Menunjuk orang lain, mengkritik mereka, dan mencari kambing hitam atas kelemahan, kesalahan, dan keliruan kita selalu mudah. Sebaliknya, mengakui kesalahan kita sendiri begitu sulit.
Apa itu materi, atau sekala, apa itu spirit, energi, atau niskala? Jauh sebelum ilmuwan modern menemukan koneksi antara keduanya, para bijak kita dan para resi telah menyatakan, “Semua ini adalah Energi.”
Analogi yang mereka berikan begitu sederhana dan mudah dipahami, “Air, ketika beku, menjadi es. – Ini tampak padat, seperti materi. Tapi saat dipanaskan, air yang sama menguap. Kini menjadi uap air, energi.
Seperti materi dan energi yang tak terpisahkan, begitu pula Barat dan Timur tak terpisahkan. Perpisahan itu ilusif. Hanya tampaknya saja begitu; tapi kenyataannya tidaklah demikian. Jika ada spiritualitas di Timur, maka ada juga spiritualisme material di sini. Jika ada materialisme di Barat, maka ada juga spiritualitas di sana – yang sungguhan, dan bukan yang material semata.
Di semua tempat di Indonesia, dan secara khusus di Bali kita bisa melihat fenomena ini dengan sangat jelas. Di sini Timur bertemu dengan Barat. Walau seringkali pertemuannya semu, hanya di kulit luaran. Orang Bali mengenakan pakaian ala Barat, seperti orang Barat mengenakan pakaian tradisional Bali. Kaum muda Bali lebih suka mencari pasangan dari Barat, dan yang dari Barat mencari suami/istri orang lokal Bali.
Seharusnya bisa lebih dari itu.
Di sini, di pulau ini, lebih dari kepulauan lainnya, Timur dapat sungguh bertemu dengan Barat di seluruh tingkatan dan segala bidang. Di sini, spiritualitas dan materialisme, sekala dan niskala, dapat bertemu dan mengantar kita ke fajar era baru. Bali dapat melahirkan sistem dunia yang seluruhnya baru.
Kita mempunyai kawin campur di sini. Dan anak-anak dari pernikahan semacam itu bisa secara sosial diterima. Tapi itu hanya satu aspek dari “pertemuan”. Masih ada beberapa yang lainnya. Untuk ke sana, yang terpenting ialah mari kita menjadi jujur dan tulus dalam hubungan kita, berhenti menipu atau mengeksploitasi satu sama lain.
Salah satu teman saya pindah ke Bali untuk pensiun, dan, ia berkata sendiri, “untuk menghabiskan sisa hidupku di sini – tak ada kedamaian di Barat. Di sinilah di mana kedamaian berada.”
Tak lama kemudian ia jatuh cinta dengan gadis muda Bali dan mereka menikah. Ia berumur 55 tahun dan si gadis berusia 21 tahun. Tak masalah. Mereka cukup cepat juga – dua anak lucu dalam dua tahun. Bagus, tak masalah juga. Masalah mulai timbul saat pria itu menyadari bahwa ia dapat “membuka bisnis kecil-kecilan untuk masa depan anak-anaknya” atas nama istrinya.
Ia beruntung. Bisnis kecil-kecilan itu tak beberapa lama mulai menjadi besar, sehingga tak cukup waktu baginya untuk “beristirahat dalam damai” dan merawat kedua anak dan istrinya. Sang istri mengeluh dan bercerita pada saya, “Tolong beri tahu dia. Kamu kan temannya.”
Saya coba melakukannya. Ia mendengarkan saya dengan penuh perhatian, tapi tetap membela diri, “Ia itu menggerutu tanpa alasan yang jelas. Saya telah menyediakan segala kenyamanan yang tak terbayangkan olehnya dalam impian terliarnya sekalipun. Ia mendapat aliran uang tanpa batas, dua mobil, rumah banyak – kurang apa lagi?
Saya tak menyerah cepat-cepat. Saya mencoba beberapa kali untuk meyakinkan dia bahwa segala kenyamanan itu tak menjamin kedamaian dan kebahagiaan. Akhirnya, pada situasi marah, ia berkata, “Kamu kan temanku. Tolong berhenti bicara tentang dia. Kalau bukan karena anak-anak, saya sudah menceraikannya saat ini juga. Saya bisa mencari cewek lain yang lebih cantik dan jauh lebih muda. Di sini tak kekurangan wanita muda dan cantik.”
Pada akhirnya, sebenarnya, cukup lama sesudahnya, saya menyadari bahwa saya telah gagal. Saat saya menghubungi istrinya untuk minta maaf saya terkejut karena ia menanggapinya dengan ringan saja, “Ya sudah.”
Itu saja? Itu saja.
Saya merasa prihatin, karena saya tahu bahwa perempuan ini pernah mencoba bunuh diri dahulu, tapi bisa diselamatkan tepat pada waktunya. Sehingga saya berkata kepadanya, “Jika kamu tak bisa menerimanya, tentu pilihan terakhir ialah perceraian.”
Ia terdiam beberapa saat, saat itu saya mencoba menebak-nebak apa yang melintas di benaknya. Setelah jeda beberapa waktu, ia berkata, “Tidak saya tak berpikir seperti itu, saya tak berencana untuk cerai. Kami memiliki dua anak.”
Jadi?
Ada beberapa pasangan yang sudah mempunyai anak toh bercerai juga. Bukan, bukan itu alasannya. Kemudian saya tahu darinya, “Tolong jangan bilang-bilang ke dia, tapi sesungguhnya ada lelaki lain dalam hidup saya.”
Hmmm, jadi apakah ia berencana menikahinya atau bagaimana?
“Tidak, tidak, tidak,” katanya, “kami tak mungkin menikah, kamu tahulah. Lelaki itu sudah menikah juga. Tapi keluarganya juga bermasalah – sama seperi keluarga saya.”
Sekala/Niskala, materi dan energi, pertemuan Timur dan Barat. Dalam kasus ini, mereka telah bertemu, dan sekaligus tak sungguh bertemu. Paradoks yang nyata: Pertemuan tanpa pertemuan. Tapi hidup pun sebuah paradoks.
Beberapa tahun kemudian, sampai saat inipun, mereka masih menikah. Si lelaki tetap sibuk, bahkan lebih sibuk. Yang perempuan juga memiliki orang ketiga atau barangkali yang keempat. Ia tetap mengeluh tapi – enteng dan kadang-kadang saja – untuk memastikan suaminya tak mencurigai dirinya yang telah memperoleh kenyamanan tambahan di luar rumah.
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan teman saya dan ia berkata, “Sekarang istri saya baik-baik saja. Saya membiarkannya bermain-main di luar sebentar. Dia sibuk, dan saya juga sibuk. Hidup ini sungguh indah.”
Tampaknya, ia tahu persis yang sebenarnya terjadi. Tak mengejutkan. Di sini anda tak perlu menyewa detektif pribadi untuk mengetahui hal semacam itu. Apa gunanya pembantu dan sopir?
Pertemuan antara Timur dan Barat seperti cerita di atas tak bisa disebut sebagai pertemuan sama sekali. Ini contoh nyata eksploitasi. Dalam pertemuan semacam ini, logika, cara berpikir rasional, dan etika Barat – semuanya tergadaikan untuk uang semata. Dan kebijaksanaan Timur ditukar dengan kenyamanan yang remeh-temeh.
Sayangnya, anda bisa menyaksikan pertemuan semacam ini di mana-mana, ketimbang jenis pertemuan yang bisa mengantar kita pada era baru penuh harmoni, di mana hati berdetak dalam irama cinta dan kedamaian mewujud di tengah masyarakat.
Bali memberi kita sebuah kesempatan untuk bereksperimen dengan ide-ide baru, menyelami potensi kita sampai pada kepenuhannya. Kasihan kita yang tak memanfaatkan kesempatan semacam ini.
Di sini, di pulau ini, kita dapat – jika kita mau dan berkeinginan untuk berkarya mewujudkannya, tersedia fondasi untuk sebuah dunia baru. Dunia baru impian kita bersama, di mana Timur tetaplah Timur dan Barat tetaplah Barat, tapi keduanya bertemu dan menari bersama dalam keceriaan.
Sekala/Niskala, Materi dan Energi, Ilmu Pengetahuan dan Spirit, Barat dan Timur. Mari kita biarkan keduanya mempertahankan identitasnya masing-masing. Karena memang keduanya sama-sama penting. Kita tak bisa memilih salah satunya saja. Ada waktunya sekala di butuhkan. Makan, minum, bercinta – semua itu harus terjadi di alam sekala. Kita tak bisa melepaskan sekala sebelum meninggalkan dunia ini.
Kendati demikian, mari kita tetap selalu menjaga kesadaran kita terfokus pada niskala, spirit dan hakikat dari segala hal. Inilah cara kita bekerja, bahkan cara kita hidup, tanpa membebani jiwa kita dengan stres dan ketegangan yang tak berguna. Inilah cara untuk menikmati segala kenyamanan material tanpa diperbudak olehnya. Inilah persatuan sejati antara Sekala/Niskala.
* Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh The Bali Times dalam bahasa Inggeris dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Nugroho Angkasa
Anand Krishna*
(Radar Bali, Rabu 30 September 2009)