Home / Agama / Kajian / Maulid Sejatinya Mursyid

Maulid Sejatinya Mursyid

Oleh: Admin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Penghubung (Konektor) Semua Alam

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun hijriyah, umat muslim memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Hal ini telah disebutkan di banyak Kitab Tarikh yang menyebutkan hitungan tahun hijriyah (qamariyah) dengan istilah Tahun Gajah. Hal itu karena sebab dihubungkan dengan momentum penyerangan Ka’bah oleh pasukan tentara Abrahah yang menggunakan gajah sebagai kendaraan militernya.

Kelahiran jasadiyah Nabi SAW di bulan tersebut menandai suatu perubahan zaman yang disebut zaman akhir. Karena itu, Nabi Muhammad SAW juga dijuluki sebagai Nabi Akhir Zaman. Istilah akhir zaman juga dikenal di semua literatur keyakinan dan agama.

Dalam tuntunan Al-Qur’an, istilah Nabi, selain merujuk kepada sesosok manusia suci akhir zaman, juga disebutkan di dalam beberapa ayat yang maknanya mengandung pengertian bahwa Nabi adalah makhluk yang berkedudukan sebagai “connector” dalam hubungannya antara makhluk dengan Sang Pencipta. Secara gamblang, surat al-Ahzab ayat 56 menyebutkan posisi tersebut:

إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ۞

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.” 

Dalam Tafsir Ibnu katsir disebutkan bahwa Abu Isa At-Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan dari Sufyan As-Sauri dan lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ahlul ‘ilmi, mereka mengatakan bahwa shalawat dari Allah adalah rahmat-Nya, dan shalawat dari para Malaikat adalah permohonan ampun bagi yang bersangkutan.

Kemudian Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Al-A’masy, dari Amr ibnu Murrah yang mengatakan bahwa ia merasa yakin bahwa Al-A’masy meriwayatkannya dari ‘Atha ibnu Abu Rabah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi.” (Al-Ahzab: 56). Bahwa shalawat dari Allah SWT ialah firman-Nya, “Maha Suci lagi Maha Kudus, rahmat-Ku mendahului azab-Ku.”

وقال سفيان الثوري: صلاة الرب الرحمة، وصلاة الملائكة الاستغفار، والمقصود من هذه الآية، أن اللّٰه سبحانه وتعالى أخبر عباده بمنزلة عبده ونبيه عنده في الملأ الأعلى، بأنه يثني عليه عند الملائكة المقربين، وأن الملائكة تصلي عليه، ثم أمر تعالى أهل العالم السفلي بالصلاة والتسليم عليه، ليجتمع الثناء عليه من أهل العالمين (العلوي) و(السفلي) جميعاً

Makna yang dimaksud dari ayat ini adalah Allah SWT memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya tentang kedudukan hamba dan Nabi-Nya di kalangan makhluk-Nya yang tertinggi (para Malaikat), bahwa Dia memujinya di kalangan para Malaikat yang terdekat dengan-Nya, dan bahwa para Malaikat pun ikut bershalawat untuknya. Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada penghuni alam bawah (bumi) untuk bershalawat dan bersalam untuk Nabi SAW. Dengan demikian, maka terhimpunkanlah baginya pujian dari kalangan penduduk alam atas dan alam bawah.

Terhimpunnya pujian dari kalangan alam atas dan alam bawah adalah manifestasi bertemunya dzhahir dan bathin, gaib dan nyata, sirran wa ‘alaniyyatan. Dalam istilah tersebut, Nabi juga dimaknakan sebagai “Stasiun” dimana Khaliq dan Makhluq “bertemu”. Imam al-Bushiri dalam Qashidah Burdah menyebutnya sebagai Sayyidul Kaunaini wats-Tsaqalain:

مُحَمَّدٌ سَيِّدُ الْكَوْنَيْنِ وَالثَّقَلَيْنِ ۞ وَالْفَرِيْقَيْنِ مِنْ عُرْبٍ وَمِنْ عَجَمٍ

“Muhammad penghulu dua semesta, dua makhluk mulia, dan dua kelompok besar dari Arab dan ajam.”

Syekh Ibrahim Al-Baijuri memberikan arti kata larik ini secara harfiah. Dalam Hasyiyatul Baijûri ‘alã Matnil Burdah, Syekh Ibrahim Al-Baijuri menyebut bangsa manusia dan jin sebagai kelompok ciptaan yang paling banyak memberatkan dunia baik karena populasi maupun karena dosa mereka.

Hidupnya Lintas Dimensi Alam-Alam

Dalam uraian sub-judul pertama di atas dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengenal kematian. Kalaupun secara jasadiyah mengalami keterbatasan masa, maka Nabi sebagai “konektor” alam-alam tidak mengalami kematian. Ia tetap hidup dan mewarisi cahaya kebaikan kepada umatnya hingga akhir zaman. Cahaya kebaikan inilah yang disebut sebagai pancaran barakat dan rahmat Allah SWT. Cahaya kebaikan tersebut secara teknis mengandung Qudrah (kuasa) dan Iradah (kehendak) Allah SWT.

Kuasa dan kehendak adalah dua Sifat Allah yang membuat alam semesta terus menerus bersirkulasi. Kedua Sifat Allah tersebut menjadikan alam semesta berada pada posisi yang selalu bergerak (oyag) secara abadi. Kita makhluq manusia menyebut sirkulasi tersebut sebagai mati-hidup-mati-hidup. Sirkulasi alam semesta mengalami kelanggengan yang dalam Surat al-Ahzab ayat 56 di atas, Allah sendiri yang memerintahkannya dengan Shalawat kepada Nabi. Pada pemaparan sederhana ini dapat diambil kesimpulan bahwa shalawat adalah gerak yang berimplikasi pada kelanggengan.

Keterhubungan banyaknya alam ciptaan dengan Sang Pencipta melalui Nabi memunculkan sebuah pemahaman bahwa “Shalawat” bukanlah sekedar ucapan. Ketika ia keluar sebagai ucapan, maka shalawat merupakan ucapan yang berat dan berbobot (qaulan tsaqîlan). Ucapan tersebut memberikan dampak signifikan pada kelanggengan sirkulasi alam. Tentu, yang dimaksud shalawat di sini adalah berisi cahaya kebaikan yang mengandung Qudrah dan Iradah Allah SWT.

Cahaya kebaikan dalam khazanah kehidupan manusia berkedudukan sebagai petunjuk (rasyîdah) untuk memunculkan gerakan-gerakan yang baik. Ia adalah pelita yang memancar dari hati yang suwung akan dunia. Cahaya kebaikan yang menjadi petunjuk itu bukan berada di alam antah berantah yang untouchable (tak tersentuh). Cahaya itu memancar pada manusia-manusia pillihan-Nya hingga akhir zaman, sampai sifat iradah-Nya memunculkan kehendak untuk tidak berkehendak.

Cahaya petunjuk yang disebut rasyidah itu diusung oleh manusia pilihan-Nya yang disebut sebagai Waliyyan Mursyidan. Manusia pilihan-Nya itu memantulkan Qudrah dan Iradah Allah pada makhluq lainnya sehingga ia saling berkelindan dan menthawafi satu sama lain. Allah SWT memberikan sinyal:

وَتَرَى الشَّمْسَ اِذَا طَلَعَتْ تَّزٰوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَاِذَا غَرَبَتْ تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ ۗمَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا ࣖ ۞

“Engkau akan melihat matahari yang ketika terbit condong ke sebelah kanan dari gua mereka dan yang ketika terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada di tempat yang luas di dalamnya (gua itu). Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Siapa yang Allah memberinya petunjuk, dialah yang mendapat petunjuk. Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.” (QS. Al-Kahfi [18]: 17)

Waliyyan Mursyidan adalah Pengusung Cahaya Kebaikan. Darinya Qudrah dan Iradah Allah SWT mengalir dan menjadikan entitas-entitas alam semesta berthawaf dan bergerak (oyag). Ayat di atas menceritakan tentang Ash-habul Kahfi yang berada di dalam goa yang mengaitkannya dengan peredaran cahaya matahari menjadi sebuah petunjuk. Kalimat dalam ayat tersebut memiliki citarasa tinggi yang tidak bisa hanya dibaca sepintas lalu. Filosofi alam semesta yang disebutkan dalam ayat tersebut menunjukkan betapa pentingnya kesadaran shalawat yang dituntun oleh seorang Waliyyan Mursyidan.

Nabi sebagai entitas poros seluruh alam, dalam kaitannya dengan Sang Pencipta, mengalami “kelahiran abadi” pada setiap dimensi alam-alam. Kelahirannya itu adalah sebuah petunjuk yang menggiring makhluk (termasuk manusia) untuk tetap berada pada geraknya atau fitrahnya masing-masing. Tersiksanya manusia dalam kehidupannya disebabkan karena telah lari dari fitrahnya. Karena itu, manusia dan entitas-entitas makhluq di alam semesta ini membutuhkan Waliyyan Mursyidan.

Maulid dan Mursyid

Mursyid dalam terminologi tulisan ini adalah seorang “agen kenabian”. Nabi sebagai entitas tertinggi makhluq Allah SWT memancarkan Cahaya Allah pada setiap agen-agennya yang terhampar di alam semesta, Nûrun ‘ala Nûrin (Cahaya di atas Cahaya).

Agen kenabian akan memantulkan Cahaya Kebaikan pada setiap dimensi alam. Kemunculan cahaya kebaikan tersebut adalah kandungan terdalam dari Maulid Nabi SAW. Ia akan memunculkan kesadaran murni pada hati manusia sehingga akal pikirannya terbimbing untuk bersinergi dengan seluruh dimensi alam.

Maulid Nabi adalah realitas nurani Waliyyan Mursyidan. Dalam pemahaman ini, Maulid Nabi adalah hak para Mursyid yang diserap oleh umatnya sehingga ia mendendangkan irama keselarasan di alam semesta yang darinya muncul Qudrah (kuasa) dan Iradah (kehendak) Allah SWT sehingga alam semesta bersirkulasi pada fitrahnya masing-masing dengan langgeng.

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ۞

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia akan mematikan kamu, Dia akan menghidupkan kamu kembali, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan?” (QS. Al-Baqarah [2]: 28)

Dalam perspektif Ketuhanan, Kelanggengan adalah kelahiran makhluq-Nya yang berkesinambungan. Sedangkan dalam perspektif akal manusia, kelanggengan adalah siklus dirinya sendiri yang mati-hidup-mati-hidup. Bagi Tuhan, kelanggengan itu adalah kuasa dan kehendak-Nya, sedangkan bagi makhluq, kelanggengan adalah kadar dirinya sendiri yang mengalami perubahan alam dengan terminologi mati-hidup-mati-hidup. Karena itu, maulid bagi entitas makhluq adalah Kuasa dan Kehendak-Nya yang dipancarkan pada Nabi-Nya lalu dipantulkan bagi agen-agennya di alam semesta. Allãhumma shalli wa sallim wa bãrik ‘alã Sayyidinã Muhammad wa ‘alã Ãlih.

Kita tutup artikel ini dengan Shalawat Ismul A’dzham li Rijãlil Ghãib:

اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ الْأَعْظَمِ الْمَكْتُوْبِ مِنْ نُوْرِ وَجْهِكَ الْأَعْلَى الْمُؤَبَّدِ، اَلدَّائِمِ الْبَاقِي الْمُخَلَّدِ، فِي قَلْبِ نَبِيِّكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ، وَأَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ الْأَعْظَمِ الْوَاحِدِ بِوَحْدَةِ الْأَحَدِ، الْمُتَعَالِيْ عَنْ وَحْدَةِ الْكَمِّ وَالْعَدَدِ، اَلْمُقَدَّسِ عَنْ كُلِّ اَحَدٍ، وَبِحَقِّ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ « قُلْ هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ، اللّٰهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ » أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سِرِّ حَيَاةِ الْوُجُوْدِ، وَالسَّبَبِ الْأَعْظَمِ لِكُلِّ مَوْجُوْدٍ، صَلَاةً تُثَبِّتُ فِيْ قَلْبِي الْإِيْمَانَ، وَتُحَفِّظُنِي الْقُرْآنَ وَتُفَهِّمُنِيْ مِنْهُ الْآيَاتِ وَتُفَتِّحُ لِيْ بِهَا نُوْرَ الْجَنَّاتِ وَنُوْرَ النَّعِيْمِ وَنُوْرِ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .

Allãhumma innî as’aluka bismikal a’dzhamil maktûbi min nûrii wajhikal a’lal mu’abbadid dãimil bãqil mukhallad, fî qalbi nabiyyika wa rasûlika muhammadin, wa as’aluka bismikal a’dzamil wãhidi biwahdatil ahad, al-muta’ãlî ‘an wahdatil kammi wal-‘adad, al-muqaddasi ‘an kulli ahad, wa bihaqqi bismillãhir rahmãnir rahîm, qul huwallãhu ahad, allãhush shamad, lam yalid wa lam yûlad, wa lam yakul lahû kufuwan ahad, an tushalliya ‘alã sayyidinã muhammadin sirri hayãtil wujûd, was-sababil a’dzhami likulli maujûd, shalãtan tutsabbitu fî qalbil îmãn, wa tuhaffidzunil qur’ãn, wa tufahhimunî minhul ãyãt, wa tufattihu lî bihã nûral jannãt, wa nûran na’îm, wa nûran nadzhari ilã wajhikal karîm, wa ‘alã ãlihî wa shahbihî wa sallim, wal-hamdulillãhi rabbil ‘ãlamîn.

“Ya Allah aku mohon kepada-Mu dengan AsmaMu yang Agung, yang tertulis dari cahaya wajah-MU yang maha Tinggi dan maha Besar, yang kekal dan abadi, di dalam kalbu Rasul dan Nabi-MU Muhammad SAW.Aku memohon dengan Asma-MU yang Agung dan Tunggal dengan kesatuan yang manunggal, yang Maha Agung dari kesatuan jumlah, dan maha Suci dari setiap sesuatu, dan dengan hak Bismillãhir rahmãnir rahîm, qul huwallãhu ahad, allãhush shamad, lam yalid wa lam yûlad, wa lam yakul lahû kufuwan ahad. Semoga Engkau limpahkan shalawat kepada junjungan kami Muhammad SAW, rahasia kehidupan yang ada, sebab terbesar bagi semua yang ada, dengan shalawat yang menetapkan iman dalam dadaku, dan mendorongku agar menghafalkan al-Qur’an, dan memberikan pemahaman padaku akan ayat-ayatnya, membukakan padaku dengannya cahaya surga dan cahaya nikmat, serta cahaya pandangan kepada wajahMu yang Mulia, juga kepada keluarga dan para sahabatnya dan limpahkan pula salam sejahtera padanya, dan segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam”

Shalawat ini disusun oleh Al-Imam As-Sayyid Syekh Taqiyuddien Ad-Damsiqi Al-Hanbaly qaddsallãhu sirrah. Shalawat yang mempunyai banyak fadhilah. Keagungan shalawat ini telah banyak dibuktikan oleh para Alim Ulama Shalaf. Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani sendiri telah mencantumkan Shalawat ini di dalam kitabnya Sa’ãdatud Dãrain. Sebagaimana tertulis dalam kitab tersebut, shalawat ini dapat digunakan sebagai wasilah untuk bertemu dengan Nabiyullah Khidir, AS.

Wallãhu A‘lamu bish-Shawãb

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...