Home / Agama / Kajian / Maqamat Orang yang Berpuasa

Maqamat Orang yang Berpuasa

”Sulthanul Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani membagi puasa menjadi tiga tingkatan; Puasa Syari’at, Puasa Thariqat dan Puasa Hakikat”.

Oleh: Admin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Sahabatku yang dirahmati Allah SWT. Pernahkah anda renungkan tentang bagaimana kualitas puasa yang selama ini dijalani? Jika anda bingung untuk mencari indikatornya berikut adalah pembagian tingkatan puasa menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani (470-561 H).

Sang Sulthanul Auliya’ dalam kitab Sirrul Asrar-nya membagi puasa menjadi tiga tingkatan. Pembagian ini berdasarkan makna puasa, waktu pelaksanaanya dan kenikmatan apa yang didapatkan oleh orang yang berpuasa pada tingkatan tersebut.

Pertama; Puasa Syariat yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan wanita di waktu siang. Jika mengibaratkanya dengan pembagian kelas penumpang di maskapai penerbangan pada tingkatan ini adalah puasanya orang-orang di kelas bisnis.

Kedua, Puasa Tarekat yaitu menahan seluruh anggota tubuh melakukan perbuatan yang diharamkan dan dilarang. Selain itu juga menjauhi sifat-sifat tercela seperti ujub, sombong, kikir dan lainya baik secara lahir maupun batin. Karena hal tersebut dapat membatalkan puasa tarekat. Mungkin bisa dikatakan puasa pada tingkatan ini adalah puasanya kelas orang-orang eksekutif.

Ketiga, Puasa Hakekat yaitu menahan fuad dari rasa cinta selain Allah SWT. Selain itu juga menahan sirri dari kecintaan melihat selain Allah SWT. Pada tingkatan ini kelasnya sudah berbeda yaitu puasa kelas orang-orang VVIP.

Selanjutnya, beliau juga menjelaskan bahwa jika puasa syariat ditentukan waktu pelaksanaanya (مؤقت) maka puasa tarekat dan hakekat dilakukan sepanjang hidup manusia (مؤبّد في جميع عمره).

Dalam kitabnya juga dituliskan: “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi hakekatnya mereka berbuka dan sebaliknya berapa banyak orang yang berbuka tetapi hakekatnya mereka berpuasa.

كَمْ مِنْ صَائِمٍ مُفْطِرٌوَكَمْ مِنْ مُفْطِرٍ صَائِمٌ

Maksudnya adalah banyak orang yang terlihat berpuasa namun sejatinya ia tidak berpuasa dan sebaliknya banyak orang yang tidak berpuasa tetapi hakikatnya ia berpuasa. Hal ini dikarenakan ia menahan anggota tubuhnya dari segala tindakan yang dilarang dan berpotensi menyebabkan dosa. Jadi, bisa dipahami bahwa puasa bisa saja berupa simbolis atau substantif.

Lebih lanjut beliau juga mengutip hadits qudsi bahwa: “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan ganjaranya”. Dari sini bisa dipahami betapa istimewanya ibadah puasa karena ini sebagai wujud penghambaan dan pengorbanan manusia sebagai hamba kepada penciptanya.

Selain itu, dalam kitabnya juga ditambahkan hadits qudsi lain yang mengatakan bahwa bagi orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan ketika melihat keindahan-Ku.

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ الْاِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِيْ

Bagi orang syariat, yang dimaksud ifthar atau berbuka adalah ketika makan pada saat terbenamnya matahari. Dan yang dimaksud ru’yat adalah melihat hilal ketika malam hari raya. Sedangkan bagi para ahli tarekat berbuka adalah ketika seorang hamba masuk surga dan bersantap makanan di dalamnya dan kebahagiaan melihatnya adalah ketika bertemu dengan Allah SWT pada hari kiamat dengan pandangan sirri yang dimilikinya.

Bagi para ahli hakekat, sirri ini berasal dari cahaya Allah SWT seperti dalam hadits qudsi:

اَلْاِنْسَانُ سِرِّيْ وَاَنَا سِرُّهُ

Kata Allah SWT: “Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya”.

Sirri ini tidak memiliki kecintaan, kesukaan dan keinginan selain kepada Allah SWT baik itu di dunia maupun di akhirat. Selebihnya, puasa orang hakikat akan fasad (rusak) ketika muncul kecintaan selain kepada Allah SWT. Baginya diwajibkan untuk meng-qadha puasanya yaitu dengan cara kembali kepada Allah SWT dan berjumpa dengan-Nya. Pahala untuk puasa seperti ini adalah perjumpaan dengan Allah SWT di akhirat.

Pada akhirnya, kita bisa mengukur diri dimana posisi kualitas puasa kita selama ini. Apakah puasa yang kita jalani masih sekedar as a routine atau memang as a sacrifice. Jika menahan lapar, haus dan syahwat saja masih belum mampu berarti kita tidak termasuk dalam kategori ketiganya. Lantas, jangan-jangan puasa kita termasuk umat yang disindir kanjeng Rasul SAW bahwa: “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak ada yang didapat darinya kecuali lapar dan dahaga.”

Semoga saja tidak. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

Berikut penjelasan Puasa Syari’at, Puasa Tarekat dan Puasa Hakikat oleh Syeikh M. Fathurrahman yang dimabil dari sumber: MRBJ TV

___________

Sumber: Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr  al-Asrar wa Madzhar al-Anwar fiima Yahtaju Ilaihi al-Abrar, Bab 17, Fi Bayani Shoum As Syariat wa Thariqot. (Damaskus: Dar Sanabil 1993.) hlm. 112-113.

About admin

Check Also

Mengapa Harus Bulan Ramadhan?

”Mengapa Allah SWT menurunkan perintah berpuasa kepada orang-orang beriman jatuh di bulan Ramadhan?”. Oleh: Admin ...