Home / Relaksasi / Renungan / Mari Bertarekat, Marilah Bertasawuf

Mari Bertarekat, Marilah Bertasawuf

Oleh : H. Derajat

Kenapa Perlu Mempelajari Tasawuf – Tarekat?

Dengan Tarekat anda akan bisa merasakan nikmatnya beribadah, nikmatnya kenal dengan Allah dan tentunya nikmatnya berkasih mesra dengan Allah dan RasulNya.

Kiai Dalhar mengungkapkan bahwa untuk menjadi manusia sebagai makhluk yang sebenar-benarnya manusia, harus menyadari hakikat diciptakannya manusia.

“Dalam diri kita mengalir darah. Dalam darah kita ada ruh dan dalam ruh ada rasa. Sehingga jika orang tak punya rasa, hakikatnya bukan manusia,” tegasnya.

Sebagai contoh ia mengatakan bahwa rasa kita sebagai seorang orang tua, anak, kakak, adik dan sebagainya merupakan hal yang membedakan kita dari hewan.

“Kalau hewan tidak memiliki rasa itu. Jadi bila kita bertingkah semaunya tanpa memikirkan rasa tersebut berarti kita sama saja seperti hewan,” tegasnya.

Lebih lanjut Kiai Dalhar mengingatkan bahwa sebagai mahkluk yang paling sempurna, manusia juga harus menyadari bahwa tugas utamanya adalah beribadah mendekatkan diri kepada yang telah menciptakannya yaitu Allah SWT.

Dalam beribadah ada empat tingkatan yang dapat menghantarkan manusia merasakan nikmatnya beribadah sekaligus menjadikan manusia lebih sempurna lagi.

“Empat tingkatan tersebut adalah marifat yakni ilmu dalam beribadah, syariat yakni cara beribadah, thariqat yakni jalan atau arah beribadah, dan yang terakhir adalah tingkatan hakikat yakni tujuan dari ibadah kita,” jelasnya.

Kiai Dalhar mengibaratkan perjalanan menuju kenikmatan beribadah tersebut seperti berlayar mengarungi lautan.

“Marifat itu ilmunya, syariat itu kapalnya, thariqat itu lautnya, dan hakikat itu adalah mutiara di dalam lautnya,” pungkasnya.

Ada sebuah hadits yang patut kita simak,


عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Artinya : Dari Saidina Umar bin Khathab r.a., beliau berkata, ”Pada suatu hari ketika kami bersama-sama Rasulullah SAW, datang seorang laki-laki berpakaian putih dan rambut hitam, tetapi tidak nampak tanda-tanda bahwa dia orang musafir dan kami tidak seorang pun yang kenal dengan orang itu. Dia duduk berhadapan dengan Nabi dengan mengadu lututnya dengan lutut Nabi dan meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu dia bertanya, “Wahai Muhammad, coba ceritakan kepadaku tentang Islam.

Nabi menjawab, “Islam ialah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah, engkau kerjakan shalat, engkau kerjakan zakat, engkau lakukan puasa Ramadhan, engkau naik Haji kalau kuasa.

Laki-laki itu menjawab, “Benar”.

“Kami heran”, kata Umar bin Khathab. “Dia bertanya dan dia pula yang membenarkan”.

Lalu dia bertanya lagi, “Coba ceritakan tentang Iman !”

Nabi menjawab, “Iman ialah supaya engkau percaya kepada Allah, malaikatNya, RasulNya, hari akhirat dan percaya dengan takdir baik dan buruknya”.

Dia menjawab, “Benar !”

Dia bertanya lagi, “Apa Ihsan itu ?”

Nabi menjawab, “Bahwa engkau menyembah Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya, tetapi kalau engkau tidak dapat melihat-Nya maka dia melihat akan engkau.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dari Hadits tersebut jelaslah terlihat ada 3 (tiga) hal pokok di dalam Agama Islam, yaitu; Islam, Iman dan Ihsan.

Islam yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah yang kita sebut rukun Islam yang lima, sasarannya adalah syari’at lahir. Ilmu dalam Agama Islam yang membahas kaidah-kaidah dan ketentuan syariat ibadah secara lahiriah, baik secara hablum minallah maupun hablum minannas adalah ilmu fikih.

Iman yang dimaksud dalam hadits di atas adalah yang kita sebut rukun Iman yang enam, sasarannya adalah I’tiqad, keyakinan. Ilmu yang membahas tentang itu adalah Ushuluddin atau ilmu kalam, bila khusus membahas tentang Ketuhanan disebut pula dengan Ilmu Tauhid.

Ihsan yang dimaksud di atas itu sasarannya adalah batin rohaniyah. Untuk menjalankan rukun Islam serta meningkatkan keimanan itulah diperlukan Ihsan, agar Allah senantiasa hadir di dalam hidup dan kehidupan, baik di dalam beribadah secara umum apalagi beribadah secara khusus seperti menjalankan kelima rukun Islam tersebut. Untuk mendalami Ihsan itulah dipelajari lewat Ilmu Tasawuf. Untuk mengamalkan Tasawuf itulah diperlukan adanya Tarekat.

Banyak orang yang belum begitu paham tentang apa itu Tasawuf dan apa itu Tarekat. Konsekuensinya, kalau anda ingin mempelajari Tasawuf, pasti anda mengambil Tarekat. Sebab, pengamalan Tasawuf ada di dalam berbagi Tarekat- kalau bukan Tarekat yang sudah mapan, maka Tarekat anda sendiri.

Bila Tasawuf hanya diartikan sebagai banyak berpuasa, tidak mau diajak korupsi, atau hanya diartikan sebagai suatu sikap keilmuan, orang memang tidak usah ikut Tarekat atau tidak perlu mengambil salah satu bentuk Tarekat. Akan tetapi, bila Tasawuf sudah mencapai pengertian Riyaadhah (latihan dengan menempuh berbagai tingkatan tertentu), orang harus mengambil tarekat. Harus ada bentuknya, apapun namanya –Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan sebagainya.

Keterangan ini penting bila anda menghadapi anggapan orang bahwa Tarekat atau Tasawuf bukan ajaran Islam.

Misalnya, bila ada orang yang menganggap bahwa Tarekat atau Tasawuf itu adalah bid’ah, anda dapat mengatakan bahwa sebelum menjadi rasulpun, Nabi Muhammad sudah menjadi seorang Sufi. Para sahabat yang tinggal di shuffah pun ternyata tidak diusir oleh Nabi saw. Bahkan, Nabi saw meminta para sahabat lain untuk membantu memberi makan mereka.

Ada sebuah riwayat yang menuturkan bahwa Imam Al-Ghazali mula-mula adalah seorang faqih (ahli fikih) sekaligus filosof yang tidak tertarik pada Tasawuf. Pada suatu waktu ia menjadi Imam di mesjid. Al-Ghazali mempunyai adik yang bernama Ahmad. Ahmad hampir tidak pernah berjema’ah di belakang Al-Ghazali.

Suatu hari, Ahmad shalat dan menjadi makmum di belakang Al-Ghazali. Akan tetapi, di pertengahan shalat, Ahmad kemudian munfarid (melepaskan diri dari shalat berjemaah) yang diimami Al-Ghazali. Sesudah selesai shalat, orang-orang menduga ada konflik antara dua saudara ini.

Ketika Al-Ghazali bertanya, “Mengapa engkau tadi munfarid?”

Ahmad menjawab, ”Pada rakaat kedua tadi, aku melihat badanmu penuh darah. Oleh sebab itu, aku menghentikan shalatku, dan aku shalat sendirian. Aku tidak tahan melihat darah”.

Al-Ghazali tersentak, sebab tepat pada rakaat kedua, ia tiba-tiba teringat pada buku fiqih yang sedang ditulisnya dan kebetulan, sampai pada bab tentang Haid dan Nifas.

Anda boleh percaya atau tidak. Akan tetapi, “melihat darah” pada kisah di atas adalah sebuah fenomena batiniyah. Untuk mengetahui yang batiniah itu ada methodenya, itulah yang disebut Tasawuf, khususnya lagi adalah tarekat.

Jadi, Tasawuf adalah suatu ilmu untuk mengetahui atau memperoleh pengetahuan yang tidak diperoleh melalui pengamatan empiris atau penalaran akal, tetapi diperoleh melalui latihan-latihan ruhani.

Semoga Allah memberkati kita semua. Aamiin.

 

About admin

Check Also

Orang Sombong Tidak Diperkenankan Melihat Allah SWT

”Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihatNya”. Oleh: Admin بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ...