بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Pantas saja jika kemudian muncul berbagai aliran dalam mengkaji bahasa Arab. Karena salah satu keistimewaan bahasa Arab ialah bisa diteliti dari berbagai sudut pandang. Irwan Masduqi menyebutkan setidaknya empat aliran dalam mengkaji bahasa Arab, yakni: aliran fonetik (al-ittijâh ash-shauti), aliran korelatif (al-ittijâh at-tarabuthi), aliran mitologi (al-ittijâh al-mitsuluji) dan aliran sufi-filosofis (al-ittijâh ash-shûfi al-falsafi).
Aliran sufi-filosofis merupakan aliran yang mengkaji bahasa Arab dari segi sufistik. Ulama yang berhasil mengadopsi pendekatan ini dalam mengkaji bahasa Arab adalah Ibn Arabi dengan kitabnya Futûhâtul Makkiyyah dan Al-Qusyairi dengan kitabnya yang berjudul Nahwul Qulûb.
Hampir serupa dengan apa yang dihasilkan oleh Al-Qusyairi, ulama Nusantara yang berhasil mengulik makna filosofis teori ilmu nahwu dan mengaitkannya dengan ilmu tasawuf adalah Kiai Nur Iman Yogyakarta. Kitab Kiai Nur Iman yang berjudul As-Suni Al-Mathâlib fî Istilâhil ‘Awâqib membahas tentang teori gramatika Arab yang diberikan catatan lembut berkaitan dengan ilmu tasawuf.
Kiai Nur Iman merupakan ulama dari golongan bangsawan yang memilih hidup di luar keraton untuk menyebarkan agama Islam. Dengan nama kecil RM. Sandiyo, putra dari RM. Suryo Putro ini dilahirkan sekitar tahun 1719 M, pada saat ayahnya menjabat sebagai Raja Amangkurat Jawa IV.
Melalui bimbingan dan asuhan Kiai Abdullah Mushsin Gedangan, kakak Sultan Hamengku Buwono I ini mampu menguasai berbagai keilmuan Islam. Hingga akhir hayatnya, beliau tinggal di desa Mlangi (berasal dari kata mulangi yang berarti mengajari) dan disemayamkan di belakang Masjid Jami Pathok Negara Mlangi, Sleman, D.I. Yogyakarta.
Selain menguasai berbagai ilmu pokok ajaran Islam, Kiai Nur Iman juga menguasai ilmu bahasa Arab yang menjadi dasar untuk memahami literatur utama agama Islam. Di antara buah pemikiran Kiai Nur Iman dalam ilmu bahasa Arab tertuang pada karangan beliau, di antaranya: Kitab At-Taqwîm, Risâlah Sharfiyyah dan As-Suni Al-Mathâlib fî Istilâhil ‘Awâqib.
Kitab Al-Taqwîm memuat ringkasan (ikhtishâr) dari cabang ilmu nahwu. Hal ini diketahui dari mukaddimah kitab yang secara eksplisit menyebutkan bahwa kitab ini adalah ringkasan (fa hâdzihi mukhtasharun fî ‘ilmin nahwi). Dalam ilmu sharaf, Kiai Nur Iman mengarang kitab berjudul Risâlah Sharfiyyah yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya dan kemudian dikenal dengan Shorof Mlangi. Sedangkan kitab As-Suni Al-Mathâlib menjelaskan tentang kaitan ilmu nahwu dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Merujuk penelitian Irwan Masduqi dan Zakiyah, sitematika penulisan kitab As-Suni Al-Mathâlib adalah dengan menjelaskan aturan gramatika Arab menurut ahli nahwu, kemudian disusul dengan komentar lembut terhadap teori yang ada. Tak jarang komentar-komentar yang diberikan Kiai Nur Iman terhadap ilmu nahwu bernuansa sufistik. Di antaranya adalah ketika Kiai Nur Iman menjelaskan tentang isim munsharif dan isim ghairu munsharif.
Kiai Nur Iman memberikan penjelasan tambahan bahwa munsharif adalah manusia yang selamat karena mampu menghindarkan diri (inshirâf) dari hawa nafsu serta ikhlas dalam melakukan ibadah. Sedangkan ghairu munsharif adalah manusia yang celaka karena terjangkit salah satu dari sembilan penyakit.
Pertama, penyakit al-‘udl. Kiai Nur Iman menambahkan takwilannya dengan penjelasan bahwa salah satu penyakit manusia adalah berbelok arah dari agama otentik atau fitrahnya. Pindah agama dari Islam termasuk penyakit yang menyebabkan manusia tidak selamat. Kedua, penyakit ash-sharf. Berpaling mengikuti hawa nafsu dan menjauh dari sifat naluriah alamiahnya.
Ketiga, penyakit at-ta’nis. Penyakit ini menyebabkan manusia tidak mampu mencari jalan untuk menjumpai Allah sebagai kekasihnya. Keempat, penyakit al-ma’rifat, yakni pengetahuan yang tidak diamalkan. Pengetahuan yang tidak diamalkan dapat menimbulkan celaka bagi manusia, karena disinyalir dapat menyebabkan kemusyrikan yang samar (asy-syirk al-khafi).
Penyakit yang kelima adalah al-‘ajamiyyah. Yakni kebodohan dan keluguan dalam beragama. Pemeluk agama yang terjangkit penyakit ini hanya memahami agama secara dzahir saja. Ia tak mampu mengupas kulit agama, sehingga tidak bisa merasakan nikmatnya buah dari agama. Keenam adalah penyakit al-tarkîb, yakni mencampuradukkan antara tujuan mulia dengan tujuan yang hina.
Ketujuh, penyakit al-jam’u. Seseorang yang mampu melihat seluruh alam semesta dengan panca indra tetapi tidak mampu memahami esensi yang ia lihat. Manusia harus mampu menghayati esensi seluruh ciptaan Allah apabila ia ingin selamat. Kedelapan adalah penyakit nûn ziyâdah ba’da alif. Penyakit seseorang yang tak mau mengenal Tuhan secara memadai selain hanya mengakui keberadaan-Nya.
Penyakit terakhir atau kesembilan adalah jenis penyakit yang menyebabkan manusia celaka disebut dengan penyakit wazan fi’il. Yakni penyakit seseorang yang selalu menimbang-nimbang amal perbuatannya. Berbuat baik hanya bertujuan mencari pahala dan menimbang-nimbangnya dapat menyebabkan celaka bagi manusia.
Oleh: Habib Maulana
Source: Bincangsyariah