Ki Ageng Suryomentaram
LATIHAN
Orang itu baru merasa ada bila berhubungan, baik berhubungan dengan benda, orang lain maupun dengan rasanya sendiri. Dalam berhubungan itulah orang baru dapat mengetahui diri sendiri. Maka berhubungan itu dapatlah dimisalkan sebagai cermin.
Tiap tindakan selangkah, ucapan sekata dan gerak hati sedetik, tentulah orang berhubungan. Tiap berhubungan selalu ada diri sendiri dan yang dihubungi. Jadi bila berhubungan dengan orang, berhubungan tersebut mengandung diri sendiri dan orang lain.
Maka dari itu tindakan selangkah, ucapan sekata dan gerak hati sedetik mengandung diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri sangat sukar diketahui sebab diri sendiri bersembunyi atau disembunyikan. Diri sendiri disembunyikan karena diri sendiri itu jelek dan memalukan.
Meskipun bersembunyi, tetapi bila dengan tekun orang meneIiti, diri sendiri akan ketemu pada waktu berhubungan. Misalnya diri sendiri mengatakan demikian: “Isteriku cerewet.” Dalam ucapan tersebut diri sendiri bersembunyi atau disembunyikan, yang terlihat di sini hanyalah cerewet isterinya.
Bila ucapan tersebut dirasakan tanpa rasa senang dan benci, tanpa usaha untuk mengubah, mulailah diri sendiri terlihat.
Yang mengatakan: “Isteriku cerewet” itu adalah diri sendiri. Jadi kalimat tersebut tidak lengkap dan kurang jelas. Lengkapnya kalimat tersebut demikian: “Aku mengatakan bahwa isteriku cerewet.” Sekarang sudah jelas diri sendiri berhubungan dengan isterinya. Jadi diri sendiri yang mengucapkan dan isterinya yang diucapkan.
Selanjutnya orang dapat meneruskan meneliti diri sendiri yang sudah terlihat tersebut. Cerewet adalah suatu perbuatan tidak baik atau cacat. Jadi ucapan tersebut menunjukkan cacad isterinya.
Jadi bila diteliti ucapan tersebut lengkapnya demikian: “Aku mengatakan cacad isteriku dengan menunjukkan cerewetnya.” Kalimat tersebut menunjukkan diri sendiri makin jelas. Bila kalimat tersebut dirasakan benar-benar dan diteliti tanpa senang dan benci dan tanpa usaha untuk mengubah, diri sendiri makin terlihat jelas. Mengatakan cacad orang lain itu namanya menjelekkan. Kalimat tersebut bisa diteliti tanpa rasa senang dan benci dan tanpa usaha untuk mengubah, agar diri sendiri makin terlihat lebih jeias lagi. Maka kalimat tersebut dapat dibuat lebih jelas lagi demikian: “Aku menjelekkan isteriku dengan mengatakan cacadnya yaitu cerewetnya.”
Selanjutnya orang dapat meneruskan meneliti diri sendiri dengan bertanya, bagaimanakah rasa hatiku bila dijelekkan? Tentu saja diri sendiri akan menjawab: “Bila aku dijelekkan hatiku merasa sakit.” Jadi menjelekkan itu menyakitkan hati.
Menyakitkan hati orang lain namanya bertindak sewenang-wenang. Kalau begitu, diri sendiri itu sewenang-wenang. Jadi kalimat tersebut lebih jelasnya demikian: “Aku bertindak sewenang-wenang menyakitkan hati isteriku dengan menjelekkan dan menunjukkan cacadnya yaitu cerewetnya.”
Demikian orang dapat melihat diri sendiri yang bertindak sewenang-wenang. Di sini ada kesulitan yang berupa pertanyaan: “Apakah tindakan sewenang-wenang itu sudah menjadi sifat seseorang atau hanya kadang-kadang saja?” Kramadangsa itu sifatnya pribadi. Pribadi itu selalu mencari enak sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Maka Kramadangsa itu selalu mencari enak pribadi tidak mempedulikan orang lain, inilah yang menyebabkan sewenang-wenang. Demikian itu jelasnya.
Jadi Kramadangsa itu tiap berhubungan dengan orang lain tentu bertindak sewenang-wenang. Orang biasanya takut untuk melihat kesewenangannya sendiri, sebab sudah terkenal bahwa bertindak sewenang-wenang itu jelek. Malahan ada ajaran kuno yang mengatakan: “Cintailah sesamamu”
Bila orang berusaha untuk melihat kesewenangannya sendiri, orang akan menjumpai rasa bencinya sendiri terhadap perbuatannya itu. Rasa benci ini timbul karena mengerti bahwa tindakan sewenang-wenang itu hasilnya tidak enak. Maka orang lalu ingin mencapai kasih.
Cita-cita kasih itu bukanlah kasih. Cita-cita kasih itulah anak dari tindakan sewenang-wenang yang takut akan akibatnya. Maka cita-cita kasih itu, kesewenangannya masih sama saja dengan bapaknya. Bedanya hanyalah bila bapaknya itu bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain, tetapi anaknya bertindak sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri. Bila diri sendiri marah, ditahannya atau diperanginya marahnya itu. Sering-sering orang memerangi kesewenangannya sendiri itu dengan jalan mencegah makan, mencegah tidur dan sebagainya.
Rasa sewenang-wenang itu berkelahi dengan cita-cita kasih dan saling bergantian kalah atau menang. Maka perkelahian tersebut sering dianggapnya ujian hidup, bila cita-cita kasih yang menang orang akan mendapat karunia dan bila kalah orang akan mendapat hukuman.
Demikianlah rasa bencinya sendiri menutupi untuk melihat kesewenangannya. Bila diketahui bahwa rasa bencinya sendiri itu menutupi, lenyaplah rasa benci tersebut. Selanjutnya orang dapat melihat kesewenangannya dan akan menjumpai rasa senang terhadap kesewenangannya sendiri.
Rasa senang tersebut menyebabkan ia membela terhadap kesewenangannya sendiri. Kata hatinya demikian: “Jika orang tidak bertindak sewenang-wenang, orang akan disewenang-wenangi oleh orang lain.” Cara membela kesewenangannya sendiri tersebut bermacam-macam, ada yang berkedok undang-undang ada yang berkedok tata cara, ada yang berkedok filsafat, ada yang berkedok aliran dan ada yang berkedok ajaran. Oleh karena rasa senang itu sangat erat hubungannya dengan rintangan untuk melihat kesewenangannya sendiri, maka di sini cara membela kesewenangannya sendiri tersebut akan diterangkan secara terperinci.
Misalnya seorang laki-laki memarahi isterinya yang tidak mandi dan menyisir rambutnya pada sore hari, caranya demikian: “Wanita yang demikian itu tidak setia kepada suaminya.” Demikian orang membela kesewenangannya dengan kedok ajaran-ajaran; misalnya orang kaya mengomeli orang miskin oleh karena pinjam baju tidak dikembalikan, caranya demikian: “Aturannya orang pinjam itu harus mengembalikan.” Demikian pula orang membela kesewenangannya dengan kedok undang-undang. Misalnya orang mengadakan pesta mengawinkan anaknya, karena hanya mendapat sumbangan sedikit, mengomeli tetangga-tetangganya demikian: “Tetangga-tetanggaku itu memang keterlaluan, tidak punya rasa gotong-royong sama sekali.” Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok tata cara.
Misalnya orang kaya, mulia dan berkuasa menyalahkan orang miskin, yang rendah derajatnya dan tidak berkuasa, caranya demikian: “Orang miskin, rendah derajatnya dan tidak berkuasa itu salahnya sendiri, karena tidak mengetahui aturan alam. Siapa yang kuat makan yang lemah.” Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok filsafat. Misalnya orang menggedor orang kaya, hatinya mengatakan demikian: “Orang kaya itu merusak dunia dan harus dilenyapkan, sebab menimbulkan kemelaratan orang banyak.” Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok aliran.
Bila timbulnya semua rasa senang terhadap kesewenangannya sendiri sudah diketahui, maka rasa senang tersebut yang merintangi untuk melihat kesewenangannya sendiri akan diketahui. Bila dapat diketahui maka lenyaplah rintangan itu.
Bila orang akan melanjutkan untuk mengetahui kesewenangannya sendiri, tentu akan berjumpa dengan rasa sendiri yang akan mengubah kesewenangannya sendiri. Tiap ada maksud untuk mengubah, orang tidak dapat melihat rasanya sendiri. Jadi niat mengubah itu merupakan rintangan untuk mengetahui kesewenangannya sendiri.
Bila diketahui rintangan tersebut akan lenyap. Demikian banyak sekali rintangan yang menutupi pandangan untuk melihat kesewenangannya sendiri. Jika semua rintangan yang menutupi tersebut diketahui dengan teliti, maka lenyaplah rintangan tersebut, sehingga orang melihat diri sendiri, kesewenangannya sendiri tanpa tirai, yaitu: “Aku Kramadangsa bertindak sewenang-wenang.”
Bila rasa kesewenangannya sendiri ketahuan sebelum terjadi perbuatan sewenang-wenang itu, maka rasa sewenang-wenang tersebut tidak lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang. Sebab bila orang melihat rasa sewenang-wenangnya sendiri tanpa maksud untuk mengubah, artinya Kramadangsa diam atau mati.
Bila Kramadangsa mati, kesewenangannya ikut mati pula. Jika Kramadangsa mati, timbullah rasa kasih tanpa syarat. Kasih tanpa batas itu berarti terhadap siapa saja kasih dan terhadap apa saja juga kasih, malahan kepada kesewenangannya sendiri pun kasih. Tanpa syarat artinya, biarpun dibenci atau dikasihi akan tetap kasih. Kasih tanpa batas dan tanpa syarat bukanlah Kramadangsa, Kramadangsa tidak pernah kasih dan Kramadangsa selalu bersifat sewenang-wenang. Maka lahirnya kasih itu bila Kramadangsa mati.
Kasih itu rasanya enak atau bahagia. Bukan rasa enak karena kehendaknya tercapai, bukan karena mendapat harta benda banyak, bukan karena mendapat kekuasaan, bukan karena mengalahkan musuh dan sebagainya. Rasa yang lahir tersebut akan dicatat oleh Kramadangsa. Jika sudah mencatat rasa kasih tersebut Kramadangsa hidup lagi.
Catatan rasa kasih itu bukanlah kasih. Dari catatan rasa kasih tersebut Kramadangsa akan mengejar kasih, setiap mengejar rasa kasih, Kramadangsa tidak dapat berhasil sebab selama hidupnya Kramadangsa tidak dapat kasih. Agar supaya rasa kasih itu lahir, Kramadangsa haruslah mati dahulu.
Padahal matinya Kramadangsa itu bila diketahui kesewenangannya tanpa maksud untuk merubah. Bila ada maksud untuk merubah berarti Kramadangsa maslh hidup, sebab yang bermaksud untuk merubah adalah Kramadangsa.
Bila sudah mencatat rasa kasih, Kramadangsa lalu hidup lagi. Demikian seterusnya. Jadi lahirnya rasa kasih itu tidak terus menerus, tetapi terputus-putus pada tiap kali perbuatan.
Meskipun kasih itu barang kuno dan abadi tetapi kasih tersebut bagi Kramadangsa seperti barang baru. Sebab kasih itu memperbarui Kramadangsa. Maka kasih itu dapat disebut barang abadi baru.
Faedah kelahiran rasa kasih itu adalah penting di dalam pergaulan sehari-hari. Padahal rasa kasih itu lahir biia orang melihat kesewenangannya sendiri. Maka melihat kesewenangannya sendiri itu penting di dalam pergaulan sehari-hari.
Di sini perlu diberi contoh dalam kejadian pergaulan sehari-hari di mana orang dapat melihat kesewenangannya sendiri. Ada seorang yang mempelajari ilmu jiwa sedang naik kereta api dan duduknya membelakangi pintu kereta, oleh karena orang tersebut tidak tahan angin, ditutupnya pintu kereta. Kemudian ada orang lain lewat masuk melalui pintu tersebut, tetapi tidak menutupnya lagi. Orang yang tidak tahan dingin tersebut merasa marah, tetapi tidak lahir menjadi perbuatan marah. Orang tersebut mengetahui marahnya sendiri, dalam hatinya berkata demikian, “Lho, aku ini orang yang berbuat sewenang-wenang, mengapa aku marah kepada orang yang tidak mau menutup pintu, padahal yang butuh menutup pintu itu aku sendiri, tetapi ogah-ogahan. Aku lebih suka memarahi orang lain daripada menutup pintu. Demikian ini adalah perbuatan sewenang-wenang.”
Hasil melihat kesewenangannya sendiri yang belum lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang, orang tersebut segera bertindak menutup pintu kereta api, dengan merasa damai dan bahagia. Rasa marah yang ketahuan demikian, tidak meninggalkan bekas atau dendam untuk dia, orang yang dimarahi tersebut sudah menjadi orang baru, artinya bukan orang yang dimarahi lagi.
Contoh lain lagi di mana orang dapat melihat kesewenangannya sendiri. Ada orang belajar ilmu jiwa. Pada suatu saat orang tersebut naik kereta api. Kemudian ada pedagang burung perkutut masuk dalam gerbong kereta api dan meletakkan sangkar burung di tengah jalan di dalam kereta api, sehingga sangkar tersebut menutupi orang yang akan lewat. Banyak orang-orang yang lewat terpaksa melompati sangkar itu. Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut merasa marah, kata hatinya demikian: “Pedagang perkutut itu tidak mengerti peraturan kerata api, ia menaruh sangkar burung merintangi orang-orang yang akan lewat.”
Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut mengetahui marahnya sendiri, kesewenangannya sendiri, kata hatinya demikian: “Lho aku ini berbuat sewenang-wenang, yang menaruh sangkar mau dan yang melompati mau juga, mengapa aku marah?” Tidak berapa lama kondektur lewat dan juga melompati sangkar tersebut dan tidak meIarang kepada yang punya sangkar. Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut menjadi lebih jelas dan mengetahui kesewenangannya sendiri dan kata hatinya demikian: “Lho, aku ini jelas berbuat sewenang-wenang, mengapa aku marah kepada pedagang perkutut, meskipun marahku tidak lahir menjadi perbuatan marah, sedangkan kondektur yang punya kereta api tidak marah.”
Demikian orang melihat diri sendiri, kesewenangannya sendiri. Jika ketahuan sebelum lahir menjadi perbuatan, rasa sewenang-wenang tidak lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang. Jikalau orang menjadi biasa melihat kesewenangannya sendiri yang kasar-kasar, kemajuannya orang akan dapat melihat kesewenangannya sendiri yang halus-halus, yang belum menjadi rasa marah.
Misalnya orang menyuruh membuat air minum kepada isterinya, tetapi isterinya tidak mau. Pada waktu menyuruh membuat air minum dan isterinya mau, orang yang menyuruh tersebut tidak tampak kesewenangannya, sebab kesewenangannya tidak lahir menjadi rasa marah. Bila isterinya disuruh tidak mau, rasa sewenang-wenangnya akan lahir menjadi marah.
Jadi apabila orang menyuruh kepada isterinya dan mengetahui kesewenangannya sendiri, dan isterinya tidak mau disuruh, orang tcrsebut tidak marah sebab rasa sewenang-wenang bila diketahui sebelum jadi rasa marah, rasa sewenang-wenang tersebut tidak lahir menjadi rasa marah. Jadi rasa marah itu adalah tindakan rasa sewenang-wenang.
UNSUR-UNSUR KRAMADANGSA
Bila Kramadangsa mati, orang akan mengetahui unsur-unsur Kramadangsa. Kramadangsa itu terjadi dari catatan-catatan: harta benda, pekerjaan, kehormatan, kekuasaan, keluarga, gerombolan, bangsa, jenis, kepandaian, kepercayaan, rasa hidup dan sebagainya. Jadi bila Kramadangsa mati orang akan dapat mempelajari unsur-unsur Kramadangsa tanpa senang dan benci dan tanpa rasa ingin mengubah.
Catatan-catatan yang menjadi unsur-unsur Kramadangsa tersebut hidup, karena itu gerak dan diam dan perlu makan. Unsur-unsur Kramadangsa itulah yang mendorong dan menggerakkan Kramadangsa. Oleh karena itu bila orang tidak mengerti unsur-unsur Kramadangsa, sering terkejut akan perbuatan sendiri yang tidak diduga-duga, misalnya: bercerai dengan isterinya, menyumpahi dan mengusir anaknya, bertengkar dengan tetangga dan sebagainya.
Catatan harta benda wujudnya: catatan rumah, halaman, sawah, harta dan sebagainya. Catatan harta benda tersebut hidup, oleh karena itu ingin kelangsungan hidupnya, dan catatan tersebut dapat pula mati.
Seperti benda hidup lainnya catatan harta benda itu ada rasanya. Catatan harta benda itu rasanya lemah sekali. Misalnya rumah itu dapat bocor, lapuk dan dapat rusak.
Oleh karena merasa lemah, catatan harta benda berusaha agar menjadi kuat. Usaha untuk menjadi kuat itu menumbuhkan Kramadangsa. Jadi Kramadangsa itu pesuruh dari unsur-unsurnya.
Kramadangsa itulah yang berusaha agar harta benda menjadi kuat. Kramadangsa itu mengerti tentang aturan terjadinya benda (barang dumadi), tetapi catatan harta benda tidak. Maka Kramadangsa itu hidup dalam ukuran ketiga, sedang catatan harta benda hidup dalam ukuran kedua.
Andaikata diserang atau dirugikan, catatan harta benda tentu akan membela diri tanpa berpikir. Bila rasa membela diri itu muncul dalam perasaan, Kramadangsa akan memikir bagaimana untungnya membela diri. Jadi Kramadangsa itu adalah alat dari catatan harta-benda agar menguntungkan dan menolak bila dirugikan.
Demikian pula unsur-unsur yang lain menggunakan Kramadangsa untuk membela diri. Antara unsur-unsur Kramadangsa itu sering bertentangan antara satu dengan yang lain, sehingga menyebabkan orang menemui kesulitan.
Misalnya harta benda seseorang dihabiskan oleh anaknya. Anak adalah unsur dari Kramadangsa dan harta bendapun unsur dari Kramadangsa. Jadi dua unsur saling berselisihan.
Perselisihan antara unsur-unsur itulah yang menyebabkan orang menemui kesulitan. Bila kesulitan itu diteliti, akan ketemu, bahwa catatan-catatan yang menjadi unsur Kramadangsa itu ada yang salah. Jadi catatan itu dapat benar dan dapat pula salah.
Catatan benar rasanya enak, sedangkan catatan salah rasanya tidak enak. Bila orang mengerti bahwa catatan itu dapat benar dan dapat pula salah, dapatlah orang meneliti catatan salah untuk dibetulkan. Sebagai petunjuk yang jelas bahwa catatan itu salah bila sudah terjadi kesulitan.
CATATAN BENAR dan CATATAN SALAH
Catatan harta benda sering salah. Harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan hidup yaitu: makan, pakaian dan tempat tinggal. Jika keliru, harta benda itu dipergunakan untuk mencari kehormatan dan kekuasaan. Padahal kehormatan dan kekuasaan itu kebutuhan jiwa. Apabila harta benda digunakan untuk mencukupi kebutuhan jiwa, orang merasa tidak cukup, walaupun orang mempunyai berapa banyaknya harta benda, sehingga orang akan berebutan harta benda.
Bila kita mengerti bahwa harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan raga atau hidup, orang akan tenteram, karena mengerti bahwa kebutuhan raga itu sedikit sekali. Harta benda untuk kebutuhan jiwa tanpa batas, sebab untuk bersaingan. Bersaingan itulah yang menyebabkan orang menjadi sewenang-wenang.
Bila harta benda digunakan untuk kebutuhan jiwa, maka pekerjaan pun salah bila digunakan untuk bersaingan sehingga menyebabkan adanya pekerjaan yang dianggap rendah, tinggi, halus dan kasar. Jadi bila terjadi salah anggapan tentang pekerjaan maka akan ada pekerjaan bahagia dan celaka dan ada tingkat (pangkat) pekerjaan.
Pekerjaan yang tingkatnya rendah disebut pekerjaan celaka dan yang tingkatnya tinggi disebut pekerjaan bahagia. Itulah yang menyebabkan orang berebutan tingkat tinggi. Demikian bila pekerjaan digunakan untuk kebutuhan jiwa menyebabkan orang berebutan pekerjaan tinggi sehingga menimbulkan perselisihan.
Bila orang mengerti bahwa pekerjaan itu digunakan untuk kebutuhan raga, maka orang akan merasa tenteram. Bila rasa celaka muncul dalam perasaan, orang akan melihat bahwa rasa celaka demikian adalah keliru, maka lenyaplah rasa celaka tersebut. Demikian selanjutnya bila rasa celaka muncul kembali.
Tiap kali celaka muncul, catatan salah tentang pekerjaan yang menimbulkan rasa celaka tersebut menjadi benar. Bila catatan pekerjaan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, Kramadangsa tidak lagi merasa lebih tinggi atau kurang tinggi dengan orang lain dalam hal pekerjaan. Apabila pekerjaan sudah tidak dibandingkan dengan orang lain, orang akan merasa tenteram.
Catatan kehormatan menyebabkan orang marah bila dihina dan tertawa bila dihormati. Jika orang tidak mengerti sifat unsur kehormatan tersebut, orang akan mengharapkan tidak marah bila dihina, sebab marah itu menyebabkan berselisih bila lahir menjadi perbuatan. Harapan agar tidak marah tersebut menjadi menahan marah.
Marah yang ditahan itu tidak hilang marahnya, tetapi hanya berganti rupa yang berwujud menggerutu, membicarakan orang lain dan sebagainya. Orang sering lupa dengan marahnya sendiri yang sudah berganti rupa. Bila orang tidak lupa dengan marahnya sendiri yang sudah berganti rupa dapatlah melanjutkan meneliti marahnya sendiri sampai kepada sumbernya yaitu unsur kehormatan yang dihina.
Catatan kehormatan sering pula salah. Wujudnya berupa pengertian demikian: “Dihormati itu rasanya enak.” Catatan kehormatan yang salah tersebut menyebabkan orang berusaha mati-matian agar supaya dihormati. Inilah yang menyebabkan orang berebutan kehormatan.
Catatan kehormatan benar, berwujud pengertian demikian: “Hormat itu rasanya enak.” Hormat itu rasanya enak, baik hormat itu dari diri sendiri kepada orang lain maupun dari orang lain kepada diri sendiri.
Bila mengerti bahwa hormat itu rasanya enak, orang tidak usah menunggu dihormati oleh orang lain tetapi cukuplah menghormati orang lain. Meskipun lahir atau tidak lahir menjadi perbuatan, menghormati itu rasanya enak. Jadi enak dalam kehormatan itu pada diri sendiri tidak pada orang lain.
Bila catatan kehormatan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, orang dapat melihat dan tidak lupa kepada rasanya sendiri, bila rasa minta dihormati muncul dalam perasaan. Bila rasa minta dihormati itu ketahuan, tidak akan lahir menjadi perbuatan minta dihormati. Mengetahui diri sendiri minta dihormati itu menyebabkan rasa tenteram. Mengetahui diri sendiri minta dihormati itu berbeda dengan menahan diri, agar tidak kelihatan minta dihormati. Menahan diri itu rasanya gelisah, takut dan tidak enak, sedangkan mengetahui itu rasanya tenteram, tabah dan enak. Jadi menahan diri itu mengandung rasa takut sedangkan mengetahui itu mengandung rasa tabah.
Catatan kekuasaan yang menjadi unsur Kramadangsa dapat-pula benar dan salah. Bila catatan tersebut benar rasanya enak, sedangkan Bila salah rasanya tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang akan dapat melihat unsur kekuasaan tersebut.
Unsur kekuasaan ini menyebabkan orang menjadi benci bila diganggu dan menjadi senang bila dibantu. Bila orang tidak mengerti unsur kekuasaan tersebut orang akan mencari kekuasaan dalam masyarakat, sehingga timbullah berebutan kekuasaan dalam masyarakat.
Cita-cita untuk mencari kekuasaan akan lahir menjadi usaha agar ditakuti dalam masyarakat. Bila merasa ditakuti, orang merasa berkuasa dan puas, sehingga orang berebutan agar ditakuti dan menakut-nakuti dalam masyarakat.
Cita-cita mencari ditakuti di dalam masyarakat dianggap cita-cita luhur. Anggapan terhadap hal tersebut dinyatakan dalam ungkapan sebagai berikut: “Orang baru akan memperoleh kewibawaan bila disegani aleh orang lain.” Dalam ungkapan tersebut mengandung arti bahwa kewibawaan seseorang itu bila dapat ditakuti atau menakut-nakuti orang lain.
Demikianlah wujud catatan unsur kekuasaan bila diteliti. Bila penelitian dilanjutkan, akan terlihat bahwa catatan tersebut salah. Untuk jelasnya seperti di bawah ini. Rasa mencari kekuasaan itu lahir menjadi keinginan diturut atau dipercaya oleh orang lain. Orang menurut itu terdorong oleh rasa takut ancaman atau harapan akan kebahagiaan. Maka usaha untuk diturut atau dipercaya itu berupa ancaman atau janji yang berupa harapan bahagia, sehingga timbullah dalam masyarakat ancaman-ancaman dan janji-janji. Untuk menguatkan ancaman danjanji-janji tersebut orang mengadakan kelompok-kelompok yang berselisih satu sama lain. Inilah yang menyebabkan peperangan.
Demikian catatan unsur kekuasaan yang salah menyebabkan tidak enak. Jika orang mengerti catatan tersebut salah, orang akan dapat membetulkan seperti berikut: Orang ingin merasa enak dan menolak rasa tidak enak. Tiap orang yang merasa tidak enak dan tidak mengerti bagaimana caranya mendapatkan enak, akan bertanya kepada orang lain yang dianggap dapat. Maka bila ada orang yang dianggap oleh orang banyak dapat mengenakkan orang lain dalam salah satu hal, orang tersebut akan dipercaya oleh orang banyak. Misalnya dukun, dokter, ahli negara, ahli jiwa dan sebagainya. Jadi dipercaya orang lain itu, karena dapat mengenakkan. Catatan demikian itu benar. Maka untuk dipercaya orang, hanyalah dengan mengenakkan orang lain.
Bila catatan unsur kekuasaan tersebut sudah benar, orang dapat mcngetahui rasanya sendiri, rasa ingin dipercaya orang lain yang tidak dengan cara mengenakkan orang lain pada waktu muncul dalam perasaan. Bila rasa ingin dipercaya orang lain tersebut ketahuan sebelum lahir menjadi perbuatan, rasa tersebut tidak akan lahir menjadi perbuatan. Kemudian orang akan melihat apa yang harus dilakukan seketika itu, tanpa memikir panjang. Tindakan demikian itu hasilnya sama enaknya.
Catatan keluarga yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar, rasanya enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati orang akan dapat melihat unsur keluarga tersebut.
Keluarga itu terdiri dari suami/isteri, anak yang belum berkeluarga dan orang tua jompo yang jadi tanggungannya. Unsur keluarga ini menyebabkan orang marah bila diganggu dan tertawa bila dibantu. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri tentang hubungannya dengan anggota keluarga lain, catatan keluarga tersebut salah.
Catatan keluarga salah menyebabkan perselisihan dalam keluarga. Perselisihan dalam keluarga itu wujudnya ialah, orang bertengkar atau bercerai dengan suami/isterinya, memarahi anaknya dan sebagainya. Jadi heboh dalam keluarga itu disebabkan dari tidak mengerti rasanya sendiri atau dirinya sendiri.
Jadi ketenteraman keluarga itu tergantung kepada pengertiannya tentang diri sendiri. Pengertian diri sendiri dalam keluarga adalah mengetahui hubungan diri sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Bila orang mengetahui hubungannya dengan anggota keluarga lainnya, catatan keluarga menjadi benar.
Orang sering ditipu oieh diri sendiri yang merasa cinta kepada suami/isterinya. Rasa cinta di sini dimaksudkan cinta tanpa syarat dan tanpa batas, sebab cinta yang bersyarat dan berbatas adalah bukan cinta. Jadi orang sering merasa cinta kepada suami/isterinya tanpa syarat dan tanpa batas. Rasa cinta tersebut dapat diteliti demikian. Jika orang membelikan baju isteri/suaminya, tetapi isteri/suaminya masih cemberut, apakah orang masih terus mencintai isteri/suaminya? Tentu saja tidak, tetapi menjadi marah.
Jadi orang membelikan baju isteri/suaminya itu mengharapkan senyum. Jadi baju ditukar dengan senyum, demikian itu sama dengan jual beli. Jadi orang tidak mencintai isteri/suaminya, tetapi jual beli.
Demikianlah orang dapat meneliti rasanya sendiri. Bila penelitian dilanjutkan, orang akan melihat rasanya sendiri pada waktu mencari pasangan, rasanya demikian: “Jika dia menjadi suami/isteriku, aku senang sekali.”
Dalam ungkapan tersebut menunjukkan bahwa orang hanyalah memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan calon pasangannya. Jadi orang menghargai suami/isterinya hanyalah sebagai kesenangan belaka, seperti kesenangan yang lain, misalnya burung perkutut, gamelan, kucing dan sebagainya. Rasa menghargai seperti itu adalah sewenang-wenang. Jadi orang itu berbuat sewenang-wenang kepada suami/isterinya.
Bila orang mengerti kesewenangannya kepada suami/isterinya, maka catatan keluarga yang merupakan unsur Kramadangsa bagian suami/isteri menjadi benar. Bila rasa sewenang-wenang muncul dalam perasaan dalam hubungannya dengan suami/isterinya diketahui, tidak akan lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang.
Demikian pula orang sering merasa sayang kepada anaknya. Bila diteliti akan diketemukan bahwa diri sendiri menghargai anaknya hanyalah untuk kehormatan. Jika anak itu membuat bangga orang tuanya, akan disayangi, tetapi bila memalukan akan dibenci.
Rasa yang sering disebut sayang kepada anak itu adalah rasa hidup untuk kelangsungan jenis, yang wujudnya memelihara anaknya pada waktu kecil. Rasa hidup tersebut bukanlah kasih. Oleh karena itu setelah anak itu menjadi besar akan berselisih dengan orang tuanya.
Oleh karena orang menghargai anaknya hanyalah untuk kehormatan, maka orang itu berbuat sewenang-wenang kepada anaknya. Bila orang mengerti kesewenangannya kepada anaknya maka catatan keluarga yang merupakan unsur Kramadangsa bagian anak menjadi benar. Bila rasa sewenang-wenang muncul dalam perasaan dalam hubungannya dengan anak diketahui, tidak akan lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang.
Catatan gerombolan atau golongan, yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan tersebut benar rasanya enak, bila salah tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang akan mengetahui unsur tersebut.
Golongan tersebut dapat merupakan golongan filsafat, ilmu jiwa, partai politik, kebatinan dan sebagainya. Unsur golongan menyebabkan orang menjadi benci bila golongannya diganggu dan senang bila dibantu. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya dengan anggota-anggota golongan tersebut, catatan golongan akan salah.
Catatan golongan salah menyebabkan perselisihan dalam golongan tersebut. Perselisihan tersebut sering berwujud perebutan harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Jadi heboh dalam golongan disebabkan oleh karena tidak mengerti rasanya sendiri.
Jadi ketenteraman golongan itu hanyalah tergantung kepada pengertian diri sendiri. Bila orang mengerti bagaimana orang menghargai anggota golongan lain, catatan golongan akan benar.
Dalam golongan, orang mempergunakan kawan segolongannya untuk kepentingan sendiri yang seolah-olah untuk kepentingan golongannya. Kepentingan sendiri tersebut berwujud mencari harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Kepentingan sendiri itulah yang menyebabkan perselisihan.
Jika kepentingan sendiri diteliti, akan terlihat bahwa kepentingan-kepentingan sendiri itu banyak sekali yang bertentangan dengan kepentingan kawan-kawan yang lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan tersebut menyebabkan kesulitan. Bila kesulitan tersebut tidak dipecahkan, tentulah dikemudian hari akan terjadi perselisihan.
Bila kesulitan tersebut dapat diselesaikan, maka catatan menjadi benar, orang akan mengetahui bila rasa mencari keuntungan dari golongannya tersebut muncul dalam perasaan. Bila ketahuan, tidak akan lahir menjadi perbuatan. Mengetahui hal tersebut rasanya tenteram.
Catatan bangsa yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila benar rasanya enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati, orang akan melihat unsur bangsa tersebut.
Bangsa adalah kumpulan orang-orang dalam satu negara. Unsur bangsa itu menyebabkan orang marah bila diganggu dan tertawa bila bangsanya dibantu. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dalam satu bangsa, maka catatan bangsa akan salah. Catatan bangsa salah menyebabkan pertikaian dalam bangsa itu. Pertikaian tersebut sering berwujud pertikaian filsafat, ilmu jiwa, dan aliran. Apabila pertikaian itu berkembang, maka akan menjadi perang saudara.
Bila rasanya sendiri diteliti, orang dapat melihat bahwa di belakang filsafat, ilmu jisva atau aliran tersebut mengandung rasa perebutan harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Bila rasa tersebut ketahuan orang akan mengerti bahwa pertikaian filsafat, ilmu jiwa dan aliran tersebut hanyalah merupakan sandiwara diri sendiri yang akan mengejar harta benda, kehormatan dan kekuasaan. lnilah yang menyebabkan huru-hara dalam bangsa.
Bila rasa diri sendiri tersebut diketahui, catatan bangsa yang menjadi unsur Kramadangsa menjadi benar. Bila rasa tersebut muncul dalam perasaan, orang akan mengetahui, sehingga tidak lahir menjadi perbuatan.
Catatan ilmu kebatinan yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar rasanya enak dan bila salah tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang akan dapat melihat unsur ilmu kebatinan tersebut.
Unsur ilmu kebatinan itu menyebabkan orang menjadi benci bila ilmu kebatinannya disalahkan dan senang bila dibenarkan. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya dengan catatan ilmu kebatinan tersebut, catatan ilmu kebatinan tersebut salah. Catatan ilmu kebatinan salah menyebabkan perselisihan.
Rasanya sendiri yang berhubungan dengan ilmu kebatinannya sendiri itu adalah rasa senangnya sendiri. Orang senang sebab mendapat keuntungan dari ilmu kebatinan tersebut. Keuntungan tersebut berupa harta benda, kehormatan dan kekuasaan.
Bila orang tidak melihat senangnya sendiri, orang tidak akan dapat meneliti benar atau salahnya ilmu kebatinan tersebut. Bila mengetahui rasa senangnya sendiri, orang akan melihat benar atau salahnya ilmu kebatinannya sendiri. Jadi catatan ilmu kebatinan menjadi benar.
Bila catatan ilmu kebatinan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, bila ilmu kebatinannya disalahkan atau dijelek-jelekkan orang lain, orang akan mengerti bahwa yang dijelek-jelekkan itu orangnya, bukan ilmu kebatinannya. Dan orang lalu mengerti bahwa orang lain yang menjelek-jelekkan tersebut benci kepada orangnya tetapi tidak kepada ilmu kebatinannya. Orang benci kepada orang lain tentulah mencari sebab untuk menjelek-jelekkan.
Orang akan mengerti kepada diri sendiri, bila diri sendiri membenci kepada orang lain tentulah juga mencari sebab untuk menjelek-jelekkan. Jadi diri sendiri itu rasanya sama dengan orang lain. Mengetahui demikian rasanya damai dan tenteram.
Kepandaian-kepandaian dan ilmu pengetahuan adalah merupakan unsur Kramadangsa. Ilmu pengetahuan itu ada pada orang berupa kepandaian. Oleh karena itu di sini hanya akan diterangkan tentang kepandaian saja.
Catatan kepandaian yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar rasanya enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati orang akan melihat unsur kepandaian tersebut.
Unsur Kramadangsa kepandaian itu menyebabkan orang menjadi benci bila dijelekkan dan senang bila dipuji. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri yang berhubungan dengan kepandaiannya sendiri, catatan kepandaian tersebut salah. Catatan kepandaian salah menyebabkan orang membangga-banggakan kepandaian dan bersaing-saingan kepandaian, sehingga terjadi pertikaian.
Rasa sendiri yang berhubungan dengan kepandaian sendiri itu rasanya bangga. Bila mengetahui rasa bangganya sendiri orang akan dapat mengetahui rasa bangga orang lain dalam hal kepandaian. Orang dapat membuat kapal terbang rasanya bangga, anak dapat bermain gundu bangga pula rasanya.
Malahan rasa bangga dalam kepandaian itu tidak terbatas pada orang tetapi juga pada hewan. Gangsir ngentir (berbunyi) rasanya bangga dan burung dapat terbang di angkasa pun rasanya bangga. Jadi rasa bangga diri sendiri sama dengan rasa bangga orang lain dan sama pula dengan rasa bangga hewan dalam hal kepandaian.
Bila orang mengerti dengan rasa sama tersebut, catatan kepandaian yang menjadi unsur Kramadangsa menjadi benar. Catatan benar rasanya cnak. Bila rasa bangga sendiri muncul dalam perasaan, diri sendiri akan mencari bahwa rasa bangga tersebut sama dengan rasa orang yang menciptakan lagu atau sama dengan rasa seorang panglima perang yang dapat menciptakan siasat perang, sama pula dengan rasanya seekor gangsir yang sedang berbunyi.
Demikianlah unsur-unsur Kramadangsa yang dapat menggerakkan Kramadangsa. Bila unsur-unsur Kramadangsa sudah diketahui, orang tidak akan lupa dengan sikapnya sendiri menghadapi perbuatannya. Demikian cara mempelajari ilmu jiwa.