muṣallî uṣallî lillãhi ta’ãlã. Inilah yang dimaksud dengan penghambaan dengan kesempurnaan tauhid. Karena maqãm (kedudukan ) seorang manusia hanya ada dua, yaitu ma’rifah li rubûbiyah dan ma’rifah al- ubûdiyah. Ketika dua tingkatan ini berkumpul, maka hal ini merupakan maksud dari ayat wa aufû bi’ahdî ûfi bi’ahdikum. Adapun kesempurnaan ar-rubûbiyah termaktub dalam ayat al-ḥamdulillãhi rabb al-‘ãlamîn, ar-Raḥmãn ar-Raḥîm, mãliki yaum ad-dîn. Awal ‘ubûdiyah termaktub dalam ayat iyyãka na’budu. Dan kesempurnaan ‘ubûdiyah di dalam ayat iyyãka nasta’în.

Hamba menyembah hanya kepada-Mu karena Engkaulah yang menciptakan hamba. Hamba hanya memohon kepada-Mu karena Engkaulah yang hamba inginkan. Hanya Engkaulah yang hamba tuju dan hamba cintai. Hamba menyembah kepada-Mu karena Engkaulah yang Maha Menguasai (Mãlik). Dan aku meminta pertolongan kepada Engkau karena Engkau Mãlik, aku menyembah kepada Engkau karena Engkau telah memberikan kenikmatan kepadaku dan aku meminta pertolongan kepada Engkau karena Engkau telah memberi anugerah kepada hamba yang berupa mengenal (ma’rifat) kepadamu. Hamba menyembah kepada-Mu karena Engkau telah bersabda “yã ‘ibãdî”. Dan aku meminta pertolongan kepada-Mu karena Engkau telah memberikan hamba petunjuk. Maka dari itu hamba memohon dan menyembah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan mengahamba.”

Dari uraian di atas, dapat disederhanakan sebagai berikut, tiga pembagian ibadah kepada Allah:

  1. Tidak Menyembah kepada Allah karena menginginkan surga dan takut siksa neraka. Itu adalah derajat yang paling rendah.
  2. Menyembah kepada Allah karena mencari kemulyaan disisi Allah. Yang demikian itu derajat yang lebih tinggi daripada yang pertama.
  3. Menyembah kepada Allah tidak karena mengharapkan surga ataupun takut masuk neraka, tetapi karena sadar bahwa ia sebagai hamba Allah dan Allah sebagai Tuhan.

Pada poin c yang dimaksud adalah menyembah kepada Allah tanpa menginginkan adanya kenikmatan surga dan terlepas dari siksa neraka. Tetapi karena menyadari bahwa dirinya adalah seorang hamba yang harus mentaati perintah Allah. Inilah penyembahan yang derajatnya paling tinggi karena benar-benar mengagungkan ke-Esaan Allah.

Amal seseorang hendaknya jangan dijadikan sandaran untuk berharap mendapat surga atau selamat dari siksa api neraka. Karena ternyata, banyak orang-orang terdahulu yang beribadah, tapi mereka tidak luput dari siksa Allah. Oleh karena itu, menurut Shaleh Darat, seseorang hendaknya hanya bersandar dan berpegang teguh serta bergantung kepada Allah, bukan kepada selain-Nya, termasuk dengan persoalan rezeki.[17]Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Matn al-Ḥikam (Semarang: Thoha Putra, t.th) h. 2-4

Ibadah seseorang tidak dapat menjamin masuk surga, dan kemaksiatan juga tidak menyebabkan orang masuk neraka. Iman dan kufur, masuk surga atau neraka adalah anugerah (fadl) Allah dan keadilan Allah semata. Taat dan maksiat hanyalah alamat bagi orang yang akan masuk surga atau neraka.[18]Ibid., h. 5-6.

Kenikmatan yang diperoleh seseorang hanyalah karena anugerah atau fadl, bukan karena amal seseorang. Karenanya, seseorang tidak patut meminta pahala atas amalnya. Sebab, hakikatnya orang tidak memiliki amal, tetapi Allahlah yang memberikan amal. Oleh karena itu, seseorang hendaknya bersyukur atau berterimakasih kepada Tuhan atas pemberian-Nya.[19]Ibid., h. 4-5, lihat Ghazali Munir, shalat jum’at berganti, h. 51. Lihat jurnal M. In’amuzzahidin, Pemikiran Sufistik Muhammad Shaleh as-Samarani” dalam Walisongo, Vol. 20, no. 2, (November … Continue reading

Menurut Misbah Musthafa dalam tafsir al-Iklîl, ibadah adalah mengerjakan perintah atau anjuran dari Allah dan Nabi Muhammad SAW dengan rasa mengagungkan. Selanjutmya Misbah membagi Ibadah menjadi tiga tingkatan, yaitu:

Pertama, tingkatan rendah yaitu ibadah kepada Allah karena ingin mendapat pahala dari Allah atau jangan sampai disiksa oleh Allah. Tingkatan ibadah ini disebut rendah, karena hakekatnya yang disembah itu pahala bukan Allah. Allah dijadikan perantara untuk menghasilkan apa yang diinginkan.

Kedua, tingkatan tengah-tengah yaitu ibadah karena bisa jadi orang mulia sebab ibadahnya atau bisa jadi orang itu dekat dengan Allah.

Ketiga, tingkatan yang tinggi yaitu ibadah kepada Allah, karena Allah adalah Tuhan yang besar kenikmatan atau rahmatnya, kekuasaannya, dan seorang hamba dengan sifat kehambaanya, sudah semestinya kita tunduk sungkem dan mengagung-agungkan Allah.[20]Misbah bin Zain al-Musthafa, Al-Iklīl fī Ma’ān at-Tanzīl (Surabaya: al-Ihsan, t.th), h. 5.

Barang siapa menyembah kepada Allah lantaran mengharapkan sesuatu dari-Nya, seperti surga atau agar menolak menjauhi siksa neraka, maka orang tersebut belum menunaikan hak sifat-sifat Allah.[21]Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Syarah al-Hikam, ter. Miftahul Ulum & Agustin Mufarohah, (Depok: Sahifa, 2015), h. 107-108.

Ibadah karena mengharap surga dan menghindari siksaan neraka itu bukan hak seorang hamba, akan tetapi hanya menuruti hawa nafsunya saja. Karena hak seorang hamba adalah menyembah Tuhan-Nya dan lantaran sifat kemuliaan dan keluhuran Tuhan-Nya.[22]Ibid., h. 108.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Penyandang Gelar Kebesaran Islam (Bagian 2)

“Gelar kebesaran dalam Islam (Ulama, Imam, Syekh, Kiai dan Ustadz) seringkali diklaim sendiri oleh seseorang ...